JUWITA
Oleh: Kalamita*
Suarakita.org- Di sebuah pagi, matahari masih setengah merambat, terdengar suara riuh di lorong jalan depan kontrakan rumah. Juwita yang masih mengumpulkan nyawanya setelah semalam melanglang dinginnya malam hanya untuk bertahan hidup pun tak kuasa untuk mencari tahu keributan apa itu.
“Duh, paan sih, jam segini udah pada heboh”, keluhnya. Masih mengenakan daster yang usang dan muka sisa riasan, ia pun membuka pintu kontrakannya. Matanya terbelalak mendapati sejumlah warga sudah berbaris rapih di depan kontrakannya, dan ada yang membawa golok pula.
“Bang Udin, mang ada paan sih? Pake segala orang, sekompi pada diajak! Hihihihi…”, tanya Juwita. “Nah, harusnya gua nyang tanya, loe ngapain masuk wilayah gua. Pan dulu dah gua bilang, jangan utak-atik tempat gua, loe sendiri kan dah punya tempat. Ntu kalo loe mau hidup aman di kampung nih!”, sahut Bang Udin dengan nada lantang. Tampak seorang pemuda di sebelah kirinya tegang dan siap dengan golok yang diacungkan ke arah Juwita. Ia yang tidak tahu apa-apa hanya terbengong dengan ekspresi tolol sekaligus terjaga dari bangunnya. Lucu sebenarnya. Namun suasana itu tidak dapat menjadi kelucuan meski dalam kesehariannya, Juwita disenangi para warga. Selain tabiatnya yang nyleneh dan ceplas-ceplos, Ia tak jarang membantu sekitarnya entah tenaga ataupun uang. Tak jarang pula, jika ada warga yang pinjam uang padanya, terkadang uang yang hendak dikembalikan padanya Ia tolak.
Begitulah sosok Juwita, seorang waria yang disenangi sekaligus dibenci. Tak jarang pula mulut-mulut usil membicarakan hal yang penuh kebusukan mengenai dirinya. Entah itu realita atau hanya keusilan manusia. Juwita menjadi tersentak dengan pernyataan Bang Udin karena Ia sama sekali tidak merasa kalau dirinya telah melacur di wilayah orang lain. Semalam pun Ia tetap mengamen di prempatan Sabang, setelah uang terkumpul cukup, Ia berpindah menjajakan tubuhnya di sepanjang rel Tanah Abang. Tempat Ia biasa meraup uang dari laki-laki kesepian dengan segala janji yang membuatnya senang untuk sesaat.
Perasaan sepi dan keterasingan kembali merebak di sekujur tubuhnya, darahnya menjadi gumpalan sesak yang membuatnya seakan berhenti bernafas. Tak seberapa lama pun, airmata menetes perlahan di antara bulu mata palsunya. Ia tahu bahwa orang yang telah memasuki wilayah Bang Udin tak lain adalah kekasihnya, pemuda yang dulu telah menolongnya saat Ia terluka dipukuli para gay yang merasa tersaingi oleh keberuntungannya. Bukan rahasia lagi jika persaingan antara gay dan waria khususnya di kawasan Jakarta Pusat telah menjadi sejarah panjang yang sering memakan korban. Entah semua berawal dari apa dan siapa. Namun kondisi ini sangat membuat tidak nyaman bagi mereka yang tinggal dan mengais uang di kawasan itu. Ada pula di antara mereka yang saling membangun pertemanan dan bahkan saling menjaga persahabatan hingga waktu memisahkan mereka, dalam kematian atau keberuntungan saat pindah negara karena ikut kekasih mereka atau mengejar masa depan yang lebih aman.
“Bang, mending duduk dulu, kita ngomong baek-baek yak. Abang-abang yang laen… Tolong jangan esmosi dulu. Masih pagi dah nenggak es teler sih, ntar kurang rejeki lho.” Pintanya. Begitulah Juwita saat mencoba mencairkan suasana selalu berusaha tertawa dengan kalimat guyonnya meski hatinya hancur. Ia tahu bahwa semua berawal dari perilaku si Juhri, seorang pemuda yang pernah menolong dirinya dan yang kini menjadi kekasihnya. Juhri adalah pemuda Betawi, sehari-harinya bekerja sebagai kurir surat. Jika sedang memiliki uang lebih, hobinya untuk berjudi dan mabuk tidak Ia lupakan. Ada sisi kekecewaan dalam hidup Juhri, saat Ibunya, orang yang selama ini Ia sayangi pergi meninggalkannya dan Ia pun harus berjuang sendirian tanpa disisakan rumah atau harta. Bapaknya seorang saudagar sapi yang hidupnya disibukan dengan mengoleksi wanita sebagai istri sah maupun simpanannya, hartanya habis begitu saja oleh mereka dan anak-anaknya, saudara tiri Juhri. Sedangkan saat si Bapak meninggal, Ibu dan Ia harus pindah dari kampungnya dan mulai hidup dengan mengontrak dari petakan satu ke petakan lainnya. Meski si Ibu adalah istri pertama dari Bapaknya namun ketidakadilan yang di dapat dari keluarga mereka sendiri telah menjadi trauma tersendiri bagi Juhri. Trauma itu Ia bawa kemana pun jika dalam kondisi penuh rejeki, trauma yang mendaging telah menjadi dendam bagi sukunya sendiri, kaum Betawi. Namun saat Ia bertemu Juwita, hatinya tergugah, empatinya kembali timbul dan teringat akan proses perjalanan hidup yang Ia alami bersama Almarhumah Ibunya. Seorang perempuan yang penuh semangat dan memiliki segudang harapan akan masa depan meski pahitnya hidup yang diterima tapi tidak pernah menyurutkan senyum dan hangatnya kasih sayang pada sang anak. Ibunya meninggal saat dalam keadaan sakit paru-paru akut yang tak pernah diobati dan tak pernah mendapat bantuan dari siapapun, bahkan warga tempat terakhir mereka. Sebuah petakan kontrak kumuh di kawasan Senen yang keras dan penuh culas. Kecintaanya pada Juwita terkadang membuatnya buta hingga tidak jarang Juhri melakukan kebodohan-kebodohan yang berakibat buruk pada dirinya atau pada Juwita…
“Gini Wi, terus terang gua ama warga dah pada begah ama kelakuan si Juhri. Semalem dia mabok kayaknya, berani bener malakin orang di pos ojek. Nah langganan kite pada kabur dah, gua sih kagak narik semalem. Cuman orang pada cerite kalo kelakuan si Juhri ini bukan semalem doang.” Jelas Bang Udin dengan nada emosi yang meninggi merendah dan sedikit meninggi lagi. “Mending loe pindah aja deh, ato loe usir aja tuh laki, lagian kagak ada gunanya buat loe!” Lanjut Bang Udin. “Iye… Iye… Bener ntuh, mending suruh pergi aje!” Sesahutan sekelompok pria yang masih bertahan di rumah petak Juwita.
“O… Jadi gitu ceritanya. Emang si Juhri belakangan nganggur Bang. Dia kena PHK. Dia juga mulai marah-marah terus, tapi kalo pindah kasihan. Dia gak punya keluarga lagi. Keluarga satu-satunya cuma saya…”, ucap Juwita. “Nah trus si Juhri ada gak sekarang?”, tanya Bang Udin sambil memainkan bola matanya, mengintai setiap sudut ruangan. Bahkan ada yang masih panas dan langsung berdiri; “ Sini, gua cari dah, palingan ngumpet!”. Tapi niatnya terhenti karena Bang Udin tahu si Juhri tidak ada di rumah ini. Dia hafal betul kondisi rumah Juwita. Juwita pun bukan orang yang tertutup, dia dengan ramah dan santainya membiarkan orang lain menjelajah rumah kontrakan petaknya yang mungil namun bersih dan penuh warna-warni dekorasi.
Juwita memang senang jika rumahnya dikunjungi oleh orang. Ia akan dengan bangganya menawarkan masakan yang dimasaknya, atau hanya sekedar menyeduhkan teh maupun kopi. Sedang Bang Udin, yang sebenarnya adalah kawan seperjuangan Juwita sejak dulu di jalan Sabang, lebih sering masuk dapur dan membuat kopi sendiri atau mengambil makanan yang tersedia. Juwita pun mendapati kontrakan petak ini dari informasi Bang Udin. Namun Bang Udin sudah tidak lagi mengais rejeki dari jalan. Ia telah membuka dagangannya di sebuah lapak yang didapat dari seorang kenalan, yang mempercayakan lahannya untuk difungsikan olehnya. Sebuah keberuntungan memang… Sebuah nasib yang membedakan jauh antara dirinya dengan Juhri meski masih satu rumpun, kaum Betawi.
“Lha, dia kagak cerite tuh ke gua kalo dia nganggur. Kayaknya sih ok ok aje, sering maen gaplek juga. Kadang taruhan segale… Anaknye diem sih, ditanyain suka kagak jawab mengkanya, gua segen juga kalo mau nanye. Ntar dibilang recet lagi” “Gitu deh Bang Udin. Juhri udah nganggur tiga bulanan ini. Hidupnya jadi kagak jelas. Saya juga jadi sedih, dia jadi sering marah, mulai mukul juga. Juhri yang sekarang kayak bukan Juhri yang saya kenal, Bang. Cuma mau ngeluh ke siapa, saya Cuma waria.”, lanjut Juwita.
“Saya pernah coba ajak dia kenalan sama teman-teman saya, siapa tahu dapet kerjaan. Ngamen juga gak papa. Biar dikit, halal, gua juga kan ngamen kelessss… Malemnya baru deh jadi Putri, putri sorga bukan, putri neraka apalagi! Hihihihii…”, jelas Juwita lagi yang berusaha membuat guyonan agar airmatanya tidak menetes untuk kesekian kalinya. Sambil mengusap kedua matanya yang sembab sekaligus berbelek, Juwita kembali mencoba mencairkan suasana di rumahnya yang terasa masih tegang; ”Saya buatin kopi ya? Ada rokok gak?”, tanyanya pada tamu-tamunya di pagi yang rusuh. Sebuah pagi yang telah membangunkan tidurnya yang masih seperempat waktu tidur dari yang biasanya Ia lakukan. Sebuah pagi yang sudah lama tak pernah Ia alami sejak Ia masih kuliah di kampung halamannya di Medan. Ya, Juwita memang anak dari keluarga berkecukupan. Ia sempat kuliah dan telah menjadi seorang sarjana dengan nilai yang baik. Ia mengambil jurusan manajemen akutansi yang telah dipilhkan oleh orangtuanya. Setelah lulus, Ia pun berpamit untuk hijrah ke Jakarta dengan alasan mendapatkan peluang yang lebih baik dalam hal pekerjaan. Meskipun begitu, tujuan utamanya adalah terbebas dari belenggu yang menimpa dirinya, menjadi sosok waria secara utuh tanpa beban ketakutan dan rasa bersalah, khususnya pada Ibunya. Seorang Ibu yang telah tulus merawatnya sejak kecil tanpa pernah mencela, memukul dirinya, kecuali Bapaknya. Ia terlalu sedih jika Ibunya harus tahu sebuah kenyataan akan dirinya adalah seorang waria. Entah apa yang akan terjadi pada Ibunya. Entah pula gimana reaksi masyarakat di sekitar sana, dan entah apa yang akan dilakukan oleh Bapaknya pada Ibu kesayangannya. Pastinya akan mendapatkan hujatan dan hukuman karena dianggap salah membesarkan anak.
Ah, sudahlah… Memikirkan itu semua hanya akan membuatnya semakin terhimpit oleh langit cuaca yang semakin gelap dan pengap. Juwita tidak mau lagi melihat masa lalunya karena hanya sekumpulan torehan luka dan luka. Sepuluh tahun sudah Ia hidup di Jakarta, pulang ke Medan menjadi sosok pria yang yang menyiksa hatinya. Kebohongan dan kebohongan Ia ceritakan pada keluarga, ditambah Bapaknya telah meninggal dunia sejak tiga tahun lalu karena gagal jantung. Sejak itu Ia menjadi tulang punggung keluarga di Medan.
Dalam perasaan resah, Ia pun menuju dapur untuk memasak air panas. Ia butuh sekali kopi pahit dengan sebatang rokok saat ini. Mulutnya terasa kecut dan keju, terutama dengan adanya berita yang tidak menyenangkan ini, seakan sarapan pagi ini adalah kepedihan yang kekal. Pikirannya melayang, menerawang ke segala penjuru, hingga pada pertanyaan, kemana Juhri sejak semalam?
“Udah ada yang sarapan blum?Saya nyari gorengan dulu ya ke Teteh.”, tanya Juwita. “Udeh, kagak usah repot, kalo loe ada, gua nitip samsu aja yak.” Pinta Bang Udin. Sambil berjalan menuju warung Teteh, Juwita mengangguk. Warung Teteh tidak seberapa jauh dari tempatnya. Warungnya masih dapat dilihat dari rumahnya. Warung yang sering Ia kasboni meski Teteh sering mengumbar soal piutang kasbonnya tapi tetap Juwita diberi kasbon olehnya. Tidak jarang Teteh menagih dengan bahasa ketus di depan banyak orang. Tapi saat Juwita sedang berbagi padanya, berubahlah imaje Juwita di mata Teteh, seakan Ia adalah dayang-dayang dari surga yang turun sambil memberkahi hujan uang di lorong sempit ini.
“Teh, beli samsu sebungkus, kretek sebungkus. Gorengan masih ada gak?”, tanya Juwita. “Masih Tante… Mau beli berapa? E, itu tadi apaan sih Tante, kok pada rame-rame ke rumah Tante? Kumaha?”, jawab Teteh dengan ekspresi layaknya wanita yang haus akan bahan cerita yang siap naik cetak secara live untuk dibagikan ke pengunjungnya hari ini.
“O itu… Biasa, pada nyari Juhri. Gorengan beli sepuluh ribu ya Teh, sekalian beli kopi ama gula deh. Sayuran masih ada teh?” Sambil meneruskan percakapan usil di warung Teteh tanpa beban akan dijadikan hot news oleh Teteh, Juwita menghitung rupiahnya, jikalau uangnya kurang karena semalam Ia tidak terlalu mendapat rejeki yang cukup. Dua ribu tiga, sepuluh ribu tiga, lima ribu ada dua, hmm.., dirogohnya kantong rahasianya. Ada! Tersempil lima puluh ribuan yang masih baik dan mungkin beraroma keringat campur daki. Maklum, lembar lima puluh itu Ia sempilkan di dalam BH bagian bawahnya. “Udah nih Tante, Semua jadi dua puluh delapan lima ratus. Sayuran paling tinggal sop ama tahu. Ayam udah pada habis, udah siang sih.” Ujar Teteh. “Ya udah nih, saya kasih tiga puluh ribu, ambil deh kembaliannya.” Balas Juwita. Sejengkal langkah akan pergi meninggalkan warung, Teteh kembali memanggilnya. “Tante, ini, Oom Juhri udah hutang hampir seratus. Udah lama sih, Cuma sayanya yang belum sempat bilang, kadang suka lupa.” Sontak Juwita tersentak, hampir seratus ribu? Untuk apa saja? Sedang kebutuhan dia selama nganggur selalu Ia upayakan di rumah. “Yah Teh, kalo segitu mah belum ada sekarang. Besokan aja ya, pasti saya lunasi.” Setelah itu Ia pun pergi meninggalkan warung Teteh dengan permasalahan baru. Hutang yang menjadi bebannya tanpa pernah Ia sendiri menikmati apa yang diambil hutang, dan ini baru pertama kalinya Juhri berhutang. Sejak dulu dia pantang berhutang tapi kini dia berani berhutang dan Ia pun tidak pernah diberitahu. Apakah ada perempuan baru?
Perbincangan pun semakin larut dan guyup di rumah petak Juwita, ditambah gorangan kopi hangat dan kepulan asap yang mulai tampak seperti kabut di langit-langit rumah. Hingga tak terasa matahari meninggi tegak di atas atap dan sayup terdengar suara azdan dzuhur. “Kite pamit dulu deh. Ntar loe bilang ame Juhri aja kalo masih mau aman suruh jaga sikap. Jangan malak di kampung ndiri!” Begitulah pinta Bang Udin yang diikuti kesetujuan pria-pria yang turut serta sebagai penutup kesibukan pagi hingga siang ini di rumah kontrakan Juwita.
Juwita mulai membenahi rumahnya yang semrawut akibat kedatang tamu yang tak pernah diundang itu. Ia terdiam sejenak, memikirkan apa yang harus dilakukannya. Membersihkan rumah, mencari Juhri, atau mandi? Sejak pagi Ia bahkan tidak sempat membasuh mukanya selain dengan kedua telapak tangan yang penat dan berdebu. Ia memilih duduk sejenak, membakar rokok dan menyeruput sisa kopi yang mulai terasa hambar. Sesekali terasa lilitan merambat di sekitar dinding lambungnya yang meminta untuk diisi namun Ia memilih kopi dan sebatang rokok. Tiga hisapan dan Ia matikan. Kemudian mengajak tubuhnya untuk bertegur sapa dengan kamar mandi, Ia pun mandi sepuasnya. Sehabis mandi, tanpa disadari tubuhnya mengajaknya untuk mengambil air wudhu. Ia pun berwudhu dan mulai kembali sholat. Aktivitas yang mungkin sudah Ia tinggalkan sejak remaja…
Setelah membersihkan rumah dan merasa kesegaran lahir batin, Juwita mulai menelusuri jejak Juhri dengan telpon selularnya. Satu per satu kawannya Ia kontak dan informasikan soal Juhri, dan jika ada yang melihatnya, Ia meminta pada kawannya untuk mengabarinya secepatnya. Ia berniat untuk mendatanginya tanpa membuat Juhri ketakutan. Juhri sangat mengerti Juwita jika sudah hilang kesabaran, terkadang muncullah sisi lelakinya meski hal itu sangatlah jarang dikeluarkan. Bagaimana pun, lima tahun terakhir Juwita lebih menonjolkan sisi keperempuanannya. Ia cenderung menangis dan manja untuk banyak hal di depan kekasihnya itu, sekaligus tegar dan tegas di saat tertentu. Juwita, seorang anak yang terlahir dengan tubuh laki-laki namun memiliki sifat kewanitaan yang dominan. Menjadi perempuan seutuhnya adalah keinginan terbesarnya hingga akhirnya suatu ketika saat berselang tidak lama Bapaknya meninggal, Ia memberanikan diri untuk bercerita pada Ibunya soal kepribadiannya. Ternyata sang Ibu sudah mengetahuinya sejak Ia kanak-kanak, namun hal ini disimpannya agar tidak menjadi petaka bagi keluarganya. Sang Ibu menjadi penuh perhatian dan sayang padanya ketimbang adik-adiknya, dia upayakan agar si anak kesayangannya ini tidak merasa terluka saat harus menjadi masyarakat sosial. Permintaan sang Ibu saat itu hanya satu, jika datang ke Medan, Juwita harus berpakaian selayaknya laki-laki bukan perempuan.
Tak terasa, adzan magrib menyeruak dari lubang toak yang sember dan memekikan telinga. Seakan seluruh serumen telinga berlarian mencari tempat paling aman untuk dipeluk. Berbarengan dengan beduk adzan, terdengar dering suara telponnya. Juwita pun tergegas mengangkatnya, penuh harap akan kabar tentang Juhri. Saat Ia meletakan telponnya di telinga kanannya wajahnya tampak beku, Ia pun terduduk lesu. Tulang belulang di dalam tubuhnya terasa mencair seperti bongkahan es yang meleleh terkena hawa panas yang begitu penuh. Kabar berita yang Ia harapkan sangat jauh dari kenyataan, suara di seberang yang telah menelponnya pun bukan dari kawan-kawannya namun kepolisian. “Ya…”, lirih suara yang Ia keluarkan untuk membalas suara dari seberang. “Ya, saya segera ke sana.” Setelah melakukan sholat magrib, Ia pun bergegas menyiapkan diri menuju kamar jenazah di sebuah rumah sakit.
Setibanya di rumah sakit di kawasan Jakarta Barat, Ia langsung menuju kamar jenazah. Di depan pintu ruangan, Ia terhenti oleh polisi yang tadi telah menelponnya. Petugas jenazah pun sedikit memberikan penjelasan kondisi tubuh jenazah agar Juwita siap melihatnya dan memberikan kesaksian bahwa memang benar itu jasad kekasih tercintanya. Seketika tubuhnya tersentak oleh bau anyir mayat yang telah hancur dengan tubuh terbalut darah. “Tidak…” Teriaknya yang tersendat disusul airmata yang menetes dengan derasnya. Ia hanya mampu menganggukan kepalanya, yang berarti membenarkan jasad yang terbujur hancur di depan matanya adalah sosok kekasihnya, si Juhri. Seorang kekasih yang telah membuatnya banyak belajar soal kesabaran dan penerimaan. Seorang kekasih yang dulu menolong dirinya sedangkan Ia tidak mampu melindunginya. Seorang pria yang telah menerima dirinya apa adanya, tanpa pernah menuntut harta bahkan kesejatiandirinya sebagai manusia. Seorang kekasih yang hidup sebatang kara di Jakarta…
Setelah melewati berbagai prosedur dan rencana akan dimakamkan dimana, Ia pun beranjak pulang. Sepanjang kakinya melangkah menuju pintu keluar rumah sakit, hatinya tergerak untuk berkunjung ke sebuah kamar. Kamar yang pernah Ia inapi saat melepas silikon payudaranya. Tak lama, Ia pun tiba di kamar itu. Kali ini terisi penuh. Ia pun tersenyum ke arah dalam kamar dan melanjutkan perjalanannya menuju pulang. Di luar gerbang rumah sakit, Ia manghampiri warung rokok yang dulu sering Ia kunjungi hanya sekedar untuk ngobrol. Namun kali ini Ia memesan aqua gelas dan rokok tanpa mengeluarkan cerita apa pun pada si penjual yang ternyata masih mengenalnya. Sesekali Ia menangguk dan tersenyum padanya untuk membalas pertanyaan dan mencoba sopan. Setelah hausnya terobati, Ia pun melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki. Tidak lagi menumpang bis kota seperti saat pergi tadi.
Sambil menyusuri jalan Ibukota di malam hari, penuh cahaya dan kebisingan, Juwita menatap kosong tepat di depan matanya, tampak kejauhan dari pandangannya kabut gelap menyelimuti hatinya. Sepi… Sepi berjalan menapak jejak mengiringi gemerlap kota Jakarta yang penuh ilusi dan harapan palsu. Sebuah harapan yang dulu Ia impikan di kampung halaman. Sebuah harapan akan hidup yang lebih nyaman dan tenang. Namun apa yang kini Ia terima, hantaman yang dasyat, dengan segala kesendiriannya menatap pada kehidupan berduri di sebuah taman warna-warni. Sesekali Ia duduk merapat di pinggir trotoar atau halte yang Ia lewati. Ia tidak punya arah tujuan yang pasti. Tidak ada niatan untuk kembali pulang ke rumah kontrakan petaknya yang Ia tata sedemikian apik. Juga tiada terlintas dalam benaknya untuk kembali pulang ke kampung halaman dimana Ia tahu Ibunya pasti akan menerimanya dengan kasih sayang dan kesabaran… Saat ini, yang Ia tahu, hanya dirinya yang sunyi menapaki jejak trotoar di kawasan menuju Pasar Baru. Tampak baginya hanya bayangan kelam, sungai dan sang Pencipta.
Waktu berlalu tanpa terasa. Tujuh tahun terlewati sudah. Seseorang muncul membuka pintu depan rumah yang tampak minimalis di sebuah komplek cluster yang hanya berdiri lima rumah dengan tipe 45, di sekitar Tangerang. Bukan rumah mewah namun nyaman dan asri yang tampak jika kita memandangnya dari kejauhan. Ia mengambil selembar surat yang ada di teras rumahnya yang tak berpagar. Lalu kembali masuk ke dalam rumah dan mulai menyiapkan sarapan untuk suaminya, seorang pria ekspatriat yang telah menjadi kawan sejatinya sejak tiga tahun lalu. Sosok itu bernama Juwita. “Morning Darling, Breakfast is ready.”, ucapnya lirih di telinga kiri sang suami. Ya, Juwita yang telah mengalami getirnya perjalanan hidup sebagai manusia berstatus waria.
Lenteng Agung, 25 Desember 2014
*Kalamita, adalah nama pena dari Okty Budiati. Ketertarikannya akan dunia seni tari, budaya, filsafat, psikologi dan sastra telah membawanya pada kegiatan tulis menulis sejak di bangku sekolah menengah. Puisi serta prosa pendeknya terkumpul dan pernah terbit di media cetak dengan nama samaran. Selain sebagai penulis lepas, Okty Budiati aktif dalam beberapa kegiatan seni khususnya seni pertunjukan. Pada tahun 2007, Okty Budiati memberikan kuliah terbuka tentang psychosomatic project movement di negara-negara ASEAN. Di tahun yang sama, Okty Budiati mengikuti seminar tentang budaya tubuh dan psikologi sosial di Sapporo, Jepang. Beberapa tulisannya tentang seni pertunjukan, antara lain: Tari sebagai Media Komunikasi, Privasi yang Tidak Sederhana, Sebuah Langkah Keterbelahan Diri, serta sebuah artikel tentang psikologi sosial: Mengatasi Konflik dalam Rumah Tangga. Selain menulis, Ia menjadi penerjemah dan sekaligus editor untuk sebuah lembaga kajian Antropologi di Jakarta dan Depok. Salah satu buku yang pernah ia kerjakan sebagai penyelaras akhir adalah Kontekstualisasi Kesukubangsaan di Perkotaan yang ditulis oleh Yulizar Syafri.