Search
Close this search box.

Membangun Dukungan Keluarga Untuk LGBT

Suarakita.org- Jum’at, 15 Mei 2015. Suara Kita mengadakan acara bertajuk Membangun Dukungan Keluarga Bagi Kelompok LGBT DI Indonesia. Acara ini diselenggarakan dalam rangka memperingati International Day Against Homophoia and Transphobia (IDAHOT), hari melawan homofobia dan transfobia, yang diperingati secara internasional tiap 17 Mei.

Bertempat di Freedom Institute, Jakarta, acara ini bersifat tertutup dan untuk kalangan terbatas saja.

Hartoyo, Ketua Suara Kita, menjelaskan bahwa latar belakang diadakan acara ini adalah karena makin banyaknya anak-anak muda LGBT yang lari dari rumah atau diusir dari keluarga karena anak itu adalah LGBT, “Harapannya dari forum ini kita bisa melakukan sesuatu”.

Acara diskusi ini, terbagi dua sesi. Sesi pertama adalah sesi nonton bareng pemutaran film Emak dari Jambi dan Pertanyaan untuk Ayah. Kemudian dilanjutkan sesi kedua setelah makan siang, yakni sesi diskusi dan berbagi pengalaman.

Di sesi kedua, Suara Kita mengundang Dr. Hastaning Sakti, seorang Dekan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro untuk menjadi fasilitator diskusi ini dan Dewi Nova, seorang aktivis kesetaraan gender sebagai moderator. Di sesi ini, tiap peserta baik itu orang tua yang memiliki anak LGBT maupun individu LGBT yang masih berjuang untuk diterima di keluarganya diminta oleh fasilitator untuk membagi pengalamannya.

Banyak cerita yang muncul di diskusi ini. X seorang perempuan yang mempunyai paman yang seorang gay, sambil terisak X menyatakan dia bangga dengan pamannya itu. Y seorang ibu yang memiliki anak seorang gay, kemudian dia mencari tahu apa itu gay. Ibu Y pun berproses hingga akhirnya dia mau menerima si anak apa adanya. “Anak kita bukanlah milik kita tetapi milik kehidupan ini”, ungkap Ibu Y.

W seorang waria masih harus berjuang menjelaskan jati dirinya kepada orang tua. Untuk bisa pulang ke kampung halaman, keluarganya memberikan syarat, pertama tidak boleh berdandan seperti perempuan dan kedua tidak boleh berpacaran dengan laki laki. “Dua-duanya tidak bisa aku penuhi”, kata W. Hingga akhirnya dia enggan berkomunikasi dengan keluarganya di kampung.

Di akhir sesi harapannya pertemuan yang memberikan dukungan psikologis ini tidak berhenti di sini. Muncul dari mulut beberapa peserta lebih baik pertemuan seperti ini diadakan rutin.