Search
Close this search box.

Bahasa Gay sebagai Bahasa Subkultur dalam Konteks Keseharian

Oleh : Wisnu Adihartono*

Suarakita.org- ‘’Mau ke mana bok ?’’, ‘’Bentar ya cin’’, ‘’Sutra makarena belanda ?’’. Bok, cin, say, nek, tinta, sutra, dan lain-lain adalah sufiks dan beberapa kata dalam bahasa Indonesia yang diplesetkan menjadi bahasa sebuah bahasa ciptaan baru yang digunakan oleh kelompok lesbian, gay, dan waria (LGT) atau menurut seorang antropolog Indonesia dari Amerika, Tom Boellstrof disebut sebagai bahasa gay atau bahasa binan menurut Dédé Oetomo. Pengkreasian, pemakaian, dan pemutakhiran bahasa ini merupakan sebuah proses yang sangat dinamis dan sesuai konteksnya bahasa ini penuh dengan selipan-selipan. Menilik sejarahnya, bahasa gay sendiri di Indonesia kemungkinan besar muncul pada awal tahun 1970an sebagai proses memosisikan gay Indonesia sebagai subjek. Sementara secara tata bahasa, bahasa gay pada dasarnya hanya mengikuti konstruksi tata bahasa bahasa Indonesia (the national vernacular).

Bahasa ‘’Pertahanan’’ Identitas Diri

Sebuah studi yang dilakukan oleh Richard Howard tentang bahasa gay di Indonesia menegaskan bahwa dengan menggunakan bahasa gay, mereka dapat berbicara bebas tentang hasrat-hasrat dan pengalaman-pengalaman homoseksualitasnya tanpa khawatir orang lain dapat mengerti apa yang mereka ucapkan. Bahasa gay juga berfungsi sebagai bahasa pertahanan untuk menciptakan perasaan kepemilikan di antara mereka. Saya teringat dengan penelitian Remoto, seorang antropolog Filipina yang meneliti bahasa gay di Filipina yang mengatakan bahwa sesunggu bahasa gay adalah a “common tongue”, a “code” and a “sword” and a “language” that links gay people in their own discourse even while it drifts away from the common understanding of the “straight world”.

Namun saat ini, bahasa gay ditengarai bukan lagi menjadi bahasa rahasia yang khusus diucapkan dan diinterpretasikan oleh kelompok gay, lesbian, dan transgender. Dewasa ini, bahasa gay sudah bergeser untuk diterima oleh komunitas yang lebih luas – what seemed to be an exclusive language for a gay subculture is now becoming a dialect of the larger community, begitu jelas Remoto. Boellstroff juga mengatakan bahwa bukti etnografis mengindikasikan bahwa bahasa gay bukan lagi bahasa rahasia. Alasan utamanya adalah bahwa tidak semua gay tahu bagaimana menggunakan bahasa gay karena banyak gay yang justru menghindari tempat-tempat yang khusus dikunjungi oleh kelompok gay sehingga mereka tidak mengetahui sama sekali cara menggunakan bahasa gay.

Yang menarik dari penggunaan bahasa gay di Indonesia, khususnya di Jakarta sebagai kota besar, bahasa gay mulai digunakan oleh hampir semua kalangan, dari pelajar SMP, SMU, mahasiswa, orang dewasa, bahkan beberapa orang yang sudah tua, baik yang sudah menikah atau yang belum menikah. Menurut Boellstroff, kemungkinan besar bahasa gay yang saat ini dituturkan oleh hampir semua kalangan, ditempa melalui para gay yang bekerja di salon. Interaksi-interaksi antara kapster dan pelanggan yang tidak melulu gay, memungkinkan adanya penciptaan bentuk-bentuk baru bahasa gay yang dikombinasikan dengan bahasa Indonesia, sehingga bahasa gay lantas menjadi bagian dari bahasa Indonesia yang gaul.

Social Dialect (Sociolect) dan Bahasa Gay sebagai Bahasa Slang

Tentu kita tahu bahwa setiap gugusan masyarakat tentu memiliki speech community-nya sendiri-sendiri untuk kemudian dibagi. Begitupun dengan komunitas gay, lesbian, dan transgender yang memiliki ragam bahasanya sendiri. Ragam bahasa didefinisikan sebagai suatu istilah yang dipergunakan untuk menunjuk salah satu dari sekian variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa. Jadi, ragam bahasa adalah jenis-jenis atau pola-pola ujaran manusia yang bervariasi sesuai dengan konteks pemakaiannya dalam hubungan komunikasi atau interaksi. Dalam kajian sosiolinguistik, varian bahasa ini disebut dengan Sociolect atau Social Dialect.

Pembacaan saya tentang Sociolect, mengantar saya kepada definisi Sociolect menurut Trudgill yang menjelaskan bahwa Sociolect adalah “a variety or lect which is thought of as being related to its speakers’ social background rather geographical background”. Dengan kata lain bahwa bahasa yang terkategorikan dalam Sociolect diucapkan oleh kelompok sosial, kelas atau sub budaya tertentu yang meliputi parameter seperti gender, umur, pekerjaan, dan mungkin beberapa kelompok lain.

Bahasa gay sebagai sociolect dapat dikatakan sebagai sebagai bahasa subkultur yang disebut sebagai bahasa khusus (special language). Variasi khusus inilah yang membedakan mereka dari orang-orang yang tergolong dalam kelompok sosial di luar mereka. Para remaja, pencuri, tunasusila memiliki satu argot yang membedakan mereka dari orang tuanya, polisi, dan pihak berwajib lainnya. Jenis argot khusus demikian disebut slang. Bahasa Slang adalah hasil kombinasi kekurangwajaran bahasa dengan reaksi terhadap kosakata yang serius, kaku, muluk, megah, atau tidak menarik, sehingga dapat dikatakan bahwa bahasa slang adalah ragam bahasa tak resmi yang dipakai oleh kaum remaja atau kelompok-kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai usaha supaya orang-orang kelompok lain tidak mengerti; berupa kosakata yang serba baru dan berubah-ubah. Dengan demikian, bahasa gay dapat dikategorikan sebagai bahasa slang yaitu sebuah bahasa yang dicirikan dengan kosa kata yang baru ditemukan dan cepat berubah.

Bagaimana Bahasa Gay dapat Dipakai dalam Keseharian?

Pertanyaan ini tentu saja sulit dijawab karena sifat dari bahasa gay yang terus berubah dan tidak adanya ketentuan secara sosial tentang penyebarannya. Menurut saya, kemungkinan besar hanya ada satu cara bagaimana bahasa gay dapat tersebar dan digunakan dalam keseharian oleh hampir semua kalangan di Indonesia, yaitu dengan menggunakan kacamata representasi sosial yang digagas oleh seorang sosiolog Perancis, Serge Moscovici. Secara umum, konsep representasi sosial adalah proses produksi dan proses dari sebuah elaborasi psikologi dan kenyataan sosial dan berfungsi untuk mengkonstruksi sebuah kenyataan. Oleh karena representasi sosial sangat berhubungan dengan interaksi-interaksi yang ada, maka ia juga berkonsentrasi pada bagaimana mengarahkan sebuah konsep bersama dalam kerangka komunikasi sosial dan dirangkum dalam sebuah legitimasi perasaan umum. Melalui konsep representasi sosial, maka setidaknya akan terlihat jelas bagaimana bahasa gay Indonesia dapat dituturkan, diintepretasikan dan dikembangkan oleh kalangan yang lebih luas.

Moscovici mendefinisikan konsep representasi sosial sebagai “a system of values, ideas and practices with a twofold function: first, to establish an order which will enable individuals to orientate themselves in their material and social world and to master it; and secondly to enable communication to take place among members of a community by providing them with a code for social exchange and a code for naming and classifying unambiguously the various aspects of their world and their individual group history”.

Moscovici-pun menambahkan bahwa konsep representasi sosial juga dapat dilihat sebagai “from the dynamic point of view social representations appear as a “network” of ideas, metaphors and images, more or less loosely tied together”.

Dari definisi-definisi tentang representasi sosial jelas terlihat bahwa penggunaan bahasa gay saat ini di Indonesia tertransfer secara alami dan laten melalui metafora dan imej. Dalam hal ini, bahasa gay terepresentasi dalam sebuah sistem jaringan yang dipratekkan melalui sebuah proses komunikasi. Penggunaan bahasa gay di kalangan yang lebih luas berproses, yang semula hanya berupa “kode rahasia” bagi komunitas mereka sendiri, lambat laun membentuk sebuah jaringan tersendiri dan terjalin melalui interaksi-interaksi non-formal di dalam sebuah lingkungan sosial sehingga terjadi shared cognition didalamnya.

Apabila konsep representasi sosial kita gabungkan di dalam kajian sosiolingusitik, maka bahasa juga memiliki fungsi sebagai sarana pembangun hubungan sosial dan pemberitahuan informasi terhadap lawan bicara. Menurut Holmes bahwa ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi penggunaan atau pemilihan bahasa misalnya pada topik, lawan bicara, dan konteks sosial serta lokasi pembicaraan sehingga terjadi interaksi-interaksi sosial di dalam sebuah penggunaan bahasa.

Penggunaan bahasa gay di Indonesia oleh kalangan luas tidak terlepas dari proses-proses tersebut. Cepatnya penyebaran dan penggunaan bahasa gay ini lalu menempatkan mereka yang tidak bisa menggunakan bahasa gay adalah ketinggalan jaman. Saya lantas teringat dengan salah satu tulisan dari Ibhoed bahwa “it’s even said that Jakarta youth that cannot use this language are said to be socially inept and behind the times”.

Seperti bahasa Indonesia yang dituturkan secara formal dan informal, bahasa gay kini menjadi bahasa sehari-hari (everyday language) yang digunakan dalam interaksi sehari-hari, khususnya di kota-kota besar, khususnya Jakarta dimana setiap orang dengan latar belakang yang berbeda melakukan kontak komunikasi. Tanpa pandang bulu, varian bahasa ini, yang disebut sebagai sociolect, dituturkan secara tidak sadar oleh semua orang; muda, tua, laki-laki, dan perempuan, dalam berbagai acara, khususnya pada kegiatan-kegiatan sehari-hari yang bersifat informal, seperti pada acara arisan, ngafé, dan sejenisnya.

Yang menjadi sangat penting dalam proses merepresentasikan bahasa gay dalam kehidupan sehari-hari adalah lawan bicara. Tidak jarang banyak orang-orang yang bukan gay, lesbi, atau transgender yang ketika berbicara dengan seorang gay, lesbian, atau transgender, menggunakan bahasa gay tersebut. Penciptaan bahasa gay yang sangat bertentangan dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, menghalalkan varian bahasa ini tercipta dengan variasi yang sangat kaya dan tidak pasti. Penulis mencatat banyaknya kreasi bahasa gay dari beberapa orang yang berbeda, contohnya adalah kata “mati” yang bisa tervariasi menjadi “mathilda” dan “metong”, “perempuan” yang tervariasi menjadi “perempewi”, “perempewong”, dan “pere”, “laki-laki” bisa menjadi “lekes” dan “lekong”, dan lain sebagainya. Maka tidak mengherankan, apabila bahasa gay tidak (mungkin) “terstandarisasi” karena penggunaannya digunakan hanya dalam kondisi-kondisi yang “sangat tidak” formal, bahkan jauh dari kondisi-kondisi informal.

 

Catatan :Tulisan ini disarikan dari makalah yang dipresentasikan oleh penulis dalam Seminar Nasional Bahasa dalam Dimensi Kemasyarakatan dan Kebudayaan, diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 5 Desember 2012.

*Wisnu Adihartono adalah PhD kandidat bidang Sosiologi di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Marseille, Prancis. Wisnu memfokuskan studinya pada bidang sosiologi gender khususnya sosiologi gay, sosiologi keluarga, sosiologi migrasi, dan sosiologi urban.

 

Referensi

Boellstroff, Tom. 2004. ‘’Gay Language and Indonesia: Registering Belonging’’. Dalam Journal of Linguistic Anthropology, Vol. 14, Issue 2, hal. 248 – 268.

Hartman, R. R. K. dan Stork, F. C. 1972. Dictionary of Language and Linguistics. London: Applied Science Publisher Ltd.

Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics. New York: Longman.

Howard, Richard. 1996. “Falling into the Gay World: Manhood, Marriage, and Family in Indonesia”. Dalam Disertasi Ph.D, Departemen Antropologi, Universitas Illinois, Urbana-Champaign.

Ibhoed, Budi. 1999. ‘’Bahasa Gay Menjadi Bahasa Gaul’’. Dalam GAYa Nusantara, 60, hal. 29 – 30

Moscovici, S. 1973. “Foreword”. Dalam C. Herzlich: Healt and Illness, A Social Psychological Analysis. London: Academic Press, hal. Xiii.

___________. 1984. “The Phenomenon of Social Representations”. Dalam R. M. Farr dan S.

Moscovici (Eds.), Social Representations. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

___________. 1988. “Notes Towards a Description of Social Representations”. Dalam European

Journal of Social Psychology, 18, hal. 211 – 250.

___________. 2000. Social Representations. Explorations in Social Psychology. Cambridge, UK: Polity Press.

Oetomo, Dédé. 2001. ‘’Embrong…!!! Bahasa Binan: Main-Main Yang Melawan’’. Dalam Memberi Suara Pada Yang Bisu, hal. 61 – 71. Yogyakarta: Galang Press.

Remoto, Danton. “On Philippine Gay Lingo”. Dalam http://www.abscbnnews.com/storypage.aspx?StoryID=117223, diakses pada tanggal 7 November 2013.

Trudgill, P. 1974. The Social Differenciation of English in Norwich. Cambridge: Cambridge University Press.

_________. 2003. A Glossary of Sociolinguistic. Edinburg: Edinburg University Press.