Search
Close this search box.
Cabaret Show, salah satu atraksi ladyboy yang menjadi daya tarik wisata Thailand. Foto: travelfish.org
Cabaret Show, salah satu atraksi ladyboy yang menjadi daya tarik wisata Thailand. Foto: travelfish.org

Suarakita.org- Thailand kerap disebut-sebut sebagai negara yang cukup permisif (terbuka) dengan transgender, ladyboy atau shemale. Pada sebuah penelitian, setidaknya diperkirakan ada lebih dari 100.000 transgender di Negeri Gajah Putih ini. Lalu, bagaimana budaya dan hukum Thailand memandang fenomena ini?

Atase Kejaksaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Thailand R Narendra Jatna mengatakan bahwa ada perbedaan sudut pandang antara budaya dan hukum di Thailand ketika memandang fenomena LadyBoy ini.
“Ada yang menarik dari budaya Thailand bila melihat hal ini,” ujarnya ketika berbincang dengan hukumonline di Bangkok, Thailand, Kamis (5/3).

Ia menjelaskan bahwa masyarakat Thailand cukup permisif dengan kaum transgender karena faktor budaya. Awalnya, berawal dari kepercayaan terhadap Dewa Kesuburan dari India yang merupakan sosok laki-laki. Namun, budaya Cina dan Thailand menilai sosok ini sebagai sosok feminim.

“Budaya Cina dan Thailand menganggap kok meminta kesuburan kepada laki-laki. Tentu laki-laki yang feminim wujudnya,” ujar Narendra.

Oleh karena itu, lanjut Narendra, masyarakat Thailand secara budaya lebih permisif dengan fenomena ini. “Lalu, pertanyaannya, secara hukum bagaimana?” ujarnya.

Narendra menjelaskan walaupun seseorang sudah berubah bentuk kelamin sedemikian rupa, hukum Thailand tetap menganggap orang itu berstatus sesuai dengan jenis kelamin ketika kelahirannya. “Walau banyak tampaknya orang-orang transgender dan berubah bentuk, tetapi status hukumnya tetap laki-laki,” ujarnya.

“Jadi walau apapun, dia tetap wajib jadi Monk (biksu,-red). Itu kewajiban bagi setiap laki-laki di sini (yang beragama Budha,-red). Paspornya juga laki-laki,” tambahnya.

Setiap identitas nasional, lanjut Narendra, juga menyebut jenis kelamin ketika orang itu dilahirkan. “Mereka percaya hukum karma bahwa karmanya memang sebagai laki-laki. Dan negara melindungi itu,” jelasnya.

Gregory Smyth, seorang pengacara dari BSA Law Firm di Thailand, menilai filosofi karma ini yang mengilhami hukum Thailand dalam memandang transgender. Ia mengatakan meski masyarakat memiliki toleransi yang tinggi, tetapi masih sedikit perlindungan hukum kepada kaum transgender, ladyboy atau she-male dalam hukum Thailand.

“Warga Negara Thailand yang transgender secara hukum masih diakui memiliki jenis kelamin saat dilahirkan, walau sebenarnya dia sudah melakukan operasi ganti kelamin,” sebut Gregory dalam tulisannya yang dikutip dari situs distributeyourarticles.com.

Gregory menjelaskan mereka juga tidak bisa menggunakan toilet umum sesuai dengan jenis kelamin barunya.

“Selain itu, mereka tidak bisa menikahi orang yang memiliki jenis kelamin yang sama dengan jenis kelamin mereka ketika lahir. Jadi, pria yang mengubah kelamin jadi wanita hanya dapat menikah secara hukum dengan wanita,” jelasnya lagi.

Meski begitu, lanjut Gregory, dalam beberapa tahun belakangan ini politik hukum di Thailand lebih memihak kepada perlindungan kaum transgender. Pada 2002, Departemen Kesehatan Mental Thailand telah “mengeluarkan” homoseksual dari daftar penyimpangan mental sesuai dengan hukum Thailand.

Lalu, pada 2007, Konstitusi Thailand sudah secara lebih jauh menegaskan bahwa perlunya kebijakan anti diskriminasi untuk melindungi hak-hak transgender berdasarkan hukum Thailand.

Sumber: hukumonline.com