Oleh : Wisesa Wirayuda*
Suarakita.org- Berapa ya jarak telunjukku ini ke bulan itu? Mungkin sangat jauh.
Tapi aku tetap saja mencoba meraihnya dengan jemari tanganku seolah aku pasti bisa menggapainya.
Aku juga berfikir, apakah ada di belahan dunia ini yang sedang mencoba menggapai bulan dengan jemarinya sama seperti yang aku lakukan? Mungkin tidak. Mungkin hanya aku yang sudah kehilangan akal sehatku. Mungkin hanya aku saja yang mampu bercumbu dengan bulan. Merasakan kehangatan kasihnya melalui urat nadi dan darah yang mengalir langsung dari jariku menuju jantung.
“Bulan? Kau bisa dengar aku?”
Tentu saja bulan itu hanya membisu, seperti biasanya.
Tapi aku tetap saja berusaha menjangkau bulan itu. Aku tetap tersenyum padanya. Benda bercahaya berbentuk lengkung sabit itu hanya menatapku dari kejauhan.
“Terima kasih kau sudah menemaniku selama ini.” Kataku.
Kemudian aku turunkan tanganku pada akhirnya. Angin malam mulai membuatku merinding. Seolah-olah itu adalah belaian kasih sayang dari kesendirianku ini. Ciuman mesra pada pipiku yang mulai membeku.
Aku sudah tak tahu lagi harus bagaimana mengatakannya. Mencari kehangatan sesaat bukanlah yang aku butuhkan sekarang, karena lilin cintaku sudah padam sejak lama. Aku juga tak mungkin memiliki matahari. Yasudah, aku pilih bulan saja untuk menemaniku disini.
“Bulan? Apakah kau bisa merasakan apa yang aku rasakan? Sakit hati ini? Kebingungan ini? Apa kau melihatku dan selalu mengawasiku dari atas sana?”
Bulan masih terdiam tak mau berbicara.
Aku sudah tak tahan lagi. Berapa lama lagi aku harus termenung seperti ini? Bulan! Aku ingin melakukan sesuatu dalam hidupku. Aku tak mau dipusingkan dengan urusan kelamin seperti ini. Biarkan itu menjadi privasiku selama-lamanya. Aku hanya ingin bebas. Tapi kenapa orang-orang dengan pikiran pendek ini selalu membuatku pusing? Kenapa mereka selalu membicarakan aku? Kenapa mereka tidak sedikit saja belajar mengerti dan memberiku sedikit ruang untuk bergerak?
Aku tarik lututku mendekati dadaku dan kupeluk erat. Kusembunyikan wajahku dibaliknya. Mencengkram kuat-kuat kakiku. Dan aku menahan sebuah teriakan di dalam tenggorokanku.
Aku gay! Lalu apa lagi setelah ini? Aku harus menderita karenanya? Bulan! Tolong jangan diam saja! Katakan sesuatu! Hibur aku! Kau yang selama ini selalu menemaniku, jangan buat aku kecewa seperti ini!
Nafasku berat, “Mengapa ini terjadi padaku?”
Angin malam yang membelaiku pun akhirnya pergi meninggalkan aku sendirian. Aku bagaikan di ruang hampa.
Kubuka kaca mataku dan kutaruh di sampingku. Kuhapus air mataku yang sejak tadi tak berhenti mengalir.
Sebenarnya aku tahu ini akan terjadi. Aku tahu aku akan kehilangan teman-temanku. Aku tahu keluargaku akan begitu membenciku. Dan aku tahu aku tidak akan menemukan cinta sejati dalam hidupku. Semuanya fana belaka. Aku hanya bisa merenungi nasibku saja sekarang.
Tetapi, diriku yang lain, sisi lain jiwaku, selalu tahu bahwa ada hal lain yang bisa aku lakukan. Ada hal-hal kecil yang mungkin bisa aku kerjakan ketimbang menangis. Melakukan sesuatu yang aku dan buan diskusikan bersama. Yaitu mencari cahaya.
“Tapi apa aku bisa melakukannya? Aku hanyalah seorang homoseksual. Kastaku selalu berada di bawah mereka. Aku tidak yakin aku bisa membuktikannya pada mereka.”
Lagi-lagi hanya kesunyian yang aku dapatkan. Tak lebih.
Aku mencoba menarik nafasku dalam-dalam untuk membuat diriku tenang. Aku takut ini semua akan berdampak buruk bagi psikologiku. Aku harus tenang. Aku harus tenang. Kuusap beberapa kali dadaku. Aku harus berpikiran jernih. Akan ku ingat-ingat lagi apa yang sudah aku lakukan.
Aku dengan gegabahnya mengaku gay pada teman-temanku. Aku tak bisa lagi berpura-pura menjadi orang lain. Aku katakan pada mereka bahwa aku siap jika mereka ingin menjauh dariku. Dan benar saja, mereka mengutukku seketika itu. Mereka langsung menjauh dariku.
Kulakukan hal yang sama pada kedua orang tuaku. Pada keluargaku yang lain juga. Tak kusangka mereka juga membuangku begitu saja. Seolah-olah aku hanyalah kotoran kecil bagi mereka. Sama sekali tak berarti. Seketika saja aku menjadi aib bagi mereka. Mereka memintaku untuk pergi.
“Lantas apa yang harus aku lakukan sekarang? Berpura-pura bahwa ini semua tidak pernah terjadi dan berharap bahwa semuanya akan membaik seperti sedia kala? Aku rasa tidak.”
Aku pernah mendengar sebuah kata-kata suci dari ajaran agamaku. Katanya, kita tak bisa mengubah nasib diri kita kecuali kita sendiri yang melakukannya. Entahlah.
Narator akhirnya menyelesaikan narasi terakhirnya.
“Bulan? Bantu aku meraih bintang-bintang disekitarmu itu. Agar seluruh manusia di muka bumi ini tahu bahwa aku bisa melakukan sesuatu. Bantu aku untuk terbang lebih tinggi lagi. Agar orang-orang itu tahu bahwa aku bisa menjadi yang aku impikan. Dan bulan, bantu aku untuk terus menyinari malamku, agar aku selalu tahu bahwa aku tak merasa sendirian lagi.” Aku terdiam. Itu dialog terakhir yang harus aku ucapkan.
Lampu yang menyorotiku sejak tadi padam secara berkala. Perlahan-lahan sampai semuanya benar-benar gelap. Kuhapus air mataku dan kemudian mulai terdengar riuh tepuk tangan penonton. Mereka begitu ribut sekali. Aku hanya menyembunyikan senyumanku dalam kegelapan ini.
Begitu lampunya kembali menyala, aku melihat teman-temanku melambaikan tangan mereka padaku. Menarik perhatianku agar aku melihat mereka. Jadi, aku balas lambaian tangan mereka.
“S.Sn!” teriak mereka. Itu gelar yang akhirnya aku dapatkan.
Disudut lain, aku melihat kedua orang tuaku. Mereka berdiri sembari memberikan tepuk tangan mereka. Aku benar-benar bahagia mereka bisa hadir. Aku lihat ibu tak henti-hentiya mengusap matanya dengan sapu tangan.
Kakiku gemetar, ingin rasanya aku berlari menghapiri mereka berdua. Ingin segera memeluk mereka. Namun aku tidak bisa, setidaknya sampai tirai ini tertutup sempurna. Tirai yang tertutup dengan lambat sekali.
Setelah tirai menutup. Setelah semua yang aku lalui. Setelah perjalanan panjang menuju sebuah penerimaan. Setelah cerita sedih ini berakhir. Setalah air mata. Setelah keterpurukan yang aku lalui dan kucurahkan melalui cerita teatrikal ini, akhirnya aku bisa berlari. Aku lari sekuat tenaga. Secepat yang aku bisa. Menghampiri ibu dan ayah. Ibu dan ayah yang dahulu sempat membuangku.
Aku rengkuh tubuh mereka berdua sekaligus, aku bisikan pada telinga mereka dengan sedikit gemetar. “Ayah, Ibu, aku lulus!”
*Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung.