Pulang Bersamaku
Oleh : Wisesa Wirayuda*
Satu
Suarakita.org- Entah mengapa aku merasa kesal ketika perempuan-perempuan itu mendekati pacarku. Tertawa genit seolah-olah tak ada pria lain di muka bumi ini. Dan yang lebih mengesalkan adalah pacarku juga terlihat “melayani” mereka. Seolah-olah aku ini tak ada disampingnya.
Namun tetap saja, aku hanya tersenyum melihat pria manis itu tertawa. Urat-urat sekitar matanya yang membuatku tak bisa berpaling dari wajahnya juga gigi nya yang rapih itu, yang selalu membuatku terpana. Senyuman yang tak aneh jika banyak perempuan yang ingin dekat dengannya.
Apalagi ketika ia tiba-tiba menengok ke arahku. Tiba-tiba membuatku seperti melayang. Dia begitu mempesona. Tak bisa aku berpaling walau sebentar.
Kemudian dalam momentum yang sangat cepat, perempuan-perempuan berisik itu akhirnya pergi. Tersisalah aku, dia, dan kesunyian.
“Maaf ya.” katanya memulai obrolan.
“Yah, aku mengerti ko.” kataku.
“Aku tau kamu ga suka ngeliat mereka mendekati aku.”
Aku hanya mengangguk. Kemudian bel sekolah berbunyi menandakan waktu istirahat sudah selesai.
“Kita ketemu pulang sekolah ya.” katanya. Kemudian ia melihat ke sekeliling. Memastikan kantin sudah sepi. Lalu mencium keningku.
Dua
“Nah! Itu dia datang!” teriak teman sekelasku padaku.
Beberapa orang berlarian kearah ku. Mengejarku seolah-olah ada yang mereka cari dariku.
Aku hanya mencoba berlari keluar untuk menghindar, namun aku terlambat. Mereka menarik seragam putihku.
“Berikan tugasmu pada kami, kalau tidak…”
“Apa?” aku tak mengerti dengan yang mereka maksud.
“Atau kami akan menyebarkan ini…” mereka menunjukan foto-foto dari akun facebookku. “Foto-foto banci ini pasti akan disukai oleh seluruh siswa disekolah ini.”
“Tidak, kumohon jangan.”
“Makanya, berikan tugasmu sebelum guru datang.”
Aku pun memberikan tugasku pada mereka begitu saja tanpa perlawanan apapun.
Aku lebih takut jika foto-foto itu tersebar. Foto-foto yang entah bagaimana bisa berada pada mereka. Foto-foto pribadi dari akun facebook yang seingatku aku tidak berteman dengan mereka.
Tiga
“Kamu kenapa?” tanya Randi.
“Tidak.” kataku.
“Aku sudah minta maaf, kan?”
“Iya, bukan tentang itu kok.”
“Yasudah, aku buatkan susu ya?”
“Boleh.” kataku sembari tersenyum. Randi selalu tahu bagaimana caranya membuatku tersenyum kembali. Aku bersyukur memiliki dirinya.
Dalam hitungan menit dia kembali membawa dua gelas susu. Susu coklat dan susu putih. Kemudian memberikan susu putih padaku.
“Jam berapa ibumu akan pulang?” tanyaku padanya.
“Entahlah, mungkin dua jam lagi”
“Kalau begitu aku harus segera pulang.”
“Yah, sepertinya.” Randi nampak sedih. Kini giliran dia yang nampak sedih.
“Ada apa?”
“Tidak, kita ketemu besok disekolah ya?”
“Ya, ganteng.” kataku sedikit menggoda.
Kemudian Randi tiba-tiba memelukku begitu erat.
“Aku pulang ya?”
Empat
“Dimana Randi?” tanya seorang perempuan padaku.
“Aku belum melihatnya hari ini.”
“Beritahu dia ya, kalau ketemu nanti.”
“Oke.” kataku. Kemudian perempuan itu pergi. Aku tahu perempuan itu mengejar-ngejar Randi sama seperti perempuan lain disekolah ini.
Aku heran, apakah tidak ada terbesit dalam pikiran mereka bahwa Randi adalah seorang gay? Tak pernahkah mereka berpikir bahwa masih banyak laki-laki disekolah ini.
Padahal jika aku perhatikan, masih banyak laki-laki yang sendirian belum memiliki pacar. Tapi kenapa harus Randi? Kenapa harus pacarku yang mereka kejar? Tidakkah mereka mengerti?
Lima
Kudengar banyak orang yang sedang tertawa diujung lorong itu. Karena penasaran aku pun menghampiri sumber suara itu. Kulihat ratusan siswa siswi sedang tertawa di depan mading sekolah, aku masih tak mengerti apa yang lucu.
Aku dekatkan diri ke kerumunan orang itu. Ada seseorang yang menyadari keberadaanku, ia langsung saja menepuk pundak temannya. Kemudian temannya itu menepuk seseorang di depannya, terus seperti itu sampai semua orang terdiam melihat diriku datang. Namun tiba-tiba mereka kembali tertawa padaku. Kemudian membiarkan aku berjalan kearah mading.
Sangat terkejut aku ketika melihat ternyata foto-fotoku sudah dicetak dengan ukuran yang lumayan besar. Aku berlari untuk mencopot gambar-gambar itu. Gambar diriku yang sedang tidak memakai baju, gambar diriku yang hanya mengenakan celana dalamku.
Kutarik, kusobek, kuremas-remas semua gambar yang kudapat. Kulempar gumpalan kertas itu kesembarang arah. Air mata tak kuasa ku bendung. Tumpah semuanya bersamaan dengan tawaan orang-orang yang menjadi lebih kencang dari yang sebelumnya.
“Kau tahu? Mading disekolah ini tidak hanya satu.” teriak seseorang. Dan secara otomatis, aku berlari mencari gambar-gambar itu lagi. Mencari keseluruh sudut sekolah. Aku tak mau ada lagi yang melihat gambar itu.
Aku kesal, aku malu, aku sangat ingin marah. Ditambah lagi aku tak bisa menemukan Randi dimanapun.
Enam
Aku berjalan, tertatih, dan masih menangis. Tak kusangka aku mengalami ini. Aku tak tahu apakah aku masih bisa melewati ini sendirian. Ejekan-ejekan ini. Hinaan-hinaan ini. Entah sampai kapan aku harus menerimanya.
Kucari Randi diseluruh sekolah ini, namun belum juga aku menemukannya. Entah dimana dia saat aku mengalami ini. Entah apakah ia merasakan apa yang sedang aku rasakan atau tidak.
Sampai akhirnya seseorang dari jauh “Dion, tunggu!”
Suara itu, suara yang selama ini aku tunggu. Akhirnya aku mendengarnya. Kudengar Randi mengejarku kemudian memelukku ketika ia mendapatkanku.
“Kudengar orang-orang menertawaimu. Aku mencarimu kemana-mana, kau tak apa-apa?”
“Aku….” aku hanya bisa menangis dan kembali memeluk Randi.
“Hey! Randi!” teriak wanita-wanita yang mengejarnya itu. “Kau sedang apa? Biarkan saja si banci itu!” kemudian mereka tertawa.
“Kalian…” kudengar Randi angkat bicara. Aku tak tahu apa yang akan ia katakan. Namun aku terkaget mendengar Randi merespon mereka. Biasanya Randi hanya diam. “Kalian sebaiknya pergi.” katanya. Kemudian Randi menuntunku berjalan.
Meskipun Randi tidak mengatakan kepada perempuan-perempuan itu bahwa aku ini pacarnya, namun itu sudah cukup. Aku hanya ingin dianggap oleh Randi. Tak peduli lagi aku pada orang lain.
Pepatah mengatakan. Pasangan kita pasti menginginkan kita mengakuinya, bukan menyembunyikannya. Begitupun aku.
Maka dari itu. Randi merangkul pundakku, membawaku pulang. Sedangkan orang-orang hanya memandangi kami dari jarak jauh.
Tujuh
“Randi?” kataku.
“Ya?”
“Aku tak peduli jika kau banyak mengobrol dengan orang-orang disekolah. Tapi, bisakah kau berjanji?”
“Janji apa? Aku akan menepatinya.”
“Meskipun kau banyak ngobrol dengan orang lain disekolah. Berjanjilah kau selalu pulang bersamaku.”
Randi hanya mengangguk. “Aku berjanji, Dion.”
*Penulis adalah seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Indonesia.