Search
Close this search box.

[CERPEN]: Saat Cinta Tidak Selalu Benar

Saat Cinta Tidak Selalu Benar

Oleh: Johanes Gurning*

Suarakita.org- Adakah kekasih yang menyatakan cinta secara terang-terangan, namun dia juga menyakiti kekasihnya secara terang-terangan? Jika kau percaya pada karma, maka kau tidak akan pernah melakukan hal itu untukku, Than.

Kemarin, aku sangat yakin jika kau begitu mencintaiku. Dan aku semakin yakin ketika kau melakukan pembelaan. Mempertahankan lebih tepatnya. Ketika seorang perusuh bernama David menggodaku dan mengajakku making love, malam itu. Dengan begitu jujurnya aku memberitahumu jika lelaki itu merayuku untuk melepaskan hasrat, yang katanya telah sekian lama dia pendam setelah kepergian kekasihnya beberapa waktu yang silam. Namun aku tidak segampang itu menerimanya, meski aku tahu jika aku juga memiliki nasfu. Ada orang yang begitu aku sayang tengah mencemaskanku. Hanya itu yang aku ingat malam itu.

Bahkan, bak anak perawan yang merelakan kesuciannya pada lelaki yang dicintainya. Meski mereka belum terikat secara resmi oleh sebuah pernikahan, aku merelakan akun facebookku untuk kau gamangi dengan tanganmu sendiri. Perlahan, aku mulai merasa ada perubahan yang terjadi pada dirimu malam itu. Sikapmu berubah kasar dan sedikit egois. Hilang sudah seorang Nathan yang beberapa hari yang lalu begitu hangat, lembut dan memperlaukan aku dengan sangat baik.

Namun hal yang lebih menyakitkan aku hingga kini, kau diam tanpa kata. Membiarkan aku menunggu dalam keresahan dan dengan terang-terangan mulai bermain dengan yang lain. Kau pernah bilang jika aku memiliki sebuah anugerah dari Tuhan. Sebuah kekuatan yang bisa merasakan apa yang terjadi pada orang lain. Maka mulai malam itu, aku sudah yakin jika aku memiliki anugerah itu dan aku mulai menggunakannya.

Hingga pagi ini, kau masih bungkam dan terus menusukku dengan serangan-serangan mesra kepada lelaki lain. Than, kau memang beruntung karena bisa memilih. Pernahkah kau merasakan bagaimana perasaanku ketika melihatmu dengan vulgar merayu sosok lain di depan mataku? Tanpa kau sadari, diam-diam aku mulai memerhatikanmu dari jauh. Meski hanya sebatas dunia maya, namun aku kira itu cukup untuk meyakinkanku atau memercayai apa yang mulai kutakutkan. Masihkan kau meyakini adanya sebuah karma?

Tapi tidak, aku tidak akan mengutukmu.

“Jangan nakal, ya?” ucapmu ketika mengantarku pulang pagi itu. Gerbang sebuah kampus negeri yang sudah mulai dipadati mahasiswa membuatku merasa terhambat untuk mengekspresikan rasa sayangku padamu. Jika aku tidak bisa menahan rasa, mungkin saja puluhan mahasiswa yang hilir mudik kampus ini sudah meludahiku atau mengutukku dalam hati mereka.

Aku hanya bisa tersenyum simpul. Ingin rasanya mengecup bibir tipismu atau sekedar memeluk tubuh tambunmu, namun kesadaran kembali muncul. Rasa ini bukan pada tempatnya. Ada norma yang akan menghakimiku ketika sekelebat pasang mata menyaksikan aku memelukmu mesra. Rasa kita terlarang, Than. Biarkanlah hanya malam dan sunyi yang mengetahui jika kita pernah bersatu.

Pikiranku yang masih dilanda asmara setelah kejadian malam itu, seolah membutakan dan melumpuhkan semua urat sarafku. Mataku tak kunjung melihat siapa dirimu yang sebenarnya. Hingga kejadian perang mulut antara kau dan David yang terjadi lewat media sosial facebook berlangsung, aku mulai sadar jika kau bukan lelaki yang ada dalam pikiranku. Aku bangga karena kau melindungiku dari kata-kata beracun yang keluar dari mulut David. Terutama ketika kau dengan bangganya menyatakan aku adalah boy friend untukmu. Aku melayang, Than.

“Apa maksudmu mengganggunya?” tanyamu pada David.

“Aku tidak mengganggunya,” jawab David. Tapi aku tahu dia berbohong. Mungkin dia hanya ingin menghindar dari kemarahanmu.

“Jangan sesekali menyentuh atau pun mengganggunya. Karena aku yang akan kau hadapi,” ancammu.

Itu adalah sebuah ultimatum yang kau keluarkan dan sekaligus memberi sebuah kebanggan dalam diriku. Meski pertenggkaran itu hanya berlangsung di akun sosial namun aku tetap bangga karena telah dilindungi olehmu.

Perseteruan itu mulai memanas ketika kelakuanmu mulai kasar dan terkesan sombong. Kau mulai berkoar dengan sombong dan mulai menceritakan semua harta dan jabatan yang kau miliki di tempatmu bekerja. Aku mulai risih. Namun kata-kata masih tertahan di ujung lidahku. Dia kelu secara spontan.

“Than, jangan pernah membongkar harta kekayaan dan jabatanmu di depan umum. Itu sebuah kesombongan,” pesanku.

Aku sengaja menyuruhmu menemuiku sore itu di taman kota. Tempat pertama kali aku bertemu denganmu.

Dengan hebatnya kau masih sanggup membela diri, seolah kau tidak melakukan kesalahan apa pun. “Aku bukan manusia yang bisa diremehkan seperti itu. Memangnya siapa mereka?”

“Bukankah kau yang bilang, jika harta yang kau miliki itu tidak akan pernah kau bawa mati. Semua akan kembali lagi kepada Tuhan. Karena itu anugerah,” kataku mengingatkan wejanganmu dahulu.

“Aku tidak ingin mereka menilaiku rendah dan remeh. Hanya itu.”

“It’s over!”

“Hei! Tapi dia keterlaluan.”

“Stop, Than!”

Aku diam, tak ada kata yang dapat mencairkan suasana hatiku. Taman kota yang kini menjadi saksi bisu perdebatan kita seolah berteriak. Namun aku tidak lagi peduli. Namun aku justru semakin panas ketika melihat ekspresi wajahmu yang masih datar nyaris seperti oang yang tidak bersalah.

Emosiku mulai memuncak. Rasa yang sedari tadi tertahan dalam dada terus memaksa untuk keluar. Aku mencintainya, namun tak bisa kutolerir sikap angkuh dan kesombongannya.

Sehubung dengan perseteruan antara kau dan David yang dipicu oleh kejujuranku malam itu, kau berjanji untuk mempertimbangkan hubungan ini. Kau memponisku sebagai orang yang bersalah. Entah dari sudut mana. Semenara aku sudah membuktikan kejujuran itu dengan memperlihatkanmu rentetan chatting dengan David.

Hingga pagi ini, kau masih belum bicara serius tentang hubungan kita. Kau bahkan masih sibuk dengan pemuda-pemuda tampan, yang kau bilang masuk daftar dalam pilihanmu sebagai calon kekasih. Di sini letak sakit yang kurasakan, Than. Entah kau menganggapku apa. Hanya orang yang lalu tanpa kau hiraukan setelahnya. Atau orang yang datang untuk mengisi kekosongan hatimu. Bukankah malam itu kita sudah berjanji untuk saling setia? Bahkan kau masih sempat mengakuiku pada David sebagai kekasihmu beberapa jam yang lalu.

“Aku menyerah, Than.”

“Secepat ini?”

“Mungkin kita tidak ditakdirkan untuk terus bersama. Aku hanya minta satu sebelum aku benar-benar pergi. Hilangkan sikap sombong itu. Masih ada langit di atas langit. Kau bukan satu-satunya yang punya harta dan kekuasaan di dunia ini. Jangan lupa akan takdirmu jika kelak kau dipanggil untuk kembali, kau tidak bisa membawanya ikut serta bersamamu,” pesanku.

Wajahmu merah padam seketika.

Di taman ini, tempat pertama kita bertemu dan di sini pula aku mengakhirinya. Biarkan dia menyimpan kisah yang terjadi di antara kita.

Natahan Winata, lelaki dengan postur tubuh hampir sama denganku. Hanya saja dia berbobot besar dan aku kurus. Aku mencintainya dan mulai menyatakan cinta beberapa hari yang lalu. Aku merasa beruntung dan sangat bahagia karena dia juga merasakan hal yang sama denganku. Pertemuan pertama malam itu telah menimbulkan rasa cemburu pada malam dan sepi yang menjadi saksi persatuan cinta kami. Ada rahasia malam yang tersimpan jauh dalam kelam. Meski dunia tidak akan pernah menerima keberadaan rasa ini, namun aku pernah berjanji untuk tetap menjaganya hingga restu itu kelak aku dapatkan.

Namun semua berubah setelah kejadian beberapa jam yang lalu. Hanya luka yang bisa kurenggut setelah mataku terbuka tentang sosok di balik hangatnya pribadi seorang Nathan Winata. Lelaki itu telah membuka topeng yang membutakan pengelihatanku. Dia bukan lagi lelaki lembut seperti yang aku dambakan selama ini. Dan sakitnya lagi, lelaki itu dengan sengaja menancapkan duri di dadaku yang mungkin akan membunuhku secara perlahan. Aku terluka, meski dalam diamku sendiri.

*Johanes Gurning, Pengemar sastra dan penulis cerpen

Bagikan