Search
Close this search box.
SELALU TERANCAM: Jay Mulucha saat tampil membela Magic Stormers. Pengakuan tentang status transgender nya membuat dia terancam. (Guardian)
SELALU TERANCAM: Jay Mulucha saat tampil membela Magic Stormers. Pengakuan tentang status transgender nya membuat dia terancam. (Guardian)

Suarakita.org- Hidup di Uganda, sebuah negara di dunia yang terkenal paling anti terhadap homoseksualitas, adalah hal yang sangat sulit bagi Jay Mulucha. Namun, Mulucha, pemain basket transgender asal negara Afrika Timur itu, tidak gentar terhadap diskriminasi dan pelecehan yang terus mengintainya.

Hidup sebagai atlet transgender di Uganda adalah hal yang sangat berbahaya. Sebab, negara tanpa pantai di Afrika Timur tersebut adalah salah satu negara yang paling homofobia di dunia.

Namun, Jay Mulucha berusaha untuk bertahan dalam bahaya. Mulucha adalah pemain Magic Stormers, anggota tim basket profesional Uganda (FUBA). Kehidupan Mulucha memang sangat pelik.

Pada 1960-an, basket diperkenalkan di Uganda oleh relawan American Peace Corps. FUBA mengestimasikan 1 juta dan 36 juta rakyat Uganda bermain basket. Sepak bola masih menjadi olahraga utama. Namun, basket mulai menuju ke arah popularitas yang mengesankan.

Mulucha bermain basket pada usia remaja. Di sekolahnya, hanya pria yang memainkan olahraga yang lahir di Amerika Serikat tersebut. Mulucha mencintai basket karena olahraga itu menempatkan teamwork dalam posisi yang sangat istimewa. Dia memupuk kecintaan tersebut dengan rajin memutar DVD yang berisi aksi ikon-ikon top NBA seperti Michael Jordan dan LeBron James.

Tapi, selama menekuni basket, Mulucha juga gusar dengan identitasnya. Lahir sebagai lelaki, namun dia memiliki jiwa perempuan. Padahal, hidup sebagai homoseksual adalah hal yang sangat berbahaya di Uganda.

Sebagai negara Kristen fundamentalis layaknya negara koloni Inggris di Afrika, Uganda memiliki undang-undang anti-gay. Berdasar laporan BBC, terdapat 500 ribu gay yang hidup di Uganda. Namun, mereka hidup dalam ketakutan yang sangat intens.

Saat Mulucha mengungkapkan jati dirinya pada 2010, keluarga menolaknya. Bahkan, kakak lelaki dan perempuannya berusaha menyeret Mulucha ke pengadilan.

”Sejak saat itu, seluruh kota memusuhi saya. Ke mana pun saya pergi, orang-orang merasa terancam. Saya ini merasa seperti alien saja,” kata Mulucha sebagaimana dilansir The Guardian.

Mulucha lantas menemukan perlindungan dan terhindar dari pengadilan karena bergabung dengan Stormers. Di sana, dia bermain dengan transgender lain, Williams Apako yang berposisi sebagai small forward.

Apako mengenalkan kepada Mulucha bukan hanya LeBron James, tetapi juga pahlawan transgender di dunia basket seperti Gabrielle Ludwig dan Kye Allums. ”Kami tetap saja mendapatkan diskriminasi. Namun, kami beruntung karena memiliki tim basket yang saling membantu antara satu orang dan lainnya,” kata Mulucha.

Tetapi, Stormers akhirnya berada dalam bahaya karena menerima Mulucha dan Apako. Tabloid dan radio terus menyudutkan mereka. Pemain rookie dan pemain dari tim lain disarankan untuk tidak bergabung dengan Stormers. Bahkan, dalam pertandingan, Mulucha mendapat diskriminasi yang intens.

”Jangan menyentuh saya. Jangan pernah dekat dengan saya. Kami tidak mau disentuh oleh gay!” kata Mulucha, menirukan ucapan banyak pemain tim lawan. Padahal, sentuhan antar pemain adalah hal yang tidak bisa dihindarkan dalam permainan basket.

Penonton juga tidak kalah ganas. ”Kami akan memerkosamu. Kami akan mengajari caranya untuk menjadi perempuan,” tutur Mulucha, menirukan penonton-penonton tersebut.

Tetapi, Mulucha tidak gentar. Dia lebih merdeka karena jujur atas identitasnya daripada terus hidup dalam kebohongan. Dia juga terus bergerak dalam organisasi pembela hak-hak kemerdekaan seksual di Uganda. ”Saya merayakan diri saya sebagai transgender. Saya bangga karena saya juga bermain basket,” ucap dia. (nur/c11/bas)

Sumber: jawapos.com