Search
Close this search box.

Damai Islam, Damai Natal

Damai Islam, Damai Natal

Oleh : Hartoyo*

Suarakita.org- Menelusuri jalan Jakarta dan melewati beberapa gereja yang sedang beribadah Natal, semua gereja dijaga oleh Gegana. Pasukan polisi yang biasa menangani bom dan teroris. Bahkan pintu pagar gereja hanya sedikit dibuka, sepertinya ada prosedur tertentu ketika masuk ke gereja tersebut. Ada pengamanan yang ketat dari pihak kepolisian. Dan saya tahu, pengamanan ini hampir tiap tahun dilakukan dibanyak gereja di Indonesia.

Tentu kita patut apresiasi kepada pihak pemerintahan Jokowi, dalam hal ini kepolisian yang antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Hal ini juga diungkapkan oleh Shintea Galeshka dalam komentar status facebook, “kemarin sempat berpikir seperti ini Mas Toyo, kita memuji polisi dan beberapa ormas Islam yang ikut turun menjaga gereja dan saudara-saudara yang merayakan Natal”

Sambil terus mengendarai sepeda motor, secara refleks mulut dan pikiranku melantunkan nada-nada lagu malam kudus secara berulang-berulang. Walau saya sendiri sama sekali tidak hapal syairnya.

Saat sampai tujuan, tiba-tiba saya berpikir sebagai seorang muslim dan warga negara, bertanya pada diri sendiri, ada apa dengan bangsa ini? Mengapa saudara-saudaraku, saat merayakan moment yang sangat esensial bagi keyakinan mereka, tapi harus ada penjagaan super ketat dari kepolisian? Mengapa dari pengalaman hidup sebagai muslim, saat merayakan Idul Fitri atau Idul Adha, penjagaan super ketat itu tidak pernah saya alami? Berbagai pertanyaan itu terus muncul dipikiranku.

Apakah aktivitas mereka menganggu ketertiban umum, melawan hukum atau merusak keimanan umat lain? Sehingga perlu dijaga ketat?

Bukankah mereka melakukan itu dirumah ibadah mereka sendiri? tempat yang mereka bayar dari hasil keringat mereka sendiri? Buat saya pribadi sebagai muslim dan warga negara, sama sekali tidak menganggu kehidupan sosial saya. Sama sekali tidak!

Mereka bukan gerombolan teroris atau kelompok masyarakat yang akan menghancurkan negara? Mereka sedang ibadah, IBADAH!!!

Dari moment natal itu, saya jadi teringat pada pengalaman saya bekerja di Suara Kita, lembaga sosial yang fokus untuk perjuangan kesetaraan dan keadilan atas dasar orientasi seksual dan identitas gender. Mungkin dua pengalaman ini tidak berkaitan langsung dengan cerita diatas.

Terjadi pada bulan Ramadhan tahun 2013, saat itu Suara Kita akan menerbitkan buku pengalaman hidup tujuh waria. Karena akan diterbitkan secara mandiri, kami membutuhkan seorang layouter untuk mendesign buku. Cari mencari, seorang teman menghubungkan pada seorang layouter yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat. Layouter itu seorang perempuan dan berjilbab besar, secara simbol bisa disimpulkan seorang muslimah yang sholeh. Sebut saja namanya, Rita.

Teman saya sempat mengkomunikasikan kepada Rita, sang layouter, bahwa materi buku yang akan dilayout bercerita tentang kehidupan waria. Menurutku temanku, Rita tidak masalah. Maka saya dengan temanku yang lain memberikan materinya kerumah Rita di Bekasi, jarak yang sangat jauh kami tempuh dari Kalibata, Jakarta Selatan.

Singkat cerita, kami bertemu dengan Rita, sekaligus meyerahkan materi buku beserta foto-foto pendukung. Saat kami datang, tepat waktunya berbuka puasa, kami diberikan hidangan buka puasa oleh Rita dan suaminya. Sambutannya sangat ramah dan bersahabat.

Setelah kami pulang, mungkin dua hari setelah itu. Teman saya yang merekomendasikan Rita mengatakan kepada saya, mas Toyo, Rita menolak untuk membantu layout buku Suara Kita, ungkap teman saya. Saya tentu kaget karena saat bertemu seperti tidak ada masalah. Apa alasannya, tanyaku pada temanku itu. Katanya, setelah membaca isi buku dan melihat foto-foto, dilarang oleh suami Rita dan isi buku “tidak sesuai kata hati”.

Kami tentu di Suara Kita merasa kaget dengan pembatalan itu, walau kami tetap hargai sebagai putusan seseorang. Tapi karena buku yang akan kami cetak ini belum mendapatkan judul, maka kami setuju memberi judul “Sesuai Kata Hati”. Judul itu terinspirasi dari alasan Rita yang menolak mengerjakan layout buku waria tersebut.

Maka menjadi tugas kami lagi untuk mencari layouter lain yang sesuai dengan apa yang kami mau, baik indah secara seni maupun tidak masalah secara isi buku.

Kamipun akhirnya berkenalan dengan seorang layouter, seorang laki-laki kurus kecil. Orangnya sangat sabar dan cenderung pendiam. Sebut saja namanya Iwan. Kami berkenalan dengan Iwan melalui seorang teman, aktivis pluralisme.

Iwan bercerita bahwa dia pengalaman membantu layout buku-buku tentang isu-isu kebebasan. Karena kami ada ketakutan punya masalah lagi ditolak oleh layouter, maka saya jelaskan bahwa buku yang akan di layout berisi tentang kisah waria. Iwan, saat saya sampaikan itu, dia senyum ringan sambil mengatakan sangat datar, tidak masalah mas, jawabnya.

Setelah selesai proses layout buku Sesuai Kata Hati, Suara Kita tetap berhubungan dan meminta bantuan layout-layout lainnya pada mas Iwan. Rupanya kemampuan mas Iwan menurut kami sangat baik, rasa seninya juga tinggi. Sehingga kalau Suara Kita meminta untuk melayout sesuatu tidak terlalu repot untuk mengubah-ubahnya. Karena selalu konsep dasar layout sangat indah. Sampai sekarang mas Iwan menjadi layouter langganan Suara Kita.

Suara Kitapun akhirnya seringkali bertemu dengan mas Iwan karena urusan kerja (layouter), bahkan beliau juga mengajarkan kami training design grafis dasar. Karena intens perkenalan itu, kami baru tahu kalau mas Iwan seorang Khatolik. Etnis Betawi yang beragama Khatolik. Etnis yang umumnya disamakan dengan Islam, sama seperti Etnis Padang ataupuan Aceh yang identik dengan muslim.

Karena pertemuan itu, mas Iwan akhirnya makin kenal Suara Kita dan apa yang dikerjakan. Bertemu dengan waria, gay dan lesbian. Semua dilalui mas Iwan dengan sangat biasa saja, sama seperti saya kenal pertama sekali. Selain itu, kami di Suara Kita juga tahu, kalau mas Iwan sangat aktif di gereja. Khatolik sholehah. Mungkin kesholehan mas Iwan secara simbol sama dengan Rita sebagai muslimah. Hanya yang membedakan, kalau mas Iwan sebagai Khatolik santai saja berhubungan dengan isu waria sedangkan Rita sebagai muslim, menolaknya. Walau secara etnis Rita berasal dari Sumatera Utara, orang Medan.

Tulisan ini tentu tidak sedang membandingkan dua ajaran agama, Khatolik dan Islam mana yang paling baik. Sama sekali bukan itu tujuan tulisan ini. Karena saya tahu dan yakin bahwa ada banyak umat Khatolik yang juga sama sikapnya seperti Rita. Menolak waria. Begitu juga ada banyak umat Islam yang punya sikap sangat ramah pada kelompok waria, seperti yang dilakukan mas Iwan sebagai Khatolik. Di setiap agama apapun, pasti ada orang yang sangat manusiawi pada pihak lain dan ada juga sinis pada manusia lain atas dasar keyakinan agamanya.

Dari dua cerita diatas, saya sebagai umat muslim merefleksikan bahwa ada masalah besar dari cara keberagamaan masyarakat Indonesia. Kebetulan Indonesia mayoritas beragama Islam, sama dengan agama yang saya yakini. Dari mulai adanya larangan mengucapkan natal sampai keyakinan diri bahwa seorang waria adalah pendosa. Itu terjadi nyata dalam nilai-nilai keyakinan sebagian umat Islam di Indonesia. Bahkan sampai ada keyakinan melakukan kekerasan dan kebencian pada manusia lain dibolehkan atas nama agama. Ini tentu ironis sekali kalau agama diturunkan untuk kedamaian.

Dari pengalamanku ini, apa kira-kira peyebabnya? Mengapa orang beragama sampai mampu melakukan kekerasan dan kebencian pada manusia lainnya? Apakah ini yang pernah diungkapkan oleh Samuel Hungtinton, ahli politik asal Amerika dalam bukunya The Clash of Civilizations, bahwa telah terjadi perang peradaban antar kelompok. Ada benturan budaya yang didalamnya ada perbedaan nilai-nilai/pemahaman (termasuk pandangan agama) bahwa yang berbeda adalah musuh, kafir atau sesat. Apakah nilai itu tertanam di banyak orang beragama, dalam konteks kasus ini sebagian umat Islam? Apakah Rita dan sebagian umat Islam mengalami benturan-benturan itu, seperti yang diprediksi oleh Hungtinton?

Atau karena ada perlawanan atau resistensi umat Islam terhadap dominasi Barat (baca: Kristen/Khatolik) didunia? Seperti yang diungkapkan oleh intelektual keturunan Palestina, Edward Said, dalam bukunya berjudul Orientalis, yang menjelaskan bahwa ada cara pandang yang penuh stigma Barat (baca: Kristen-Khatolik) terhadap Timur (baca: Islam)? Atau karena ada pandangan sebagian umat Islam bahwa Barat (Kristen-Khatolik) akan selalu menganggu keberadaan Islam? Bahkan dalam teks Al Quran ada teks yang menyatakan itu.

Dan kelompok waria, gay atau lesbian selalu diidentikan dengan Barat, sehingga perjuangan hak-hak waria sama dengan gerakan Barat. Padahal umat Kristen-Khatolik juga masih banyak yang menolak waria, sama yang dilakukan oleh Rita. Mungkinkah Rita dan sebagian umat Islam di Indonesia mengalami resistensi itu, seperti yang diperkirakan oleh Said?

Atau mungkin ada masalah pemahaman teks kitab atau ada sebab lain?

Tapi apapun itu peyebabnya, faktanya pada level mikro (hubungan antar individu) dan meso (hubungan antar kelompok) beragama ada masalah. Seperti dua contoh diatas. Buat saya, sebagai muslim ternyata masih ada pekerjaan rumah yang besar untuk meyebarkan secara terus menerus bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan damai. Sama seperti juga Khatolik yang diyakini oleh mas Iwan. Untuk pemerintah dan para tokoh agama, sudah keharusan untuk terus mendidik umat memahami agama yang damai tanpa kebencian. Terutama umat Islam yang mayoritas di Indonesia. Kita sepertinya harus belajar dengan cara beragama mas Iwan dalam membangun hubungan antar manusia.

Terakhir, dari lubuk hati yang paling dalam kuucapkan “Selamat Natal Untuk Saudara-saudaraku yang Merayakannya, Salam Damai Untuk Kita Dan Bangsa Ini”. Jika ucapan saya ini dianggap berdosa, maka lahir bathin saya bertanggungjawab resikonya di akhirat nanti.

Kuningan City-Jakarta, 25 Desember 2015

*Direktur Perkumpulan Suara Kita