Search
Close this search box.

[CERPEN] Pada Sebuah Pelabuhan

Oleh Kalamita*

Suarakita.org- Senja mulai menampakan guratannya pada sela gelembung awan yang menebal. Wajah langit mulai memadam b ersama dengan suara ombak yang tenang. Seseorang terduduk menata pada garis lintang yang tak berujung, sambil menyeruput kopi yang tersisa dan sekali hisapan rokok di tangan. Hati Lukman masih terluka…

 

Pagi itu Ia mendengar kabar bahwa ayahnya telah pergi untuk selama-lamanya. Tanpa berpikir panjang, Ia pun bergegas memesan tiket untuk kembali menginjakan tanah kelahiran yang telah ditinggalkannya untuk merantau di lamparan samudra, dengan bekerja sebagai awak kapal pesiar.

 

Namun setibanya di rumah, waktu tidak berpihak padanya. Tak seorang pun dari sanak keluarga atau kawan-kawan masa kecilnya yang memberi kabar soal jadual pemakaman. Ia temui rumah tumbuh kembangnya dengan lembaran tikar dan dipan yang masih membujur tanpa kasur. Semua masih tampak rapi dan belum tersentuh kecuali jenazah Ayahnya yang tidak lagi terbaring di sana.

 

Ia hanya mampu duduk menghadap papanan kayu kosong itu sambil lirih berucap: “Maafkan aku, Pak. Aku terlambat…” Kemudian Ia melangkahkan kakinya menuju pelabuhan yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Sebuah tempat yang biasa Ia jadikan singgahan di kala masa kanak-kanak, saat hatinya sedang sedih atau sepi. Ibunya telah lebih dulu meninggalkan Bapaknya.

 

Sejak itu, hidupnya semakin sunyi. Belum lagi hubungan yang kurang baik dengan Bapaknya, atas campur tangan keluarga besar dan lingkungan sosial, Bapaknya memilih mempercayai masukan dari mereka ketimbang melihat realita di depan matanya. Seorang anak kecil berusia tiga belas tahun yang rapuh dengan hati terluka.

 

Hubungan yang terjalin puluhan tahun dengan Bapaknya hanya sebatas sebuah hubungan menghabiskan waktu pada setiap detik yang menguap. Tanpa bantuan, tanpa kedekatan. Pertikaian dan salah paham membuat Lukman memilih hijrah mencari sebuah tempat yang nyaman. Walau sering Ia mengalami kesulitan dan tekanan, tapi semua tidak terlalu berarti karna luka yang tertoreh dari sebuah keluarga lebih mengikatnya.

 

Hingga akhirnya, Ia bekerja, menikah dan memiliki anak perempuan yang cantik dan cerdas. Meski Ia hanya dapat bertemu dengan anaknya sekali dalam tiga bulan, tapi momen itu benar-benar tidak disia-siakan. Kondisi pekerjaan menghadapkan dirinya berjarak lokasi dengan keluarga yang telah dibangunnya selama lima tahun ini.

 

Malam ini, masih terduduk di bangku pelabuhan, Lukman kembali mengingat rekaman yang telah disimpannya puluhan tahun silam. Hatinya kian hancur karna kepergian Bapaknya yang tidak menyempatkan dirinya untuk berkomunikasi dengan Almarhum.

 

Pada hembusan nafas yang berat dan panjang, Ia berdiri dari dudukannya dan melangkah kembali pulang ke rumah. Setibanya di rumah, di dapatnya sekumpulan warga yang siap melakukan tahlilan. Ia langsung masuk ke dalam rumah dan menuju kamar mandi lalu masuk ke dalam kamar.

 

“Lukman, kamu gak ikut Yassinan?”, terdengar suara halus dari balik pintu. Tak lama setelah suara itu, pintu kamar terbuka tiga perempat. Tanpa membalas dengan kata-kata, Lukman bangun dan duduk di ujung dipannya sambil bersiap menghadapi percakapan yang Ia sendiri enggan melakukannya. “Kamu selama ini kemana? Tidak ada kabar, tidak tahu kemana harus menghubungi kamu.”

 

“Saya selama ini tetap mengirimi surat meski gak pernah dibalas. Saya dapat kabar pun terlambat, dan itu dari salah satu kerabat Bapak yang masih bersedia berkabar. Bapak akan dimakamkan dimana, Bude?”, balas Lukman pada Bude Santi, adik terkecil Almarhumah Ibunya.

 

“Bapak dimakamkan di makam keluarga, di dekat makam Eyang-eyangmu. Tidak bersamaan dengan makam Ibu.”

 

“Hmm…”, gumam Lukman.

 

“Sampai kapan kamu di sini? Kamu sudah berkeluarga? Kami semua rencananya akan bicara soal rumah ini, dan lain-lain. Nanti kamu ikut ya. Kamu anak satu-satunya, kamu pewaris tunggalnya. Bude yang akan dampingi kamu bicara.”

 

“Ya…”, Lukman pun kembali diam dan merebahkan tubuhnya pada tumpukan bantal di dipan.

 

Tahun berlalu setelah kematian Bapaknya. Lukman menatap pandangannya pada Istri dan anaknya yang masih kecil dengan perasaan yang menumpuk. Kegelisahan dalam dirinya yang selama ini menjadi ganjalan sudah tak lagi mampu ditampung. Ia berniat berbicara dengan Istrinya, namun empatinya begitu menganggunya.

 

“Maya, aku ingin bicara denganmu. Apa saat ini kamu sudah santai?”, tanya Lukman pada Maya, istrinya.

 

Maya pun berjalan menghampiri suami tercintanya setelah mengecu kening Bunga, anak mereka. “Kamu ingin bicara tentang apa, Mas?”, jawab Maya.

 

“Aku tak tahu akan mulai dari mana… Selama ini aku simpan dan hal ini mulai menyiksaku sekarang. Aku tahu ini akan menyakiti semua, khusunya dirimu.”, tegas Lukman.

 

“Maksudnya, Mas?”, tanya Maya dengan hati yang mulai bertanya gelisah.

 

“Aku merasa, aku bukanlah seorang pria. Kepergian Bapakku semakin menguatkan diriku akan keinginanku atas sosok pria. Aku seorang perempuan, Maya.”, jelas Lukman yang melirih…

 

Seketika raut Maya menyiratkan kemerahan yang penuh, antara kecewa sekaligus prihati. Ia begitu mencintai Lukman. Selama ini Lukman adalah sosok suami yang penuh tanggungjawab dan penyayang. Namun Ia tidak menyangka, dibalik itu semua, ada kecambuk diri yang telah menyiksa jiwa suami tercintanya itu.

 

“Tapi aku tidak ingin kehilangan keluargaku. Aku sungguh menyayangi kalian. Bunga telah menjadi salah satu api semangatku selama ini untuk tetap berjuang. Aku tahu, aku telah membohongi dirimu dengan ketidakjujuranku ini. Aku minta maaf, Maya. Seandainya aku pun sanggup memilih jalanku…” Tertunduk menatap karpet warna khaki yang teduh, Lukman makin terpukul telah menyakiti perasaan Maya. Tapi Ia pun tak ingin kebohongan ini berlanjut…

 

Dengan perasaan pedih tapi lega, Maya pun mencoba tenang dan berbicara pada Lukman. Ia tahu, goncangan ini bukanlah sebuah kesalahan atau penghiatan. Lukman tidak melakukan perselingkuhan dalam perkawinannya tapi perselingkuhan dirinya atas dirinya sendiri. “Mas, aku tidak tahu harus bagaimana. Kamu tetaplah suamiku. Aku dan Bunga akan selalu menjadi rumahmu untuk pulang. Jika selama ini kamu merasa tersiksa dengan menjadi seorang pria.., aku rela.., aku rela kalau kamu memilih jalanmu agar kamu lebih tenang.”, jawab Maya pada Lukman.

 

Lukman pun tersentak dengan penuturan istrinya itu. Tidak disangka hati istrinya begitu besar dalam menerima keadaan ini. “Terimakasih Maya. Aku sungguh bersyukur memiliki istri seperti dirimu. Tapi bagaiman dengan Bunga? Aku tak sanggup melihatnya sedih.”, timpal Lukman sambil memeluk dan mencium kening istrinya.

 

“Bunga akan baik-baik saja Mas. Kita sebagai orangtuanya tetap akan membantunya memberi pengertian padanya. Aku percaya, dia akan sanggup menerima realita orangtuanya. Permintaanku hanya satu, Mas. Kita tetap bersama-sama membesarkan Bunga. Khususnya untuk pendidikan Bunga. Aku tidak masalah jika kamu memilih tinggal di rumah yang terpisah, aku tetap menerimamu sebagai suami dan ayah dari anakku.”

 

Sejak percakapan malam itu, Lukman pun telah terbebas dari belenggu trauma masa kecil yang telah membuat jiwanya terbelah. Kini, dengan kasih sayang dan penerimaan istri yang begitu menghargai dan mencintainya, Ia pun menemukan kebebasan jiwanya. Ia tak lagi menjadi sungkan untuk merubah sosok pria menjadi wanita. Ia pun tetap memilih tinggal di rumah keluarganya, bersama Maya dan Bunga.

 

Sebuah rumah yang telah dipilihnya menjadi sebuah pelabuhan dalam kehidupannya. Kehidupan pun menjadi lebih tenang dan nyaman dan mereka, Maya dan Lukman, lebih tampak menjadi dua orang sahabat wanita yang saling mengisi. Tak jarang pula, kekasih Lukman singgah meski tidak menginap di rumah mereka.

 

Bunga tumbuh menjadi seorang anak yang kuat penuh empati pada sekitar…. Sebuah keluarga yang menghargai kasih sayang dan perjuangan telah menjadikan mereka semua sebagai satu keluarga yang saling menjaga dalam bentuk yang unik.

 

 

Lenteng Agung, 6 Maret 2015

 

*Penulis adalah seorang Ibu rumah tangga dengan hobi menari dan menulis. Aktivitas kesehariannya dihabiskan di rumah, berkumpul bersama anak-anaknya.

Bagikan

Cerpen Lainnya