Search
Close this search box.

Bule Hunter: Antara uang, seks, dan cinta

Suarakita.org- Rabu 10 September 2014 merupakan momen spesial bagi pemilik nama Elisabeth Oktofani, atau akrab disapa Fany memperkenalkan buku pertamanya yang berjudul “Bule Hunter – pemburu bule” kehadapan publik, setelah sebelumnya media seperti Jakarta Post dan Merdeka.com memberi sekilas gambaran tentang apa dan bagaimana isi buku tersebut. Fany sang penulis sendiri mengungkapkan betapa dia tidak menyadari bahwa bukunya akan menjadi kontroversi terutama bagi perempuan Indonesia yang mengalami cross-cultural relationship dengan pria ras kaukasoid.

Bertempat di Reading room Kemang, Fany dalam jumpa publik mengklarifikasi bahwa buku yang ia terbitkan bukanlah sebuah survey sebagaimana banyak anggapan miring di media sosial seperti Facebook. Buku tersebut menurut Fany berangkat dari pengalaman pribadinya saat kuliah dan bagaimana dia terjebak dalam sebuah stigma tentang istilah “pemburu bule”, dimana anggapan bahwa bule itu lebih kaya secara finansial, memiliki penis yang besar sehingga memuaskan pasangan, dan dianggap lebih romantis jika dibandingkan pria lokal. Jadi memiliki pasangan bule dilabeli “happily ever after”. Melalui bukunya Fany hendak menepis stigma tersebut. Acara yang dimoderatori oleh Hartoyo dari Suara Kita dan narasumber dari Jurnal Perempuan, Myra Diarsi sepakat bahwa buku yang ditulis oleh Fany berhasil mengetengahkan bahwa ada ketimpangan gender dalam hubungan antar bangsa tersebut.

Lukman, dari Rene Book selaku penerbit dari buku “Bule Hunter” yang hadir pada hari itu mengatakan bahwa keterlibatan mereka dalam mempublikasikan buku itu dikarenakan Fany memberi pandangan baru tentang pasangan bule. Perspektif yang ia gambarkan lugas dan terang-terangan. Fany sendiri mengaku menyelesaikan buku tersebut setelah 2 tahun melalui pertemuan dan wawancara dari banyak teman, mulai dari teman yang ia temui di jejaring sosial maupun di klub hiburan malam. Dari sana pula ia mendapat jawaban bahwa tidak semua perempuan Indonesia memiliki motivasi duit atau apa yang Fany sebut “Gold digger” ketika terlibat hubungan dengan lelaki ras kaukasoid, karena banyak pula dari mereka yang didasari atas cinta dan ternyata tidak sedikit yang justru tergelincir menjadi korban kekerasan seksual, atau terlibat perdagangan manusia (human trafficking).

Salah seorang pengunjung yang hadir di peluncuran buku tersebut juga mengkritisi apa yang telah ditulis oleh Fany bahwa menjadi bule hunter itu tidak sebatas perempuan yang bervagina saja, sebab orang yang termasuk bagian dari LGBT-pun sebenarnya memiliki tendensi yang hampir mirip karena dianggap bahwa pasangan ras Kaukasoid lebih bisa menerima keragaman orientasi seksual, identitas gender, dan keragaman ekspresi gender dibandingkan orang lokal, bahkan menikah sejenis-pun diakui oleh lembaga Negara dari ras Kaukasoid tersebut.

Myra Diarsi diakhir sesi acara menyimpulkan bahwa bule itu hanyalah casing atau bungkusnya saja, karena baik-buruknya itu sebenarnya tergantung dari personal, bukan karena anggapan bahwa lelaki ras Kaukasoid jauh lebih baik dan terhindar dari sifat predator. Menurut Myra, hal yang perlu dipertimbangkan adalah problematika yang dihadapi oleh pasangan beda bangsa itu tentang bagaimana mereka bisa berdamai dalam banyaknya perbedaan seperti beda hukum, pola pikir, gaya hidup, dan memaknai konsep kecantikan, sebagai contoh Myra menyebut bahwa perempuan Asia dianggap bermuka agraris sehingga dianggap lebih menarik oleh laki-laki Kaukasoid.

Jabaran Myra diamini oleh sang moderator, Hartoyo dengan menambahkan bahwa apa yang disampaikan oleh penulis dalam bukunya sebagai bukti tentang betapa kuatnya stigma relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Dan kompetensi tersebut kiranya bisa diulas oleh penulis secara lebih detail dibuku selanjutnya, sebagaimana Myra menyebut sang penulis punya dosa besar jika tidak membuat lanjutan dari buku tersebut.(Jane Maryam)