Suarakita.org-Mas, antri dipintu sebelah! Kata seorang perempuan yang sedang menunggu bus Transjakarta di Halte Dukuh Atas Jakarta Pusat. Aku tidak menjawab, tapi aku juga tidak menjalankan perintah perempuan itu. Dalam keadaan kaget dengan perintah itu, aku kemudian menjawab,kenapa aku harus antri dipintu sebelah sana?
Perempuan itu kemudian menjawab kembali, pintu ini khusus untuk perempuan. Laki-laki dipintu sebelah sana, sekali lagi diucapkan itu. Perempuan menunjukkan jarinya pada kertas yang ditempel dekat pintu masuk busway yang bergambar “simbol” perempuan. Tanpa bermaksud aku ingin pindah di pintu sebelah yang khusus laki-laki. Akupun menjawabnya dengan santai saja,mbak justru kalau saya pindah kesana malah akan terjadi pelecehan seksual! Perempuan itu dari raut wajahnya seperti bingung, mungkin tidak begitu paham dengan apa yang aku ucapanku.
Sebelumnya aku tidak begitu peduli dengan aturan itu,walau aku sudah mengetahui adanya aturan pemisahan pintu masuk busway antara laki-laki dan perempuan. Aku sendiri tidak pernah mengindahkan aturan itu. Aku sebelumnya tidak pernah mendapatkan teguran dari pihak manapun, termasuk dari petugas busway. Menurut pengelola bus transjakarta (busway) mengaku kewalahan dengan pemisahan jalur masuk bagi laki-laki dan perempuan pada halte-halte padat penumpang (www.detik.com)
Menurut informasinya kebijakan ini dibuat untuk menghindari pelecehan seksual antara laki-laki dan perempuan. Karena sebelumnya telah terjadi pelecehan seksual yang dilakukan penumpang laki-laki kepada penumpang perempuan, atas dasar itulah kebijakan pemisahan dibuat .Pemisahan antrean penumpang laki-laki dan perempuan sudah ditempel di berbagai halte busway di Jakarta. Namun penumpang yang mengantre di pintu halte busway masih terlihat tidak mengindahkan kebijakan itu. Bahkan dari hasil pantauan detikcom di halte Matraman, Jakarta Pusat, Kamis (10/6/2010) pukul 10.00 WIB, penumpang laki-laki dan perempuan masih campur dan saling berdesakan di pintu masuk. Padahal petunjuk pemisahan berdasarkan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) sudah ditempel di pintu masuk.
Alasan aku tetap tidak pindah ke pintu yang khusus laki-laki karena aku tidak ada kepentingan secara seksual untuk melakukan pelecehan terhadap perempuan. Justru selama ini kalau aku harus mengantri panjang yang umumnya laki-laki manis dan ganteng, ditambah dengan padatnya calon penumpang. Saat itulah pikiran “tidak normalku” muncul. Pikiran untuk dapat dekat apalagi sampai bersentuhan tangan dengan seorang laki-laki yang aku suka. Tanpa aku bermaksud untuk melakukan pelecehan seksual pada laki-laki lain.
Sudah menjadi rahasia umum dikelompok homoseksual khususnya gay, antrian di busway yang padat justru menjadi “keuntungan” sendiri. Situasi ini dapat menjadi “ajang cuci mata” dari keindahan cowok-cowok manis yang sedang mengantri dipintu busway. Karena setelah pulang beraktivitas,ini dapat menjadi energi baru kembali. Walau aku sendiri tidak pernah melakukan pelecehan ataupun dilecehkan oleh orang lain secara seksual di busway. Dari informasi dari beberapa teman cowokku yang gay juga,tidak jarang sampai terjadi praktek seksual (bercumbu) sesama cowok didalam busway yang penuh sesak itu. Walau hanya dengan pegangan tangan atau saling berpandangan saja. Justru disitulah kenikmatannya. Tapi itu semua dilakukan atas dasar suka sama suka. Tanpa pelecehan satu sama lain. Ternyata kenikmatan memang dapat dilakukan dimanapun,walau didalam busway.
Kembali lagi soal kebijakan pemisahan laki-laki dan perempuan di halte busway yang dasarnya agar tidak terjadi pelecehan seksual, ini menunjukkan cara pandang yang sangat heterosentris (seksualitas berpusat pada heteroseksual). Artinya kebijakan itu menapikan keberadaan seksual yang lain,yaitu homoseksual. Kalau alasan pelecehan seksual, bukankah homoseksual juga dapat melakukan pelecehan seksual itu?
Belum lagi kebijakan itu tidak didukung oleh kesediaan busway yang cukup. Karena keterbatasan jumlah armada busway justru setelah masuk busway tidak ada lagi pemisahan laki-laki dan perempuan. Semua menjadi satu. Justru disituasi itulah pelecehan seksual bisa terjadi.
Kalau bicara konteks pelecehan seksual, sebenarnya yang paling penting adalah memberikan pendidikan publik secara terus menerus. Menjelaskan bahwa pelecehan seksual sesuatu yang merendahkan martabat diri sendiri dan orang lain sebagai manusia. Dan ingat pelecehan seksual sendiri bisa terjadi pada kelompok manapun,baik heteroseksual maupun homoseksual. Sehingga pemisahan berdasarkan dua jenis kelamin saja menjadi tidak relevan untuk menghindari pelecehan seksual itu. Selain itu pemisahan laki-laki dan perempuan telah menghilangkan identitas teman-teman yang lain, waria misalnya. Waria akan masuk dipintu bagian mana? Pintu laki-laki atau perempuan? Sulit untuk dijawab!
Dilihat polanya, ada beberapa kemungkinan pembuat kebijakan melahirkan peraturan ini. Antara lain tidak diakui keberadaan homoseksual dan waria sebagai warga kota DKI Jakarta, walau mereka telah membayarkan pajak daerah yang cukup tinggi. Justru kebijakan ini “sengaja” memfasilitasi homoseksual untuk “bebas” tanpa aturan yang ketat dibandingkan kelompok heteroseksual? Aku pikir alasan kedua ini sangat kecil sekali menjadi dasar kebijakan pemisahan.
Pemerintah DKI, semestinya membuat kebijakan harus memikirkan kelompok-kelompok lain, terutama yang marginal. Kebijakan ini jelas sekali telah meminggirkan keberadaan kepada kepada kelompok gay dan waria khususnya. Ironisnya Polri sendiri mendukung langkah pihak manajemen TransJakarta untuk memisahkan antrean laki-laki dan perempuan. Untuk menghindari pelecehan seksual bukan dengan cara pemisahan pintu masuk. Pelecehan seksual dapat terjadi dimanapun dan dilakukan oleh siapapun. Sehingga memberikan pendidikan hak asasi manusia secara terus menerus kepada publik jauh lebih efektif. Kecuali jika pemerintah DKI ingin menjadikan Bus Transjakarta “Syariah” Heteroseksual.
Oleh: Hartoyo