Search
Close this search box.

[CERPEN]: SEPASANG LAKI-LAKI DI RESTORAN CEPAT SAJI

Oleh: Rafandha*

Suarakita.org- “Aku mau putus,” kataku pelan.

Damar tersontak dari tempatnya duduk, menatapku dengan raut muka tidak percaya. “Apa?”

“Aku mau kita putus, Damar,” ulangku. Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap matanya langsung.

Bulir-bulir hujan sebesar biji jagung mulai gugur. Dengan lembut namun tajam mencumbu atap seng sebuah restoran cepat saji, tempat kami bernaung. Suaranya gemericik mengisi keheningan antara kami berdua.

“Jangan seperti ini, Aksa. Aku mohon,” katanya memelas. “Kamu masih cinta aku, kan?”
Aku hanya bisa menggeleng. Aku mengangkat wajahku perlahan lalu berujar, “Bukankah cinta itu tidak butuh alasan dan berhenti mencintai juga memakai perkara yang sama?”

Kulihat rahang Damar mengeras. Tangannya sudah mengepalkan tinju yang siap melayang ke arahku.
Aku memejamkan mata. “Lakukanlah, Damar. Lakukanlah,” ucapku pasrah.
*
Seharusnya hari ini tidak jadi seperti ini. Seharusnya hari ini aku dan Damar bisa duduk bersama menikmati senja dari spot favorit kami di restoran ini. Seharusnya ada kado-kado, kue dengan lilin bentuk angka satu dengan cheesecream di sekelilingnya. Seharusnya ada gurauan kecil ketika kita mulai mencomot kue seperti bulan-bulan sebelumnya.

Seharusnya.

Tapi, semua itu berubah saat kemarin, aku tak sengaja mencuri dengar teman kerjaku berkata dengan antusias, “Aku punya kabar baik!”

Semua dalam ruangan itu, termasuk aku menajamkan telinga. Kabar baik di ruang ini berarti dapat bonus tambahan dari bos, atau gol proposal tender, atau yang paling akhir—sekaligus kemungkinan paling jelek di antara semua kemungkinan adalah sebuah gosip!

“Kabar apa?” Merry dari kursi depan bertanya.

Rendi yang membawa kabar tadi senyum-senyum girang. “Kalian tahu kan pak Damar dari lantai bawah?”
Semua mengangguk. Telingaku tergelitik mendengar nama Damar disebut. Kekasihku. Walaupun orang-orang tidak tahu.

“Pak Damar mau married!”

Ada godam yang memukul kepalaku keras. Dadaku sesak seakan semua oksigen telah habis terkuras dalam lubang hitam. Ada petir yang menyambar seluruh saraf sehingga rasanya sakit luar biasa.

“Kamu tahu dari mana?” Niken menyambar.

Rasanya aku ingin segera pergi dari tempat itu, menghampiri Damar, lalu bertanya mengenai hal ini. Akan tetapi, kupingku sudah terlanjur memanas. Separuh tubuhku memaksa untuk tetap tinggal.

“Kemarin, kata Rayyi anak HRD, Pak Damar sudah mengajukan cuti buat pernikahan dan bulan madu. Terus, kalian tahu Rike?”

Semua sontak mengangguk. Rike, resepsionis yang juga teman dekat Damar, itu cantik. Wajar jika semua orang tahu.

“OB dengar, Rike diajak Pak Damar buat beli cincin!”

Semua sontak bertepuk tangan. Ada yang mengangguk setuju. Di tempatku, pikiranku menerawang. Damar dan Rike. Dua orang yang sangat cocok. Dibandingkan dengan Damar dan aku…

“Sudah muda, posisi bagus, dapat istri cantik…” gumaman terdengar di telingaku. Entah dari siapa.

Pelupuk mataku memanas. Dan ada setitik air mata yang turun perlahan.
*
Damar memukul keras meja bundar restoran ini. Untunglah saat ini kami berada di lantai dua. Tidak ada orang. Sangat aneh bukan, dua pria bertengkar masalah cinta? Ya, dua pria. Aku dan Damar.
Bukankah cinta itu universal? Semua orang berhak untuk jatuh cinta?

Aku juga heran. Hubungan yang semula sebatas teman kerja bisa jadi seperti ini. Kata ibu, witing trisno jalaren soko kulino. Cinta itu datang karena terbiasa. Tapi, Beliau tidak pernah berujar jika ini bisa terjadi pada dua orang yang ‘sama’.

“Apa alasannya?” tanyanya setelah kembali tenang.

“Takkan berhasil. Untuk apa membaca cerita yang kamu sudah pasti tahu akhirnya.”
Dia bungkam. Aku bungkam. Kami berdua bungkam.

“Aku tahu, menjadi seperti kita itu tidak mudah,” ia kembali berujar. “Tapi, yang harus kamu tahu. Aku sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu.”

Aku masih saja diam.

“Aku tahu, akhir dari kita itu sudah jelas. Orang-orang yang nggak terima kita. Orang-orang yang jijik melihat kita. Orang-orang yang sampai mati akan terus melawan kita,” lanjutnya. Nadanya bergetar.

“Tapi, aku gak peduli, Sa. Selama kamu terima aku. Aku gak peduli apa kata mereka. Dan asal kamu tahu, akhir dari kita itu kita yang pilih. Kita nggak bisa begitu aja menyerah.”

“Tapi bukannya kamu—”

“Kamu kira aku suka sembunyiin hubungan kita kayak gini. Sejujurnya, aku nggak suka. Aku pengin sekali bilang sama dunia kalau aku punya kamu. Tapi, kamu tahu kan paradigma orang-orang tentang kita? Padahal kita sama-sama manusia yang sedang jatuh cinta.”

“Tunggu… Sebentar…”

“Asal kamu tahu, aku juga berencana melamar kamu,” bisiknya pelan, “aku udah minta temani Rike buat atur semuanya. Itu hanya karena aku pengin ada status yang jelas bagi kita. Biar orang tahu kalau kita itu ada.”
Aku menutup mulutnya dengan burger. “Dengerin aku!” ucapku. “Bukannya kamu mau nikah sama Rike?”

“Apa?” Ia terkejut bukan main.

“Kata orang-orang di ruanganku, kamu mau married. Bulan madu. Beli cincin…”
Seketika tawanya pecah. Ia terbahak. “Itu untuk kamu, Sayang.”

“Apa?” Giliran aku yang terkejut bukan kepalang.

“Jadi kamu mutusin aku gara-gara ini?” ucapnya lalu mendekatkan wajahku. Ia lalu mengecupnya sedikit.

“Nanti ketahuan orang,” ujarku gerah.

“I don’t care. Mungkin orang-orang bakal aneh, ada sepasang laki-laki di restoran cepat saji. Tapi bagiku, itu sama sekali nggak salah.”

Mukaku memerah.

“I love you.”

Aku membalas ucapannya. “I love you too.”

“Jadi, kapan siap mau dilamar?”

Kembali mukaku memerah. Jika memang orang-orang belum menerima bahwa kami ada, cukup kami yang saling berada antara satu sama lain. Seperti ini. []

Palembang, 25 Januari 2015

*Rafandha adalah seorang mahasiswa Universitas Sriwijaya. Biasanya menulis cerita pendek di majalah-majalah.

Bagikan