Oleh: Wisesa Wirayuda*
Suarakita.org- Tentu kita tidak asing lagi dengan kesenian Reog, terutama yang berasal dari Ponorogo, Jawa Timur. Kesenian yang menampilkan topeng berukuran besar yang disebut Barongan. Kita juga tentu sudah mengenal relasi antara Warok dan Gemblak dalam kesenian itu. Selain di Ponorogo, Reog juga ditemukan di Bagelen (Kebumen), Yogyakarta, Kediri, Surakarta, dan di beberapa tempat lainnya yang tersebar di Jawa Timur dan Jawa tengah. Tapi tahukah kalian bahwa di Jawa Barat juga ada kesenian Reog?
Reog sendiri berarti tarian bersama. Itulah mungkin alasan mengapa dalam penampilan kesenian Reog selalu melibatkan banyak orang yang beriringan atau disebut arak-arakan. Perkiraan itu diperkuat dengan keterangan Dr. Gericke dalam kamus Jawa-nya (1847, hlm. 147), yang mengartikan Reog dengan keterangan sebagai berikut: “Seorang pendeta yang berjalan di depan pasukannya untuk memberi semangat bertempur di dalam perang.” Tidak ada bukti dimana dan kapan kata “Reog” digunakan dalam arti demikian. Namun definisi ini membuat orang memperkirakan bahwa Reog adalah perkembangan dari tari perang di zaman kuno.
Reog Sunda tidaklah sama dengan Reog di Ponorogo yang memakai Barongan. Reog ala Sunda hanya menggunakan alat musik sebagai medium berkeseniannya. Kesenian ini pada umumnya ditampilkan dengan Bodoran (lawakan), serta diiringi dengan musik tradisional yang disebut Calung. Kesenian ini biasanya dimainkan oleh beberapa orang yang mempunyai bakat melawak dan berbakat seni. Kesenian ini ditampilkan dengan membawakan sebuah alur cerita yang kebanyakan cerita yang dibawakan adalah cerita lucu atau lelucon.
Di Indonesia, reog jenis ini diperkenalkan secara nasional oleh Kelompok Reog BKAK, sebuah kelompok dari POLRI (dahulu: Angkatan Kepolisian). Para pemainnya adalah Mang[1] Udi, Mang Diman, Mang Hari dan Mang Dudung. Atau sekitar tahun 1967 muncul perkumpulan Reog Wanita dengan tokohnya Pak Emen dan Ibu Anah dan kemungkinan di daerah lainnya pun bermunculan seni reog, hanya tidak tercatat secara jelas. Daerah yang terkenal dengan pertunjukan Reog Sundanya adalah kawedanan Banjaran di kabupaten Bandung.
Reog Sunda merupakan suatu rombongan yang terdiri dari empat orang. Terdiri dari seorang dalang, dan seorang pelawak atau disebut bodor. Dengan iringan angklung, dogdog, sebuah genderang, tarompet (semacam klarinet) dan goong awi. Dan yang ditampilkan adalah hal-hal yang lucu. Oleh karena itu seluruh pertunjukan bersifat keramat, buktinya para pemain dalam hidup mereka sehari-hari tidak boleh membuat lelucon seperti itu. Dan pada pertunjukan itu juga disediakan sesajen di dekat lampu kuno yang harus menerangi pertunjukan itu. Sebelum mengadakan pertunjukan para pemain harus berpuasa. Dan sebelum memulai pertunjukan mereka harus mengucapkan jangjawokan (mantra). Dalam pertunjukan mereka bebas untuk menyindir seseorang atau keadaan, yang dalam kondisi lain mereka tidak pernah akan melakukannya. Kita harus menganggap mereka lebih dari orang-orang biasa, yang memiliki daya istimewa, jadi memiliki kebebasan yang lebih banyak daripada orang-orang lain. (Dr. Hidding. Majalah Djawa. XI, 1929, hlm. 129).
Yang menarik dari Reog Sunda adalah adanya pemunculan seorang laki-laki yang berpakaian seperti perempuan atau juga perempuan yang berpakaian seperti laki-laki. Bisanya ini hanya untuk mengisi peran komedi yang bisa berlangsung lebih dari lima jam. Di jawa seniman yang melakukan cross-gender seperti itu disebut travesti. Travesti ini dapat ditemukan di banyak kesenian di Pulau Jawa.
Seni Reog ini disenangi oleh masyarakat terutama masyarakat di pedesaan dan sebagian kecil masyarakat perkotaan karena mengandung unsur hiburan dan daya tarik irama gendang. Namun sekarang ini pemain dan kelompok organisasinya semakin sulit untuk dijumpai. Kalaupun ada, mereka itu biasanya dari kelompok generasi tua. Pertunjukannya pun sudah semakin jarang karena tidak ada atau sangat kurangnya permintaan untuk tampil.
Selain faktor-faktor yang sudah disebutkan di atas, faktor lain yang membuat Reog Sunda sepi peminat adalah derasnya laju globalisasi dan miskinnya historiografi Sunda yang mengandung logika dan pesan historis (ibrah, historical message) bahwa sumbangan kelompok etnis ini pada sejarah dan kebudayaan nasional seolah kecil dan kurang berarti dalam politik dan kebudayaan.
Bila selama ini ada beberapa pernyataan optimis dari para juragan dan inohong Sunda bahwa kebudayaan Sunda akan bertahan dalam proses globalisasi, maka yang dimaksud sebetulnya adalah masih adanya “sisa-sisa” kebudayaan Sunda yang terlihat pada event-event tertentu, atau pada usaha-usaha mempertahankan budaya lewat pertunjukkan-pertunjukkan formal, rembukan-rembukan formal tentang seni, sastra dan kebudayaan Sunda, bukannya merujuk pada kebudayaan riil (nilai-nilai, pandangan hidup, identitas budaya, gaya hidup) yang aktual hidup di tengah-tengah masyarakat.
Dari kasus-kasus tersebut, nampak bahwa kebudayaan Sunda tengah mengalami proses desundanisasi yang dahsyat. Proses ini suatu saat bukan mustahil akan berakibat pada punahnya kebudayaan Sunda di masa mendatang. Kepunahan ini bakal terjadi bila kebudayaan Sunda semakin kehilangan daya fungsionalnya di tengah-tengah masyarakat Sunda kontemporer. Kehilangan daya fungsional budaya ini ditunjukkan oleh sikap dan kenyataan bahwa generasi muda Sunda merasa tidak perlu lagi ber-Sunda untuk hidup di zaman modern ini. Generasi Sunda modern sekarang merasakan kesundaan identik dengan tradisionalisme dan ketertinggalan.
Jadi, dari punahnya suatu kebudayaan, maka secara otomatis keseniannya juga akan ikut punah bersamaan dengan nilai-nilai yang dibawa dari kebudayaan tersebut, yaitu keberagaman ekspresi gender.
Catatan Kaki
[1] “Mang” adalah sebuah gelar untuk seniman alam (bukan akademisi), khususnya untuk seniman tradisional Jawa Barat.
SUMBER
Pigeaud, Dr. Th. 1991. Kesenian di Tanah Jawa. Jilid I. Diterjemahkan oleh: Pringgokusumo, BA, Muhammad Husodo; Yogyakarta. Perpustakaan Istana Mangkunagaran.
ONLINE
http://www.handmade.tobucil.net/2012/02/memertahankan-reog-ala-sunda.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Reog_(Sunda)
http://dadmodifications.blogspot.com/2013/08/10-jenis-kesenian-tradisional-di-jawa.html
https://moeflich.wordpress.com/2008/04/01/kebudayaan-sunda-diambang-kepunahan/