Oleh: Wisesa Wirayuda*
Suarakita.org- Satu. Lucu. Itulah kesan pertama kali aku melihatnya. Dengan tinggi badannya yang lebih tinggi dariku sedikit, senyum manisnya, dan suaranya ketika tertawa. Entahlah, yang terlintas di pikiranku saat itu hanyalah dia sangat lucu dan menggemaskan. Tak aneh jika banyak perempuan yang mendekatinya dan mengajaknya berkenalan. Tapi aku tidak, aku cukup memandanginya dari jauh saja.
Namanya Toni. Rekan mahasiswaku di kampus. Kami berada di tahun yang sama ketika kami masuk, ya mudah-mudahan saja kami juga bisa bersama-sama ketika lulus nanti. Toni orang yang periang. Aku belum pernah melihatnya murung sejauh ini. Dia begitu menawan dengan senyumannya itu. Pasti banyak sekali perempuan yang hilir mudik dalam kesehariannya.
Aku sebenarnya ingin sekali mengajaknya mengobrol atau bertukaran nomor telepon jika perlu. Hanya saja aku menjaga hatiku, aku takut nanti aku terluka. Perempuan sepertiku tidak boleh banyak menuntut, apalagi pada laki-laki setampan Toni.
Jadilah aku sekarang hanya memandanginya dari lantai dua, melihatnya sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya. Gayanya yang luwes membuatku tidak bisa melepaskan pandanganku darinya.
“Hey!” sapa seseorang dari belakangku. Itu Risa, teman sekelasku di kelas bahasa dan sastra lagu.
“Oh.. he… hei!”
“Lagi lihat siapa sih?”
“Engga kok.”
“Oh… aku tahu.” Risa menahan senyumannya di bibirnya.
“Sudahlah.”
“Siska, ke kantin yuk. Aku laper nih.”
“Ayo.”
Selamat tinggal Toni, sampai jumpa lagi.
Dua
–Dua bulan kemudian–
Mengapa banyak sekali laki-laki menawan di kampus ini? Belum selesai urusanku dengan Toni, kini hadir seorang laki-laki yang juga sama menawannya seperti Toni, bahkan menurutku lebih. Kali ini aku benar-benar merasakan jatuh cinta. Padahal aku baru sekali melihatnya berjalan di hadapanku.
“Eh Ton, lihat deh laki-laki di motor itu. Ganteng ya? Aku sepertinya naksir sama dia.”
“Kamu serius?” Toni tertawa kecil setelah bertanya padaku.
“Memang kenapa?”
“Tidak, ya coba saja dekati. Siapa tahu bisa.”
“Memangnya bisa tidak bisa?”
“Ya aku gak tahu, kan bisa saja dia tidak suka sama kamu.” Toni lagi-lagi tertawa kecil. Aku tidak mengerti kenapa dia tertawa seperti itu.
Aku menyaksikan laki-laki itu sedang duduk di atas motornya sembari memainkan ponselnya. Aku tak bisa lepas memandanginya seperti kemarin-kemarin ketika aku melihat Toni. Namun sekarang setelah aku melihatnya, aku tidak begitu menyukai Toni lagi. Tuhan memang hebat bisa menciptakan laki-laki tampan ini dan bisa menakdirkannya untuk berada di kampus yang sama denganku.
“Aku kenal kok sama dia.” Kata Toni tiba-tiba memecahkan lamunan tentang pernikahan yang sedang diputar di kepalaku.
“Serius! Siapa namanya? Siapa?!”
“Namanya Ilman. Gih sapa dia.” Suruhnya.
“Ah aku malu…”
“Kalau kamu malu terus, kapan dapet pacarnya?”
“Aku kan inginnya dia yang menghampiriku.” Kudengar Toni tertawa lagi. Sangat keras. “Kenapa sih ketawa?”
“Tidak-tidak…”
Tiga
–Satu bulan kemudian–
“Itu dia sahabat karibku.” Teriakku pada Toni.
Toni hanya terdiam dan untuk pertama kalinya aku melihatnya sedang bersedih seperti itu. Dia berjalan perlahan kearahku dan melambaikan tangan.
“Kamu kenapa? Cerita dong kalau sedang dalam masalah!”
“Tidak apa-apa kok.”
“Serius tidak apa-apa? Aku aneh loh melihatmu sedih begini. Pasti ada yang tidak beres kan?”
Toni menggelengkan kepalanya dan kemudian duduk di kursi taman. Aku menurutinya untuk duduk juga. Aku menunggunya hingga dia sendiri yang ingin berbicara. Aku tidak mau memaksanya jika memang dia tidak mau mengatakan masalahnya.
“Aku boleh jujur tidak?”
Jantungku berdegup kencang. Oh tidak. Apa yang Toni pikirkan? Apakah dia akan menembakku? Tapi dia kan tahu aku menyukai Ilman. Pikirku. “Ju… Jujur apa?”
“Tapi kamu jangan marah ya. Aku katakan ini karena aku sudah merasa nyaman denganmu dan karena kamu sahabatku.”
“Oke… katakan saja apa yang ingin kamu katakan.”
“Aku gay. Dan Ilman adalah pacarku.”
Duniaku Runtuh seketika siang itu. Aku tak percaya pada apa yang aku dengar. Aku kehabisan kata-kata untuk membalas perkataan Toni itu. Aku hanya tak menyangkanya. Begitu bodohnya diriku. Begitu mudah tertipunya diriku selama ini.
Empat
–Lima hari kemudian–
Toni dan Ilman sedang di hadapanku meminta maaf. Aku hanya diam saja. Aku benar-benar tak tahu harus berkata apa. Dan aku juga tidak tahu apa yang bisa aku perbuat selain terdiam. Sedangkan mereka berdua, terutama Toni, tak henti-hentinya meminta maaf padaku. Entah meminta maaf untuk apa.
“Siska? Jangan diam saja dong. Aku tuh sahabatmu dan aku gak mau persahabatan kita rusak hanya karena ini.” kata Toni.
“Kamu ingat kan aku juga sempat menaruh hati padamu?” tanyaku perlahan pada Toni. Dan dia mengangguk. “Entahlah, aku merasa aku akan menjadi perempuan paling beruntung jika aku bisa menjadi pacarmu. Namun rasanya semua itu hanya mimpi sekarang kan?”
“Tapi, rasa sayang itu kan…”
“Ya ya, aku tahu. Rasa sayang tidak selalu dalam bentuk pacaran.” Kataku. “Aku mungkin hanya kaget mendengarmu berkata seperti itu kemarin. Aku benar-benar tak menyangkanya sama sekali. Aku kira kau akan memintaku menjadi pacarku saat itu.” Aku tersenyum pedih dan sedikit tetawa.
“Entah bagaimana mengatakan ini padamu. Tapi… aku membutuhkan bantuanmu.”
“Bantuan? Untuk?”
“Hmmm… Di kampus. Beredar gosip bahwa aku gay.”
“Memang benar kan?” kataku tanpa berpikir panjang.
“Bukan… bukan itu maksudku. Aku takut kalau banyak yang tahu tentang diriku. Aku takut mereka membenciku.”
Aku terdiam saja. Mencoba untuk mencerna perkataannya itu. “Dan yang bisa aku lakukan adalah?”
“Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya. Mudah-mudahan kau bisa mengerti. Bisa kah kita berpura-pura pacaran?” tanya Toni.
Lagi-lagi aku terdiam. Mudah sekali dia mengatakan itu.
“Aku tidak meminta banyak. Mungkin ketika di kampus kita bisa berjalan berdua. Sisanya aku tidak menuntut apapun. Dan tentu saja kau boleh berpacaran dengan orang lain.”
“Kenapa kau membuat semua ini menjadi rumit? Kenapa tidak kau katakan saja pada mereka bahwa memang dirimu seorang gay dan beberapa hari setelahnya kau meminta maaf untuk sesuatu yang menurutku tidak ada yang harus dimaafkan. Seperti yang kau lakukan padaku sekarang.”
“Ini tidak semudah yang kau bayangkan, Siska. Begitu banyak orang-orang diluar sana yang membenci orientasi seksual ini. Aku tidak tahu lagi harus apa selain menghindari mereka sebisa mungkin.”
“Ubah saja dirimu sendiri.” Kataku lagi-lagi tanpa berpikir panjang.
“Ini bukan sesuatu yang bisa diubah, Siska. Aku akan menjelaskannya padamu nanti.”
Aku tarik nafasku dalam-dalam. “Baiklah, hanya pura-pura.” Aku tak percaya aku akan melakukan ini. “Tapi aku melakukan ini karena kau adalah sahabatku. Aku minta kau juga menghargai keputusanku ini.” kataku akhirnya.
Toni mengangguk cepat dan memelukku. Aku menangis dalam pelukannya itu dan dibalik punggung Toni aku melihat Ilman yang sedari tadi hanya terdiam sedang tersenyum.