Oleh: Wisesa Wirayuda
Suarakita.org- Burung-burung itu seolah menari-nari di atas penderitaannya. Mereka berputar-putar tepat di atas kepala Viki. Meledek Viki yang tak bisa bebas terbang seperti mereka ketika Viki harus menjaga keponakannya yang nakal itu. Viki tak bisa melakukan apapun selain mengikuti anak nakal itu kemanapun ia pergi. Karena sekali saja dia membiarkannya pergi, hancurlah rumahnya nanti. Karena anak itu akan merusak apa saja yang ia sentuh. Dan setelah merusaknya, ia akan meninggalkan barangnya dengan tawaan khas anak-anak.
Anak nakal itu tak punya tombol off untuk mematikannya. Dia terus saja berlari ke sana ke mari. Menendang ini-itu. Menyentuh segalanya. Bahkan Viki heran mengapa anak itu tetap tertawa ketika terjatuh, menabrak tembok, menyenggol perapian, atau bahkan ketika dikejar-kejar ayam peliharaan Viki.
“Bani, ibumu kapan menjemput, sih?”
“Aku gak tahu Tante.” Katanya sembari terus saja berlarian.
“Memangnya Kamu enggak cape apa? Dari pagi Kamu lari-lari terus.”
Anak itu terus saja berlari. Menghiraukan pertanyaan Viki.
Dalam benak Viki terjadi pergulatan panjang. Jika Bani tidak pulang itu berarti dia tidak akan bisa keluar malam untuk mencari uang seperti biasanya. Padahal beras di rumahnya sudah habis. Listrik rumahnya sudah menunggak satu bulan. Dan ayam peliharaannya juga butuh makan.
Namun selama Bani masih di rumah, dia tidak akan bisa ditinggal sendirian. Maka dari itu, Viki memutuskan untuk menelepon kakaknya.
“Halo?” kata suara di seberang sana.
“Kakak kapan mau jemput Bani?”
“Aduh, sekarang lagi sibuk. Nanti aku telepon ya.”
“Selalu saja seperti itu.” Viki menutup telepon itu.
Kasihan Bani, pikir Viki. Bahkan ibunya sendiri lebih mementingkan urusannya sendiri ketimbang mengobrol sedikit tentang anaknya. Namun tak mungkin juga jika Viki membawanya ke tempat biasanya ia bekerja. Anak kecil seperti Bani tak akan mengerti dengan apa yang Viki lakukan. Prostitusi adalah hal yang sulit dicerna oleh Bani.
“Tante habis telepon siapa? Ibu ya?”
“Iya, tante cuma tanya kapan Kamu mau dijemput.”
“Aku enggak mau pulang.”
“Loh? Kenapa? Tante harus kerja, Sayang. Nanti Kamu sendirian di sini.”
“Aku ikut Tante saja.”
Gawat sudah ketika Viki mendengarnya. Tidak mungkin Bani ikut dan nanti seluruh teman Viki mengira itu anaknya. Bagaimana mungkin Viki bisa punya anak sedangkan vagina saja tidak punya. Pikirannya terus bergelut. Tidak boleh! Tidak boleh! Katanya dalam hati. Anak nakal ini tidak bisa ikut. Namun Viki tidak melisankan pikirannya. Ia hanya menggeleng satu kali dan kemudian Bani menangis. Memohon kepada Viki untuk tidak memulangkannya sebelum ia mau. Bani ternyata lebih memilih rumah yang berantakan ini dibandingkan dengan rumah mewah milik ibunya. Ia lebih memilih bersamaku daripada ibunya. Viki tak habis pikir.
“Aku enggak mau pulang. Ibu jahat padaku. Dia selalu pergi. Aku tidak pernah diajak.”
Luluh seketika hati Viki, karena dia tahu apa yang dilakukan kakaknya ketika Bani ditinggal seperti itu. Mau bagaimana lagi? Bani bukanlah anak yang diharapkan oleh ibunya sendiri. Waktu itu kakaknya mempertahankan Bani karena keluarganya mengira itu anak dari suaminya. Padahal bukan. Viki tahu sekali siapa ayahnya. Hanya saja Bani hanyalah anak polos. Mana dia peduli siapa ayahnya dan siapa yang bukan ayahnya. Yang dia butuhkan hanyalah kasih sayang dari ibunya.
“Baiklah kamu boleh ikut. Tapi janji tidak nakal, dan janji tidak nanya yang aneh-aneh, ya?” Viki akhirnya luluh.
Bani hanya mengangguk dan menghentikan tangisannya.
“Mandi dulu sana!” anak nakal itu kemudian berlarian menuju kamar mandi.
Selagi Bani mandi, kesempatan Viki untuk mempersiapkan alat-alat riasnya. Semuanya ia masukan ke dalam tas tangan yang biasa ia gunakan. Seolah-olah alat rias adalah alat yang wajib ia bawa kemanapun dan tak bisa ditinggalkan.
Kaget sekali Viki ketika mendapati Bani sudah ada di belakangnya.menanyakan di mana bajunya. Viki menghela nafas, dia pikir Bani akan menanyakan tenang kondom. Ternyata tidak. Segera saja setelah itu, Viki mencarikan baju untuk Bani.
Selesai dengan urusan Bani, kini giliran Viki untuk mandi dan mempersiapkan diri. Selagi Viki di kamar mandi. Bani kembali berlarian. Hampir saja ia menyenggol gelas di atas meja dan menginjak garpu. Kemudian memutar balik ke kamar Viki. Matanya yang bulat itu teralihkan dengan benda asing di tas tangan Viki. Dan langsung saja ia meraihnya. Memainkan benda aneh itu di jemarinya yang mungil-mungil. Ia tidak mengerti benda apa itu. Baunya aneh, pikirnya. Seperti karet gelang. Sampai akhirnya Viki membuka pintu kamar mandi dan mengagetkan Bani. Diletakkan begitu saja kondom itu di meja dekat tas Viki.
“Kamu kenapa?”
Bani hanya menunjukan jari telunjuknya ke arah meja. Dan langsung saja Viki menemukan kondom yang tergeletak begitu saja di meja.
“Kamu mainin tas Tante ya?”
Bani mengangguk manis. Anak kecil memang begitu polos. “Itu apa Tante?”
“Belum saatnya kamu tahu, ya?” Viki mencoba untuk tersenyum agar Bani tidak mendapatkan jawaban yang hambar. Meskipun jawabanku memang hambar.
“Ibu selalu membawa itu kalo mau main dengan teman-temannya.” Bani memang polos.
Setelah itu Viki bersiap pergi, menggunakan baju terbaiknya. Dibiarkannya Bani berlarian sembari Viki sesekali berteriak untuk menyuruhnya menjauhi kompor.
“Kamu sudah siap berangkat?” kata Viki pada akhirnya setelah satu jam berdandan. Viki melihat jam dinding dan sudah pukul empat sore. Bani mengangguk.
“Ayo berangkat!”
***
“Ini di mana Tante?”
Viki menghela nafas panjang. Akhirnya Bani bertanya. “Ini tempat Tante bekerja.”
“Oh. Tante kerja di pinggir jalan? Tante, aku mau es krim.”
“Nanti ya.” Viki hanya bisa tersenyum. Dia sangat sabar menghadapi Bani.
Sampai akhirnya ada sebuah mobil berhenti di hadapan mereka. Itu pelanggan pertama Viki. Ia tak bisa meloloskannya begitu saja dengan mudah.
“Kamu tunggu di sini ya.” Kata Viki kepada Bani. Dan ajaibnya Bani berdiri terdiam. Bani memperhatikan apa yang dilakukan oleh tantenya itu. Bagaimana cara tantenya mengobrol dengan pria asing di dalam mobil. Kemudian ia melihat pria itu turun dari mobilnya dan menghampiri dirinya.
“Ini Bani.” Kata Viki.
“Wah, lucu ya.”
“Tapi aku bingung. Aku tidak mungkin ajak Bani.” Kata Viki berbisik pada pria itu.
“Tak apa, kita ajak saja dia.”
“Kamu yakin? Aku takut dia…”
“Tak masalah kok.”
Bani hanya terdiam, anak lincah itu sekarang terdiam membatu. Dia melihat tantenya itu saling berbisik dengan seorang pria yang baru ia temui hari itu.
“Jalan-jalan yuk?” ajak pria itu kepada Bani. Ini baru pertama kalinya dalam hidup Bani ada pria yang mengajaknya jalan-jalan. Setelah puluhan pria yang membawa ibunya pergi, baru kali ini ada yang begitu peduli pada Bani.
Bani otomatis mengangguk senang. Dan pria itu menggendong Bani menuju mobilnya. Viki hanya melihat senang. Karena dengan begitu ada yang bisa menjaga Bani menggantikan dirinya.
Langsung saja mereka bergegas pergi. Pria bernama Roy itu membawa Viki dan Bani ke pusat kota. Mencari es krim terlebih dahulu karena Bani merengek meminta. Kemudian menonton bioskop. Selesai dari sana mereka pergi melihat-lihat baju. Dan diakhiri makan bersama.
Hari itu si anak nakal sangat terlihat senang. Dia tidak terlihat rewel ataupun menginginkan sesuatu. Ia tertawa setiap menit. Ia menarik-narik tangan Roy seolah-olah Roy adalah ayah biologisnya. Dan Roy mengikuti kemanapun Bani pergi.
Di perjalanan pulang. Bani sudah terlelap di kursi belakang. Terdengar dengkuran lembut dari dirinya.
“Kasihan dia capek.” Kata Roy.
“Kau tahu, akhirnya dia bisa tertidur. Dari pagi tadi dia terus saja berlarian.”
“Beginikah rasanya punya anak?” tanya Roy.
“Entahlah, rasanya melelahkan tapi juga membahagiakan. Aku heran pada ibunya.”
“Kau saja yang jaga dia. Anggap saja dia anakmu sendiri. Dia terlihat lebih senang denganmu, kok.”
“Aku memang menganggapnya seperti anakku sendiri. Entahlah, mungkin karena aku tidak mungkin bisa punya anak.”
Viki sengaja tidak memberti tahu Roy tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Bani. Bagaimana ibunya sering menitipkan Bani pada Viki. Bagaimana cara kakaknya meninggalkan Bani dan pergi bersenang-senang dengan pria yang berbeda setiap minggunya. Bagaimana kakaknya selalu kasar pada Bani.
“Dia memang beruntung masih punya tante sepertimu.”
“Ngomong-ngomgong, kalau hari ini aku tidak membawa Bani. Apa kamu masih mau ajak aku jalan-jalan?” Viki menengok ke belakang tempat Bani tertidur.
“Tentu saja masih. Kamu cantik, kok.” Begitu Viki mengalihkan pandangannya dari Bani menuju Roy. Viki baru menyadari bahwa Roy sudah memandanginya sejak tadi.