Search
Close this search box.
(Sumber : https://gabyxdiana.files.wordpress.com)
(Sumber : https://gabyxdiana.files.wordpress.com)

Oleh : Nursyafira Salmah*

Suarakita.org- “Waria sih biasanya kerja di salon atau ngamen, kalau teman-teman trans laki-laki identik dengan apa ya?” (N, 17 tahun), seorang rekan yang masih mengenyam pendidikan di sekolah menengah dan tidak pernah mendalami isu gender dan seksualitas, mengungkapkan pendapatnya saat saya mengajukan pertanyaan, “Apa yang kamu pikirkan saat saya menyebutkan kata waria dan transgender laki-laki?”

 

Saya menekankan pada kata “biasanya” dan “identik”. Dua kata tersebut mengacu pada pandangan umum orang terhadap suatu objek atau subjek. Hal inilah yang dikenal dengan istilah stereotip (dalam bahasa). Stereotip terkadang menjadi sebuah jebakan karena belum tentu berlaku untuk semua objek atau subjek.

 

Masyarakat dan sistem mensosialisasikan keberadaan teman-teman transgender perempuan itu bermatapencaharian sebagai pemangkas rambut atau pengamen. Sedangkan untuk teman-teman transgender laki-laki yang eksistensinya belum bisa disandingkan dengan transgender perempuan, masih perlu kerja keras untuk mencari keidentikan mereka.

 

Pembahasan mengenai stereotip inilah yang akan dibahas dalam jurnal ini. sebuah jurnal penelitian karya Stephanie Beryl Gazzola dan Melanie Ann Morrison, professor ahli di bidang psikologi di University of Saskatchewan, Saskatoon, Saskatchewan, Kanada. Dalam jurnal ini hasil penlitian Gazzola dan Morrison menjawab rasa penasaran akademisi maupun non-akademisi dalam melihat fenomena bagaimana orang-orang awam memberikan penilaian atau pandangan mengenai transgender perempuan maupun laki-laki secara individu.

 

Di dalam jurnal penelitian ini, banyak transgender secara individu pernah mengalami diskriminasi dalam beberapa titik dalam kehidupannya. Menurut Gazzola dan Morrison (2014), diskriminasi terhadap transgender hadir sebagai efek samping stereotip masyarakat terhadap keberadaan transgender.

 

Gazzola dan Morrison (2014) menggambarkan pula bagaimana stereotip dan transgender laki-laki (transgender female to male (FTM) – red) diperoleh melalui hasil perbincangan mulut ke mulut, melalui media cetak dan elektronik. Bahkan beberapa peserta penelitian ini mereproduksi stereotip tentang transgender dari hasil interaksi personal mereka dengan transgender.

 

Ada tiga hasil utama dalam penelitian ini (Gazzola dan Morrison, 2014). Pertama, Diindikasi bahwa stereotip kultural terhadap transgender laki-laki lebih negatif daripada transgender perempuan (transgender male to female (MTF) – red). Pandangan umum peserta penelitian mengungkapkan lebih banyak stereotip negatif untuk ditujukan kepada transgender laki-laki. Peserta penelitian lebih terbiasa menerima keberadaan transgender perempuan dan lebih mudah untuk memberikan pandangan terhadap mereka. Sedangkan stereotip transgender laki-laki masih seputar bahwa mereka adalah ‘lesbian’.

 

Kedua, hasil yang sama tidak berlaku untuk stereotip personal (partisipan) tentang transgender secara individu. Namun untuk stereotip yang khusus keluar dari pikiran peserta penelitian secara individu, baik transgender laki-laki maupun transgender perempuan sama-sama dinilai sebagai orang-orang yang ‘terjebak di tubuh yang salah’. Baik transgender laki-laki maupun perempuan sama-sama dipandang dengan stereotip yang negatif yaitu ‘melawan kodrat’.

 

Ketiga, Semakin negatif stereotip kultural pada faktanya maka semakin besar level prasangka kepada para transgender. Maksudnya adalah semakin orang-orang secara individu maupun berkelompok mereproduksi stereotip kultural yang negatif tentang transgender maka peluang transgender mendapatkan diskriminasi karena prasangka (trans-prejudice) semakin besar.

 

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa stereotip budaya transgender laki-laki lebih negatif daripada stereotip untuk transgender perempuan. Temuan serupa tidak muncul untuk stereotip pribadi yang dimunculkan peserta penelitian tentang transgender secara individu. Selain itu, peserta penelitian mendukung stereotip budaya yang lebih negatif yang juga dibuktikan dengan lebih besarnya tingkat prasangka peserta penelitian kepada transgender.

 

Implikasi dari temuan penelitian ini adalah bagaimana peneliti mengonseptualisasikan pembahasan mengenai prasangka terhadap trans (trans-prejudice). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan prasangka sebagai pendapat atau anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui (menyaksikan, menyelidiki) sendiri. Oleh karena itu jika diartikan trans-prejudice adalah anggapan yang kurang baik mengenai teman-teman transgender, baik transgender laki-laki maupun perempuan.

 

Trans-prejudice harus diwaspadai oleh orang-orang yang peduli atau yang berada dalam gerakan untuk transgender. Secara kasat mata mungkin stereotip tidak selalu membuat risih transgender secara individu (Gazzola dan Morrison, 2014). Namun, jika implikasinya adalah prasangka dan diskriminasi terhadap transgender, maka ini berbahaya untuk transgender secara kelompok ataupun gerakan.

 

Trans-prejudice ditakutkan dapat memancing munculnya tindak kekerasan verbal, psikis, hingga fisik terhadap transgender. Jika kita bisa berkaca pada beberapa kasus pembunuhan dimana transgender menjadi korban, trans-prejudice serta sikap diskrimintaif menjadi salah satu penyebabnya. Lalu media yang mengabarkan berita tersebut secara tidak langsung mereproduksi lagi stereotip-stereotip yang mayoritas negatif mengenai transgender. Hal tersebut adalah bentuk sosialisasi media mengenai “apa” dan “siapa” transgender itu.

 

Oleh karena itu mulai sekarang, berkaca dari penelitian ini, kita cegah stereotip negatif yang ‘menghantui’ teman-teman transgender. Karena dari jurnal penelitian ini kita bisa melihat bagaimana stereotip yang bahkan bisa tidak sengaja terpeleset dari mulut kita sehari hari bisa berujung pada sikap diskriminatif serta prasangka terhadap transgender.

 

*Penulis adalah mahasiswa FISIP UI, dulu pernah magang di Suara Kita. Saat ini, Penulis sedang meneliti transgender female to male di Indonesia.

 

Ringkasan jurnal dalam bahasa Indonesia bisa diunduh di bawah ini [gview file=”http://suarakita.org/wp-content/uploads/2015/04/Ringkasan-Jurnal-Stereotip-terhadap-transgender-laki-laki-dan-perempuan.docx”]

Jurnal lengkap dalam bahasa Inggris bisa diunduh di bawah ini [gview file=”http://suarakita.org/wp-content/uploads/2015/04/SL-Stereotype-Transgender-men_women.pdf”]