Oleh : Ardian R. Hunta*
Suarakita.org- “Tiga tahun lalu, teman Emak tidak mau merawat anaknya karena belum siap. Emak heran, apa dia engga inget waktu hamil sembilan bulan? Perjuangan dia…. Tapi biarlah. Pertama kali ngeliat anak ini Emak langsung sayang dan berniat merawat. Yang penting Emak sayang sama anak ini. Dan Emak mau dipanggil ayah hehehe…”, kata Emak sambil memainkan rambutnya yang lurus sampai bahu dengan santai.
Saya memanggilnya Emak, seorang waria dengan pembawaan humoris namun selalu mengajarkan kepada saya bahwa kasih sayang itu unik, bisa datang kepada siapa saja. Itulah yang Emak rasakan ketika Emak mengadopsi seorang anak perempuan temannya. Emak adalah sahabat di saya di Gorontalo sekaligus guru dalam hidup saya.
***
Mati lampu pada malam itu mengubah rencana saya dengan Emak dari berjalan di pasar malam menjadi perbincangan santai namun menarik.
“Emak sudah berniat sejak Emak meyakini diri sebagai waria, Emak mau adopsi anak dan ketika anak Emak sukses, itulah yang menghibur Emak di hari tua nanti”, lanjut Emak yang sedang fokus merias matanya yang kecil agar terlihat besar dengan eyeliner.
Namun ada satu hal yang membuat saya penasaran. Kenapa Emak mau dipanggil ayah? “Walaupun Emak ini waria, tapi anak Emak harus belajar tentang ekspresi gender, hahaha”.
Emak sadar, ia belum mampu untuk mengubah pandangan negatif masyarakat luas tentang seorang waria yang mengadopsi anak. Emak juga memikirkan anaknya yang rentan terhadap bullying karena ayahnya adalah seorang waria.
“Emak juga harus liat kondisi, kalo nanti anter anak Emak sekolah. Emak pake baju biasa aja, yang penting sopan”, tegas Emak.
Namun Emak yakin, suatu saat si anak-lah yang akan menjelaskan kepada masyarakat luas bahwa Emak adalah seorang pahlawan di hidupnya. Dan pahlawan itu adalah seorang waria.
“Anak Emak harus tahu, ayahnya ini suka pakai gaun, bulu mata Syahrini, make up, lipstik dan hak tinggi. Tapi yang perlu dia ingat, Emak rela cari uang, siang-malam, tidak tidur, asalkan dia sehat, bisa minum susu dan sekolah”.
Menurut Emak yang mempunyai kulit putih dan tinggi badan 160 cm ini, ayah hanyalah sebuah panggilan pembeda dalam keluarga. Tapi itu tidak penting untuk Emak. Yang terpenting adalah kasih sayang tulus yang bisa Emak berikan kepada anaknya walaupun Emak seorang waria.
Emak pun mengajarkan bahwa menjadi seorang waria adalah hak pribadinya, yang terpenting Emak tidak pernah menggangu, berbuat jahat ataupun mengemis kepada orang lain. “Emak mau, kalo anak Emak sudah jadi orangtua, lalu anaknya itu waria, gay atau lesbian, dia bisa ingat, dia dulu dibesarkan oleh seorang waria. Jadi kewajiban utama orang tua adalah membesarkan anak mereka dengan kasih sayang apapun kondisinya”.
Saya tidak bisa menahan air mata saya. Betapa hebatnya kasih sayang seorang Emak kepada anaknya. Walaupun Emak bukan ibu kandungnya, namun rasa sayang Emak sangat besar.
“Walaupun nanti dia menolak Emak sebagai dia pe orangtua, Emak tetap menganggap dia itu Emak pe anak, Emak tetap sayang, Emak tetap mau memaafkan dia”, ujar Emak dengan dialek Gorontalo.
Emak, terima kasih sudah mengajarkan saya tentang kasih sayang. Terima kasih Emak.
*Penulis adalah mahasiswa Universitas Terbuka yang tinggal di Gorontalo. Penulis adalah anggota Binthe pelangi Gorontalo (BPG), sebuah organisasi LGBT di Gorontalo.