Oleh: Banyu Bening*
Suarakita.org- Kata dia: pakaian yang paling membuat aku cantik adalah saat pakaian itu tak kupakai, mukadimah tiap kali dia ingin bercinta. Hilang semua bekas luka, hanya sesuatu tak bernama yang menjalari remang bulu di sekujur tubuhku, remang yang sama pula. Sirna sudah bunga api kata yang kerap membakar telinga, dimana isi suaka marga satwa biasa dilempar paksa ke dalamnya. Sesuatu yang tak bernama inilah yang selalu membuatku kembali dan kembali memaafkannya. Yang membuatku seperti buku tulis, yang selalu kembali kosong saat kau buka lembar barunya. Lalu jika aku buku, berapa lembar lagi kah hingga benar-benar tak ada lagi lembar kosong??
Siapa yang menciptakan duka manusia selain manusia itu sendiri, tak pernah aku bantah mentah-mentah. Meski tak ada ukuran sesuatu itu sudah parah meski telah patah sampai sekalipun sudah muntah. Ah, sudah lama aku tak ingat rasanya muntah, muak, bahkan aku tak tahu rasanya patah. Karena aku sudah lumer dalam sentuhanmu, kemudian hanyut mengaliri rasa yang juga tak bernama.
Ada pelangi di lensa mata, ada harum di dalam dada. Gemulai tubuh jadi bahasa, undangan disebar rata. Jaminan bisa hidup berdua, ada cinta dalam celana. Waktu merubah rasa, prinsip jadi senjata. Padahal ada cinta dalam celana tetangga, sedang aku selalu melupa. Bahkan belakangan celana tetangga punya singan: celana saudara. Pernikahan selama ini hanya seperti selembar surat ijin sebagai pembenaran seorang lelaki menyenggamai seorang perempuan, menyemaikan bibit keturunan, memukulinya jika dianggap tak patuh kemudian menduakannya dengan alasan yang pertama tak cukup mampu melayani. Setidaknya bertahun-tahun bersamanya, itu yang sudah aku alami.
Apa gunanya mengingat masa lalu? Namun itu pulalah yang selalu kulakukan saat sendiri menahan perih di muka, pun perih di dada. Setelah kedapatan menumpahkan sperma dalam isi celana tetangga, kemudian mengukir tanda di muka, biasanya ia akan hilang beberapa bulan. Meski sesungguhnya ia tak benar-benar menghilang dari ingatan. Yah … aku tak pernah bisa mengeluarkannya dalam ingatan juga pikiran. Selalu berhasil tertahan oleh sesuatu yang tak bernama itu. Kemudian kembali membawa sesuatu yang ia sebut cinta, aku kembali lumer.
***
Dan jika ini dianggap sebuah trauma sekalipun, aku sama sekali tak berniat untuk membantahnya. Takdirku bersamanya sudah aku terima, dan takdirku bertemu denganmu apa harus aku ingkari?? Tidak, bukankah siapapun berhak bahagia?? Kecantikan bukanlah kutukan bagi perempuan, aku menginginkannya sejak sesuatu yang tak bernama itu lebih indah dari yang ditawarkan suamiku dulu. Apakah hidup sebagai sesuatu tawar-menawar? Sebuah pilihan? Jika iya, maka aku sudah memilihmu.
“Apa kau gila Yuni… dia perempuan lho!”
“Mungkin, tapi aku menginginkannya, juga sebaliknya”
“Apa sudah kau pikirkan masak-masak, tentang konsekuensi? Baik pada anakmu, kerabat, masyarakat dan Tuhan?”
“Anakku manusia biasa yang tentu akan memilih bahagia ketimbang selalu tersiksa, kerabat tak pernah punya solusi nyata akan hidupku, terlebih masyarakat, dan Tuhan? Dia lebih tahu karena Ia maha tahu, maha menyayangi dan Ia yang mengutus perempuan itu untukku”
Kalau sudah begitu Santi akan diam, dari dulu ia juga hanya diam seperti kerabat juga masyarakat. Melihat betapa perlakuan Gito padaku yang kejam, melihat aku yang gila oleh sesuatu yang tak bernama, yang hanya berputar pada pusaran rasa yang kini sangat terasa basi. Malam tanpa sekeping puisi, pekatnya mengalahkan kopi. Saat lonceng jam berdentang sepuluh kali, tersadar aku sedang di pucuk sepi. Kurindui syair melangit, dengan manis namun menangis. Syair yang tak mampu kau inderai, namun mengejut bulu perindu dengan syahdu. Ah …Siapa menyapa gulita dengan setia, embun kan menghampiri membawa cinta.
Tuhan sudah kumaknai dengan sempurna, dia selalu kan hadirkan bahagia. Melalui angin yang menggendong hujan dan membawanya jatuh di tiap permukaan wajahku. Dingin, sejuk, perasaan yang kini kurasa setelah puluhan tahun hilang.
“Sri, simpan rasa ini selamanya untukku!!”
*Banyu Bening, Sekarang berdomisili di Kota Malang Jawa Timur. Yang berkegiatan menulis puisi dan cerpen.