Oleh: Wisesa Wirayuda*
Suarakita.org- Bu, maafkan aku. Aku tidak bisa pulang hari ini. Aku tahu Bu, hari ini adalah tahun baru Islam. Aku tahu. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Esok aku harus kembali ke kampus, Bu. Aku harus kembali berkuliah. Aku di sini mempunyai kegiatan, Bu. Aku tidak berdiam diri saja tidak melakukan apa-apa.
Namun tahukah Ibu, aku sudah senang Ibu meneleponku tadi. Aku sangat senang karena ternyata Ibu merindukanku untuk pulang. Aku sangat senang begitu mendengar Ibu menginginkan aku untuk berada di rumah di tahun baru Islam ini.
Tapi Bu, aku hanya tidak bisa pulang, mungkin belum.
Teman-teman menaruh kepercayaan mereka padaku. Aku ditunjuk sebagai ketua pelaksana untuk perlombaan paduan suara, Bu. Aku tidak bisa mengecewakan mereka. Karena itu yang ibu ajarkan padaku, aku tidak boleh mengecewakan siapapun yang menaruh kepercayaannya padaku.
Jadi, mungkin aku akan pulang setelah urusanku di kampus sudah selesai. Aku janji, Bu.
Tapi Bu, aku sudah senang ternyata Ibu merindukanku.
Aku hanya tidak mengerti dengan perkataanmu di akhir telepon tadi. Ibu katakan padaku bahwa Ibu berharap agar aku segera mendapatkan ‘hidayah’.
Aku terkejut, Bu. Sungguh. Aku kira, orientasi seksualku tidak lagi kau permasalahkan. Namun pernyataanmu itu membuat semuanya jelas.
Namun apa dengan yang disebut dengan ‘hidayah’ itu, Bu? apakah itu sesuatu yang bisa membuat Ibu sayang padaku? Apakah itu suatu sifat pendewasaan? Apakah itu sesuatu yang menjadi pencapaian manusia semasa hidupnya?
Aku pernah membaca, Bu. Di sana tertulis bahwa hidayah adalah sesuatu yang membuatku berjalan di jalan yang ‘lurus’. Apakah maksudnya itu, Bu? Apakah itu berarti jalanku tidak ‘lurus’? Apakah itu berarti aku berada di jalan yang ‘berkelok-kelok’? Bukankah memang bahwa jalan kehidupan kita semua ini tidak ‘lurus’, Bu?
Aku juga pernah membaca, Bu. Di sana tertulis bahwa hidayah diberikan kepada orang-orang yang sudah ‘salah jalan’. Apa maksudnya itu, Bu? Apakah jalanku salah? Bagaimana bisa aku tahu bahwa yang kulakukan itu benar atau salah jika kebenaran itu sendiri hanya Tuhan yang tahu?
Apakah Ibu tahu apa yang kulakukan?
Apakah Ibu tahu apakah aku salah atau benar?
Aku ingin bercerita kepada Ibu. Di tempatku menuntut ilmu ada puluhan orang yang menyuruhku untuk merokok, namun aku menolak Bu. Karena aku tahu itu tidak baik untuk kesehatanku. Ada juga yang menyuruhku untuk meminum minuman keras, aku lagi-lagi menolak, Bu. Karena aku juga tahu itu tak baik untuk kesehatanku. Apakah yang kulakukan sudah cukup ‘lurus’, Bu?
Aku juga selalu meminta maaf pada orang-orang yang mungkin terganggu dengan sikapku, tak hanya sekali. Bu, aku juga selalu meminta tolong dan berterima kasih. Apa itu tidak cukup ‘lurus’ untukmu, Bu?
Apakah aku salah jika menolak ajakan mereka? Apakah salah jika aku meminta pertolongan terhadap manusia? Sedangkan Ibu mengajarkan bahwa kita harus saling menolong dan membantu. Apakah itu berarti jalanku tidak ‘lurus’ seperti yang Ibu bayangkan?
Apakah hanya karena aku seorang gay dan Ibu menyimpulkan bahwa jalanku tidak ‘lurus’? Apakah hanya karena aku menyayangi seorang laki-laki maka kau katakan aku berada di jalan yang ‘berkelok-kelok’? Apakah itu berarti jalan ‘lurus’ yang Ibu sebutkan adalah sebuah jalan mainstream? apakah itu jalan lurus, Bu?
Apakah Tuhan yang akan mengirimkan hidayah itu, Bu?
Bu, sebenarnya yang seperti apa jalan ‘lurus’ itu? Mengapa kau tidak menjelaskannya padaku? Menagapa kau membiarkan aku kebingungan?
Aku kebingungan, Bu.
Aku bingung, mengapa Ibu berkata seperti itu?
Namun sungguh, Bu. Aku tidak ingin memikirkannya. Aku sudah tidak memikirkan apapun tentang orientasi seksualku, Bu. Aku sudah berdamai dengan diriku sendiri, Bu. Aku sudah mendapatkan hidayah untuk menerima diriku sendiri dengan apa yang aku punya. Aku sekarang mulai belajar menyayangi diriku sendiri, Bu. Aku sekarang menerima diriku sendiri, Bu. Aku tidak keberatan pada diriku sendiri.
Jadi, mengapa Ibu mengatakan itu?
Penulis adalah mahasiswa STSI dan tulisannya sering dipublikasi di website Suara Kita.