Search
Close this search box.
Meski dinilai ramah terhadap kaum transgender, berbagai diskriminasi masih membekap para transgender dalam kehidupan masyarakat di Negeri Gajah Putih ini. (Reuters/Joao Castellano)
Meski dinilai ramah terhadap kaum transgender, berbagai diskriminasi masih membekap para transgender dalam kehidupan masyarakat di Negeri Gajah Putih ini. (Reuters/Joao Castellano)

Suarakita.org- Punthakarn Sringern, 25 tahun, tampak cantik dengan bulu matanya yang menjulang tingi dan kakinya yang tinggi langsing dibalut stocking ketat. Mungkin tak ada yang menyangka Sringern merupakan salah satu transgender yang bekerja sebagai pramugari salah satu maskapai terkemuka di Thailand.

Mencari pekerjaan di luar sektor hiburan dan kosmetik merupakan hal yang sulit bagi “gender ketiga” di Thailand, negara yang disebut-sebut memiliki populasi transgender terbesar di dunia.

Sehingga bagi Sringern, atau yang kerap disapa Mew, bekerja sebagai pramugari untuk maskapai PC Air bak mimpi yang menjadi kenyataan.

PC Air, yang dimilik oleh Peter Chan, seorang pengembang properti, didirikan tahun 2011. Chan kerap kali vokal terhadap isu hak asasi para transgender di Thailand, negara dengan jumlah penduduk mencapai 69 juta jiwa, yang secara sosial berpikiran terbuka namun tetap konservatif.

“Transgender wanita di Thailand tidak memiliki pekerjaan yang baik,” kata Chan di ruang kerjanya di Bangkok, dikutip dari The Guardian.

“Mereka bekerja sebagai penari atau penghibur atau di toko-toko, karena masyarakat tidak menerima mereka dalam pekerjaan lain,” kata Chan melanjutkan.

Chan berharap Thailand, dan negara lain di seluruh dunia, pada akhirnya dapat menerima kaum transgender, yang dikenal juga dengan “kathoey” dalam bahasa Thailand.

“Ini adalah mimpi para transgender wanita. Semua orang punya mimpinya sendiri, dan itu adalah hak asasi manusia,” kata Chan melanjutkan.

Selain pramugari transgender, PC Air yang juga mempekerjakan transgender pria sebagai pilot sejak Desember 2011. Penerbangan pertama sang pilot transgender pria di maskapai ini adalah rute Bangkok-Vientiane-Laos.

Maskapai ini juga disebut berencana memperkerjakan pilot transgender pria untuk penerbangan ke Hong Kong, China, Jepang dan Korea Selatan.

Meski demikian, bukan berarti tidak ada aral melintang. Di bawah hukum Thailand, transgender akan tetap menyandang jenis kelamin asli mereka di kartu identitas dan paspor. Para pakar menilai hal ini akan memicu masalah bagi pejabat imigrasi di sejumlah negara yang tidak berpikiran terbuka.

Selain itu, dilaporkan sejumlah keluarga yang menjunjung nilai konservatif di Thailand diduga tidak akan memakai jasa maskapai yang mempekerjakan kaum transgender tersebut.

“Banyak penumpang kita yang konservatif membatalkan penerbangannya bersama kami jika kami merekrut transgender,” kata sumber dari yang tak ingin disebutkan namanya.

Sulit Berkarir

Lain halnya dengan cerita Kaona Saowakun, 30 tahun, transgender pria yang bekerja patuh waktu sebagai penerjemah bahsa Inggris dan Rusia.

Sembari mengumpulkan uang untuk melakukan operasi kelamin, Kaona mengaku dia tak lagi memiliki mimpi untuk berkarir, bahkan semenjak lulus dari Universitas Thammasat 10 tahun yang lalu.

Pernah mencoba bekerja di bidang pemasaran, perbankan, maupun binis internasional, Kaona mengaku kerap mendapatkan diskriminasi di tempat kerja baik langsung maupun tak langsung.

“Proses menjadi seorang pria jauh lebih sulit dan mahal ketimbang menjadi seorang wanita,” kata Kaona yang berambut cepak, dan mengenakan pakaian metroseksual, dikutip dari Bangkok Post.

“Saya kerap ditanyai apakah saya akan memakai toilet wanita atau pria? Atau apakah saya tertarik dengan rekan wanita sekantor?”

Dengan alasan inilah, kaum transgender yang memegang gelar universitas memilih bekerja paruh waktu ketimbang berkarir di dalam kantor.

Sementara mereka yang memilih bekerja kantoran terpaksa menyembunyikan identitas asli mereka. Para pakar menyebutkan bahwa dengan kualifikasi yang sama sekalipun, kaum transgender sering diremehkan dan tidak ditunjuk memegang jabatan tinggi.

Thailand memang memiliki reputasi atas toleransi dan keramahan kepada transgender. Namun sayangnya, para transgender masih sulit mendapat pekerjaan lain selain di bidang hiburan dan jasa.

Memasuki dunia politik

Di balik sejumlah penolakan kepada kaum transgender, ada cerita sukses yang ditorehkan Yollada “Nok” Suanyot, seorang transgender wanita yang terpilih sebagai anggota parlemen untuk provinsi Nan di Thailand.

Mantan ratu kecantikan ini memenangi pemilu daerah pada akhir Mei 2012 lalu sebagai calon independen. Rivalnya adalah tokoh daerah yang kuat dan berasal dari partai yang berkuasa di daerah itu, Partai Pheu Thai.

“Saya ingin mewakili para transgender wanita dan semua kelompok homoseksual di seluruh negeri ini dan menekan pemerintah untuk lebih memerhatikan nasib para wanita dan transgender wanita,” kata Suanyot, dikutip dari Bangkok Post.

“Kami hampir tidak memiliki hak sama sekali. Kami tidak diakui sebagai perempuan bahkan setelah operasi kelamin. Jika kami ditahan, kami dijebloskan ke dalam sel tahanan pria. Kami tak bisa menikah, tak memiliki asuransi kesehatan yang baik, bahkan tidak bisa berpergian ke sejumlah negara,” kata Suanyot, dikutip dari Global Post. (ama/stu)

Sumber: CNN Indonesia