Suarakita.org– “Kita perlu belajar tentang Majapahit, tapi bukan tentang kejayaanya melainkan kejatuhanya yang menimbulkan arus balik yang hebat dalam sejarah.”
Kalimat diatas adalah penggalan dari Pidato Kebudayaan DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) yang disampaikan oleh Dr. Hilmar Farid. Sejarawan yang juga pendiri Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI). dalam pidatonya beliau mengajak kita kembali ke masa lalu. Melihat dan menelusuri Indonesia hari ini sekaligus menjabarkan mengapa kita perlu mengubah orientasi pada laut dan desa dengan pendekatan sejarah.
Acara Pidato Kebudayaan dibuka dengan pertunjukan kolaborasi musik dan teater antara Ketua Komite Musik Aksan Sjuman dan Sekretaris Komite Teater Faiza Mardzoeki. Mereka menampilkan teater gerak oleh Gallis Agus Sunardi, yang terinspirasi dari karakter Wiranggaleng dalam kisah Arus Balik (1974) karya Pramoedya Ananta Toer dalam pembuangan di Pulau Buru. Novel tersebut juga adalah salah satu rujukan Hilmar Farid dalam menulis pidato kebudayaanya.
“Untuk memahami kebangkitan nasional abad ke-20 kita pertama harus memahami kejatuhan di masa lalu”. ujar Hilmar Farid. Kegagalan menguasai dan mengendalikan laut sesuai dengan ritme bangsa adalah akar masalah Indonesia. Laut yang sejatinya fundamental dalam kehidupan sebuah negeri maritim ditinggalkan sejak zaman Amangkurat I. Laut yang semula menghubungkan sekarang jadi penghalang.
Didalam naskah pidatonya Dr. Hilmar Farid menuliskan tiga tantangan penting yang harus diperhatikan oleh bangsa ini. Pertama: yang paling mendasar, adalah menyadari laut sebagai bagian dari ruang sosial dan kultural kita. Ambil contoh yang sederhana: transportasi. Dalam beberapa tahun terakhir Kementrian Perhubungan dan TNI Angkatan Laut menawarkan jasa angkutan laut untuk para pemudik yang membawa sepeda motor. Tapi laporan media menunjukan orang lebih berdesakan naik motor dijalan raya dengan resiko nyawa daripada menikmati fasilitas kapal laut yang gratis!. Kedua, kita perlu mempelajari beragam ritme kehidupan dalam masyarakat dan keluar dari belenggu pikiran linier bahwa yang satu lebih unggul dari ritme yang lain. Kuncinya disini adalah kemampuan mendengarkan dan ini bukan hal yang mudah. Sekarang ini kita hidup didunia yang ramai dan bising sehingga kadang sulit menentukan mana yang perlu dan mana yang tidak perlu didengarkan. Ditengah kebisingan itu kita akhirnya membiarkan algoritme mesin untuk memilah timbunan informasi dan menghadirkannya sebagai “kenyataan” dalam bentuk trending topic. Di tengah arus yang cepat itu semua ritme yang lambat cenderung menghilang. Kita perlu mengimbangi kecepatan itu dengan meningkatkan kesabaran dan kemampuan untuk mendengarkan sehingga bisa menemukanritme kehidupan masyarakat sebagai kesatuan. Dan ketiga, kita perlu tindakan. Kita tidak perlu rencana atau cetak-biru tentang kebudayaan maritime. Kita perlu tindakan karena melalui tindakan yang bersandar pada kesadaran baru dan keinginan mendengarkan itulah kebudayaan kita yang bisa berkembang.
Itulah sebagian buah pikiran dari Dr. Hilmar Farid yang dipaparkan dalam pidato kebudayaan yang mengambil tema ARUS BALIK KEBUDAYAAN: SEJARAH SEBAGAI KRITIK. Di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (10/11/2014), pukul: 20.00 WIB.
Pidato Kebudayaan 2014 adalah program bersama DKJ bersama Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM). Program ini pertama kali diadakan pada 18 Agustus 1989 yang bertepatan dengan ulang tahun Taman Ismail Marzuki. Pidato Kebudayaan pembukaanya diresmikan oleh Gubernur Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta, Ali Sadikin. Seperti sebelumnya Pidato Kebudayaan yang digelar Taman Ismail Marzuki selalu menyoroti perkara aktual penting Indonesia terkini. (Yatnapelangi)
Untuk lebih dekat dengan Hilmar Farid kunjungi website: www.hilmarfarid.com