Search
Close this search box.

Identitas Manusia Itu Cair

Suarakita.org – Sabtu 11 April 2015, Suara Kita mengadakan kuliah umum bertajuk Filosofi Dasar Politik Identitas dengan Narasumber, Rocky Gerung, Dosen Filsafat Universitas Indonesia (UI). Sekitar 22 peserta menghadiri kuliah umum kali ini.

 

“”Saya tidak kesulitan datang ke sini (sekretariat Suara Kita – red), tidak kepanasan karena saya naik mobil ber-AC. Kesulitan saya adalah menembus hambatan kultural yang membuat saudara-saudara (LGBT – red) harus bersembunyi di sini (Suara Kita – red)”, ungkap Rocky Gerung membuka kuliah umumnya.

 

Kemudian Rocky berusaha membogar politik Identitas. Dia memulainya dengan melihat papan agenda Suara Kita yang kosong. Bagi Rocky karena Negara tidak memiliki agenda mengenai LGBT justru kita yang harus menuliskannya sendiri.

 

Selanjutnya Rocky pun menyoroti terjemahan yang tepat dari Our Voice, apakah Suara Kita atau Suara Kami yang lebih tepat. Menurut Rocky, kata ‘kami’ lebih ekslusif daripada kata ‘kita’. Dalam politik identitas kata ‘kami’ lebih pas karena lebih mewakili suara-suara yang terpinggirkan.

 

Bagi Rocky Gerung, politik identitas adalah hasil rumusan politis , dihasilkan secara politis dan diproduksi untuk mempertahankan hierarki. Referensinya bisa berbagai macam; moral, rasial, agama dan norma lainnya. Politik identitas selalu mengandaikan adanya referensi tunggal, konsekuensinya adalah hilang kesetaraan. Sehingga politik identitas menutup pintu pada the other (si liyan, yang lain).

 

Suasana Kuliah Umum Suara Kita (Foto : Yatna Pelangi/Suara Kita)
Suasana Kuliah Umum Suara Kita
(Foto : Yatna Pelangi/Suara Kita)

 

Rocky mengambil contoh politik identitas perempuan. Bagi Rocky, politik penyingkiran perempuan adalah politik identitas. Bagaimana posisi perempuan selalu menjadi nomor dua di bawah laki-laki. Hal itu pun dilegalkan dalam teks-teks keagamaan dan norma sosial yang berlaku. “Dulu pada abad ke-15, bila ada perempuan lajang dan hidup sendiri dan mandiri, maka perempuan itu bisa dituduh sebagai penyihir dan di bawa ke pengadilan inkuisi gereja setelah itu di hukum mati. Makanya menikah menjadi semacam tujuan bagi perempuan”, cerita Rocky.

 

Dalam konteks saat ini, berdasarkan penuturan Rocky, peradaban berubah. “Identitas itu liquid (cair – red)selalu dalam konteks semiotik, tidak stabil”, ungkapnya.

 

Pertanyaan menarik datang dari Fere, peserta kuliah umum. “Identitas bukanlah suatu hal yang singular, misalnya saya. Saya adalah seorang perempuan, lulusan psikologi. Apakah kita perlu membangun identitas yang utuh dan universal atau justru yang diperlukan adalah penyingkiran identitas?”.

 

Menjawab hal ini, Rocky mengatakan bahwa cara pandang terhadap identitas mesti diubah. “Identitas tidak pernah menetap dan berhenti”, kata Rocky. Kemudian dia menjabarkan sejarah kata identitas. Kata identitas diambil dari bahasa yunani yang artinya orang yang sudah mati, artinya selama manusia masih hidup identitasnya bisa berubah-ubah. Sehingga dalam konteks sekarang identitas tidak mungkin distabilkan (dibakukan – red). (Teguh Iman)