Search
Close this search box.

Syafiq Hasyim: Membahas MUI Tidak Bisa Lepas Dari Konteks Sosial dan Politik

Suarakita.org- Selasa 28 April 2015, Suara Kita kembali mengadakan diskusi mengenai Sejarah dan Konteks Politik MUI di Indonesia dengan mendatangkan Dr. Phil. Syafiq Hasyim sebagai pembicara. Beliau adalah salah satu dosen di Univeristas Islam Negeri Jakarta. Diskusi berlangsung sekitar dua jam dan dihadiri oleh 15 orang peserta.

Syafiq Hasyim membuka kuliahnya dengan memaparkan latar belakang dan sejarah terbentuknya MUI (Majelis Ulama Indonesia). MUI lahir dari proses negosiasi yang panjang antara kalangan ulama dan rezim yang berkuasa yaitu Soeharto pada tahun 1975. Salah satu alasan mengapa pemerintah membentuk MUI adalah karena belum adanya organisasi yang dapat dijadikan partner pemerintah yang bisa mewakili seluruh umat Islam Indonesia.

Alasan lain mengapa pembentukan MUI dapat diterima oleh para ulama pada saat itu adalah MUI dapat dijadikan sebagai alat untuk mencegah bahaya laten komunisme. Meskipun berisikan ulama-ulama Muslim, MUI secara organisasi tetap berasakan pancasila bukan berasakan Islam. Buya Hamka sebagai ketua umum MUI pertama menganalogikan orang-orang dalam struktur MUI seperti kue bika yang kalau terlalu panas akan gosong dan bila panasnya kurang tidak akan matang. Maksudnya adalah ulama- ulama yang duduk dalam MUI tidak boleh terlalu membela kepentingan pemerintah, namun harus seimbang antara kepentingan pemerintah dan kepentingan rakyat. Perlu ditekankan bahwa Soeharto menjadi bagian terpenting dalam sejarah pendirian MUI.

Perbedaan MUI dengan ormas-ormas Islam lain, menurut Syafiq adalah MUI tidak boleh memiliki agenda yang langsung terjun ke masyarakat, misal merekrut anggotanya dari masyarakat umum. MUI tidak memiliki anggota seperti halnya ormas- ormas Islam lain seperti NU dan Muhammadiyah.

Syafiq kemudian membagi perkembangan MUI ke dalam dua periode yaitu periode tahun 1975-1998 dan tahun 2000 (pasca reformasi) ampai saat ini.

MUI yang pada awal pembentukannya berfungsi sebagai pelayan umat dan pemerintah dalam perjalanannya lebih banyak kepada khotimul hukumah (pelayan pemerintah ) yang banyak melegitimasi kebijakan- kebijakan pemerintah. Fungsi yang kedua adalah sebagai The Guardian of Pancasila State, MUI sebagai pengawal sebagai ideologi pancasila. Pada periode ini meskipun secara struktur MUI berisikan para ulama muslim, namun tetap berasaskan pancasila bukan berasaskan Islam. Fungsi ketiga adalah sebagai payung organisasi ormas-ormas islam yang telah ada. Salah satu produk dari MUI adalah fatwa.

Fatwa adalah pendapat hukum yang diminta oleh orang yang membutuhkan. Menarik untuk diketahui bahwasanya MUI telah mengeluarkan fatwa pelarangan terhadap kelompok Ahmadiyah dan Syiah sejak tahun 1980-an. Namun tidak terjadi kekerasan terhadap kelompok- kelompok tersebut seperti yang marak terjadi akhir- akhir ini.

Kejatuhan rezim Seoharto membawa perubahan-perubahan dalam tubuh organisasi MUI. Dalam masa transisi ini, MUI melakukan perubahan dari dalam. Perubahan pertama adalah mengganti dasar asas organisasi yang sebelumnya berasaskan Pancasila menjadi berasaskan Islam. Perubahan kedua adalah yang tadinya berfungsi sebagai pelayan pemerintah berubah menjadi pelayan umat (khotimul ummah). Dan ketiga adalah yang sebelumnya hanya berfungsi sebagai ‘payung’ organisasi umat islam kini hendak ingin dibesarkan menjadi ‘tenda’ bagi ormas-ormas Islam yang ada.

Syafiq kemudian menyoroti bagaimana sepak terjang MUI sebagai lembaga fatwa baik dari segi discourse (wacana) maupun aktivitas. Dari segi aktifitas MUI memiliki dua lembaga penting yg cukup mempengaruhi kehidupan publik. Pertama adalah LPOM ( Lembaga Pangan Obat-obatan dan Minuman ). LPOM adalah lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal yang lahir pada tahun 1989. Awal kemunculannya dipicu oleh kasus susu yang terkontaminasi oleh lemak babi di daerah Jawa Timur sehingga menimbulkan paranoid di dalam masyarakat.

Meskipun belum ada Undang-undang (UU) dan landasan hukum yang jelas pada saat itu. LPOM merupakan satu-satunya lembaga yang mengeluarkan sertifikasi halal kepada perusahaan makanan, minuman dan obat- obatan, baik produk lokal maupun produk impor yang masuk ke Indonesia. Yang menjadi permasalahan menurut Syafiq adalah apakah monopoli sertifikasi halal ini milik MUI saja ataukah dapat ditangani oleh lembaga lain. Hingga saat ini sudah sekitar 80.000 sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh MUI.

Selain LPOM, lembaga MUI yang lain adalah Dewan Syariah Nasional (DSN). DSN yang memberikan sertifikasi kehalalan sebuah bank. Tidak hanya mengatur lembaha bank , namun mencakup segala hal yg terkait dengan produk perbankan seperti asuransi, kredit mikro, investasi dan lain-lain.

Setelah Selesai memberikan pemaparan, Jane sebagai moderator memberikan kesempatan kepada peserta diskusi untuk bertanya ataupun menaggapi. Jane sebagai moderator bertanya lebih dulu, bagaimana cara pemilihan mufti-mufti yang duduk di dalam MUI?

Menurut Syafiq membahas MUI tidak lepas dari konteks soial dan politik terbentuknya MUI. Karena sejarah MUI memiliki hubungan yang erat dengan pemerintah maka ketika muncul gejolak di dalam masyarakat, pada umumnya masyarakat akan mencari legitimasi fatwa dari MUI daripada NU atau Muhammadiyah. Dan pemilihan orang- orang yg duduk dalam MUI dipilih melalui mekanisme organisasi yang sudah diatur dan biasanya memperhatikan unsur representasi.

Kemudian Hartoyo mempertanyakan latar belakang terbentuknya lembaga sertifikasi halal pada tahun 1989, apakah memang ada lembaga penelitian yang benar-benar melakukan penelitian mengenai kebenaran kandungan lemak babi dalam susu tersebut, ataukah hanya politik dari MUI untuk meng-goal-kan terbentuknya suatu lembaga sertifikasi?

Syafiq menjawab bahwa kebenaran kandungan lemak babi dalam susu tersebut memang benar adanya dan lembaga yang melakukan penelitian tersebut adalah Universitas Brawijaya. Saat itu, belum ada pemikiran untuk membentuk lembaga sertifikasi halal di tubuh MUI. (Eddy)