Search
Close this search box.

Ask.fm : Platform Cyberbullying Masa Kini

Oleh : Ferena Debineva*

Suarakita.org- You have received a new notification: Mampus Lo HIV! Dasar Gay! Masuk neraka! Gay dosa! Mati aja!

Merasa familiar? Di atas adalah contoh pertanyaan, atau lebih tepatnya pernyataan yang masuk dalam deretan pertanyaan halaman ask.fm rekan saya. Rekan saya berhenti memandangi layar ponsel-nya yang terkoneksi dengan aplikasi tanya jawab tersebut. Ragu tersirat di wajahnya: antara ingin menjawab, mendiamkan, atau justru menghapus pertanyaan tersebut dari daftar pertanyaannya.

Konsep bullying telah lama muncul dan berevolusi selama bertahun-tahun. Olweus (1993), misalnya, telah mndefinisikan bullying sebagai perilaku agresif, intens, untuk menyakiti, mempermalukan, dan membuat orang lain menderita secara berulang yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang memiliki kekuatan yang lebih besar daripada orang yang menjadi korbannya. Bullying pun turut terjadi di ranah maya dalam bentuk cyber-bullying, yakni tindak bullying yang dilancarkan dengan memanfaatkan teknologi (informasi dan komunikasi) elektronik (Smith, Mahdavi, Carvalho, Fisher, Russell, Tippett, 2008). Contoh cyber-bullying yang paling banyak digunakan adalah melalui media sosial, termasuk diantaranya adalah Twitter, Facebook, dan ask.fm. Dengan menggiatnya dan meningkatnya penggunaan Internet dan media sosial, semua orang bisa ditindas di semua lokasi, setiap saat, termasuk di antaranya kelompok minoritas : LGBT.

Saya akan membahas salah satu media sosial yang cukup baru, yang didirikan pada tahun 2010, yang penggunaannya kini sangat marak : ask.fm. Apa yang membuatnya berbeda dengan media sosial lainnya terkait fenomena bullying?

Meskipun bullying juga terjadi pada media sosial lainnya seperti Facebook dan Twitter, ask.fm memiliki tingkat bullying yang lebih tinggi diantara keduanya. Ask.fm adalah media sosial yang memiliki fitur yang berbeda dengan Facebook dan Twitter, yaitu ask anonymously. Seseorang dapat mengajukan pertanyaan untuk orang lain sebanyak 300 karakter tanpa harus mencantumkan nama atau ID miliknya. Fitur hide my name inilah yang memungkinkan penanya menutupi identitasnya tanpa jejak dan dapat bertanya sesuka hati. Unsur anonimitas inilah yang memungkinkan pengguna menganggap ask.fm menjadi surga untuk melancarkan dan melakukan bullying kepada seseorang, tanpa takut pernah ditemukan.

Anonimitas ini adalah kunci deindividuasi (Forsyth, 2010). Deindividuasi adalah, keadaan hilangnya kesadaran akan diri sendiri (self awareness) dan pengertian evaluatif terhadap diri sendiri (evaluation apprehension) dalam situasi kelompok yang memungkinkan anonimitas dan mengalihkan atau menjauhkan perhatian dari individu (Festinger, Pepitone, & Newcomb, 1952). Apa saja yang membuat seseorang kurang dapat dikenali secara pribadi dapat meningkatkan efek tersebut dan menimbulkan berkurangnya tanggung jawab seseorang atas tindakan-tindakan mereka. merasa bersalah atas perbuatan yang dilakukannya.

Para individu pelaku bullying, terutama kepada kelompok LGBT, ditutupi oleh tabir anonimitas, akan lebih agresif dengan status tersebut dibandingkan pada kondisi sehari-hari/tatap muka. Relasi anonimitas dalam media sosial dan bullying sendiri bukan sekedar wacana – tidak sedikit media dan publikasi ilmiah yang mencatat terjadinya bunuh diri terkait bullying di media sosial. Contohnya saja 7 remaja yang bunuh diri akibat bullying pada media sosial ask.fm (NoBullying.com, 2014). Hal ini menunjukkan kasus-kasus bunuh diri terkait bullying di media sosial adalah kasus nyata, dan prevalensi bullying dan bunuh diri yang terkait dengan LGBT pun akan semakin tinggi.

Lalu, masih menganggap ini sekedar wacana? Saya harap tidak.

Penulis mengharapkan kita semua meningkatkan kesadaran akan tindakan bullying yang terjadi di sekitar dan menggiatkan kesadaran atas tanggung jawab diri. Dengan menggunakan istilah yang sama dengan yang digunakan oleh pengguna ask.fm:

Off Anon (stop being anonymous), dan jadilah individu yang bertanggung jawab!

 

*Penulis, Ferena Debineva, merupakan alumni psikologi UI angkatan 2008, founder dan chairperson Support Group and Resource Center on Sexuality Studies, University of Indonesia (SGRC UI).

Referensi :

Forsyth, D. R. (2010). Group Dynamics (5th edition). (2010). Belmont, CA: Wadsworth/Cengage

Olweus, D. (1993). Bullying at School: what we know and what we can do. Oxford: Blackwell

Smith, P. K., Mahdavi, J., Carvalho, M., Fisher, S., Russell, S., Tippett, N. (2008). Cyberbullying: Its Nature and Impact in Secondary School Pupils. Journal of Child Psychology & Patriarchy, 49 (4), 376-385

Festinger, L., Pepitone, A., & Newcomb, T. (1952). Some consequences of deindividuation in a group. Journal of Social Psychology, 47, 382-389.

NoBullying.com (2014, November 11). Stories of 7 teen Suicides because of Ask fm bullying. Retrieved January 30, 2015, from NoBullying.com : http://nobullying.com/stories-of-7-teen-suicides-because-of-ask-fm-bullying/