Oleh : Budi Larasati
Suarakita.org- Melalui tulisannya yang berjudul, “Making Room for Sexual Orientation and Gender Identity in International Human Rights Law: An Introduction to the Yogyakarta Principles/Membuat Ruangan bagi Orientasi Seksual dan Identitas Gender dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional: Sebuah Perkenalan pada Prinsip Yogyakarta,” David Brown mencoba untuk menjawab pertanyaan tersebut. Brown menjelaskan mengenai sejarah dari Prinsip Yogyakarta, yang dicanangkan pada tahun 2006 sebagai reaksi atas keprihatinan terhadap kekerasan yang dialami oleh kelompok minoritas seksual LGBT.
Secara sederhana, Prinsip Yogyakarta adalah sebuah dokumen yang berupaya untuk merumuskan prinsip-prinsip dari hukum HAM (Hak Asasi Manusia) internasional yang telah ada dan merefleksikan hal tersebut dalam konteks keberagaman orientasi seksual dan identitas jender – karena dokumen yang membahas hal tersebut secara spesifik di level internasional belum pernah ada sebelumnya. Prinsip Yogyakarta mengambil berbagai hukum HAM internasional yang sudah ada, semisal ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights/Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik) dan ICESCR (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights/Kovenan Internasional mengenai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), dan kemudian menerjemahkan hal tersebut.
Sebagai contoh:
“Semua orang memiliki hak atas pendidikan,” (ICESCR Artikel 13)
menjadi
“Semua orang memiliki hak atas pendidikan, tanpa diskriminasi berdasarkan pada identitas jender dan orientasi seksual yang dimiliki.” (Prinsip Yogyakarta Prinsip 16).
Mengambil sesuatu yang familier (HAM) dan menempatkannya pada konteks yang spesifik (LGBT), itulah yang dilakukan oleh Prinsip Yogyakarta. Brown berpendapat bahwa adalah sifatnya yang luas, umum, dan familier inilah yang menjadikannya begitu sukses. ‘Tidak mengagetkan orang-orang dengan sesuatu yang radikal dan menjauhi kontroversi,’ kurang lebih seperti itu.
Tetapi Brown selain dengan menjelaskan dan memuji, juga turut memberikan kritik. Berapa orang yang sebelumnya mengenal Prinsip Yogyakarta? Belum? Sedikit? Tidak banyak? Kritik Brown adalah bahwa Prinsip Yogyakarta tidak populer pada level akar rumput. Tidak dikenal oleh orang banyak, istilahnya. Padahal, terlepas dari kelemahan yang dimiliki, dengan perkembangan terbaru di mana hak dari kelompok minoritas seksual telah menjadi semakin sering untuk dibahas, Prinsip Yogyakarta adalah salah satu elemen yang penting. Sungguh sayang apabila tidak dikenal dan terlupakan.
Karena itu, ayo mari semua lebih lanjut mengenal Prinsip Yogyakarta!
Ringkasan jurnal bisa diunduh di bawah ini [gview file=”http://suarakita.org/wp-content/uploads/2015/02/Jurnal-1-Making-Room-for-Sexual-Orientation-and-Gender-Identity-ringkasan.docx”]
Jurnal Bisa diunduh di bawah ini [gview file=”http://suarakita.org/wp-content/uploads/2015/02/Jurnal-1-Making-Room-for-Sexual-Orientation-and-Gender-Identity-jurnal-bahasa-inggris.pdf”]