Suarakita.org- Gay atau homoseks adalah seseorang yang tingkah laku atau orientasi seksualnya tertarik kepada orang yang berjenis kelamin sama – dalam hal ini lelaki. Orientasi seksual dan daya tarik eksklusif terhadap jenis kelamin yang sama. Dari aspek lain, orientasi seks dibedakan dalam hal:
-Secara biologis (berdasarkan anatomi, fisiologi, kondisi genetik yang menunjukan seseorang itu perempuan atau lelaki),
-Identitas gender (perasaan secara psikologis sebagai perempuan atau lelaki), dan
-Norma sosial gender (terkait dengan norma kultur yang mendefinisikan perilaku perempuam atau lelaki).
Secara etimologi kata “homoseksual” berasal dari Yunani dan Latin. Homo dalam bahasa Latin berarti “lelaki” dan dalam bahasa Yunani berarti “sama”, sehingga pengertiannya adalah aktifitas dan ketertarikan seks yang terjadi diantara mereka yang jenis kelaminnya sama. Kata “gay” umumnya digunakan pada homoseks lelaki, tetapi kata ini lebih sering digunakan secara lebih luas terutama di media yang menggambarkan homoseksual secara umum. Sedangkan kata “Lesbian” selalu berarti homoseks perempuan. “Homosexual” merupakan kata sifat karena menggambarkan perilaku, orientasi dan hubungan antar orang. Sekarang kata tersebut dijadikan kata benda termasuk kata gay dan lesbian. Akhir-akhir ini kelompok ini lebih sering menggunakan inisial yaitu GLBT (G = gay, L = lesbian, B = biseks, T = transgender).
Sepanjang abad 20, di kawasan barat homoseks menjadi topik penting untuk diteliti dan seringkali menimbulkan perdebatan, terutama dimulai tahun 1969 dimana muncul gerakan-gerakan dari kelompok gay. Dalam beberapa dekade terakhir ini, meskipun tetap terjadi aktifitas represif seperti perdebatan yang hangat ditingkat politik maupun pandangan agama, nampaknya telah berkembang kondisi-kondisi yang menunjukan penerimaan terhadap kelompok ini. Misalnya di beberapa negara barat telah disetujui “legal rights for homosexual” yang mengakomodasi perkawinan, berserikat dan akses dibidang pelayanan kesehatan.
Masyarakat menyikapi hubungan seks sesama ini beraneka ragam, sesuai perkembangan waktu dan kawasan dimana masalah ini muncul kepermukaan. Mulai dari yang mengharapkan kondisi ini bisa diterima, sampai pada penilaian itu sebagai suatu dosa, atau upaya melalui penerapan hukum dan mekanisme pengadilan, bahkan mengharamkan dengan penalti kematian.
Beberapa negara tidak menghalangi adanya kompromi untuk mengakomodasi orientasi seks ini. Hak-hak hukum yang mengatur pengakuan identitas, perlindungan dan kekhususan tentang struktur pasangan sesama seks mulai berlaku termasuk perkawinan. Disisi lain tetap ada negara yang secara tegas menetapkan bahwa semua individu harus menerapkan kondisi hubungan heteroseks, dan homoseks adalah aktifitas terlarang. Di Iran dan Nigeria pelanggaran atas penganut orientasi seks sesama dapat di hukum mati.
Legenda homoseks
Dikalangan prajurit dibeberapa suku Afrika, biasanya “memelihara” remaja lelaki berumur 12 -20 tahun disamping sudah memiliki istri, remaja ini pun untuk sewaktu-waktu dapat diajak sebagai pasangan seks. Sementara, diantara penduduk asli Amerika – sebelum masuknya orang-orang Eropa, dikenal hubungan seks sesama didasarkan adanya kepercayaan yang disebut “Two-Spirit individual”.
Sedemikian rupa, orang tua menerapkan kepercayaan ini kepada anak-anak sejak mereka masih kecil, sehingga anak tersebut akan menerimanya sebagai suatu yang harus dijalaninya dan belajar menyesuaikan diri dengan jenis kelamin yang telah ditetapkan. Kepercayaan ini ditetapkan oleh para dukun untuk anggota sukunya. Kehidupan seksualnya diabadikan untuk anggota sukunya karena diyakini mampu meningkatkan kemampuan fisik.
Di China homoseks dikenal dengan nama “duanbei” dan di Thailand “kathoey”. Pada zaman Romawi pun para kaisar umumnya memiliki teman lelaki untuk berkencan. Sejak era “Renaissance” seiring perkembangan kota di Italia seperti Florence dab Venice, maka praktek hubungan seks sesama makin berkembang. Antara tahun 1864 – 1880 Karl Heinrich Ulrichs mempublikasikan beberapa seri risalah tentang “Manly Love”. Pada 1867 dia mendorong para homoseks untuk secara terbuka mau dan berjuang di parlemen Jerman untuk mencabut perundang-undangan yang melarang homoseks.
Kriminalitas
Di Amerika, FBI pada tahun 2004 melaporkan bahwa 15.6% kasus “hate criminal” disebabkan karena masalah orientasi seks. Dan 61% dari kasus ini terjadi pada pria gay. Pembunuhan terhadap Matthew Shepard, seorang gay pada tahun 1998 merupakan salah satu peristiwa yang menggegerkan Amerika.
Istilah “Coming Out”
Coming Out terdiri dari 3 (tiga) fase. Pada fase pertama atau “internal coming out”, terjadi proses pemahaman diri sendiri dan memutuskan untuk membuka hubungan dengan sesama jenis. Fase kedua terjadi penyampaian keputusannya itu kepihak lain; misalnya keluarga, teman, dan kolega lainnya. Biasanya ini terjadi sekitar usia 11 tahun, tetapi ada juga yang tidak pernah mengklarifikasi orientasi seks sampai usia sekitar 40 tahun. Di fase ketiga mereka sudah lebih terbuka sebagai seorang GLBT.
Di Amerika umumnya mereka mengalami “coming out” saat duduk di sekolah setingkat SMA atau perguruan tinggi. Di usia ini mereka tidak mempercayai atau mengharapkan pertolongan orang lain, yang dimana orientasinya tidak diterima oleh masyarakat sekitarnya. Tidak jarang orang tuanya sendiri tidak diberitahu.
Peran orang tua
Banyak GLBT menjadi orang tua melalui cara adopsi anak, donor inseminasi, hubungan dengan istri sebelumnya atau hidup bersama selaku suami istri dalam perkawinan “mixed orientation”. Meskipun kenyataannya sebagian anak-anak tidak mengetahui kalau orang tua mereka adalah GLBT.
Sensus di Amerika tahun 2000 mencatat 22% pria penyuka sesama jenis yang hidup sebagai pasangan rumah tangga, memiliki paling tidak satu orang anak dibawah usia 18 tahun. Di Amerika GLBT diperbolehkan mengadopsi anak diseluruh negara bagian kecuali Florida. Penelitian American Psychological Association menyatakan bahwa “tidak ada bukti ilmiah yang menunjukan bahwa efektifitas sebagai orang tua untuk mengasuh anak dengan orientasi seksual orang tuanya’.
Stigma, prasangka buruk dan perlakuan deskriminasi dari masyarakat menyebabkan umumnya gangguan kejiwaan yang lebih tinggi dibanding kelompok heteroseksual. Ada indikasi terjadi penurunan resiko gangguan kejiwaan ini pada GLBT muda seiring dengan liberalisasi kondisi-kondisi yang mereka harapkan.
Transgender
Transgender merupakan terminasi umum yang digunakan untuk individu atau kelompok yang mempunyai kecenderungan memahami secara berbeda dengan jenis kelamin (perempuan atau lelaki) yang dimilikinya. Dapat pula diartikan sebagai seseorang yang identitas jenis kelaminnya (mengidentifikasi sendiri sebagai perempuan atau lelaki) berbeda dengan kenyataan jenis kelamin yang sebenarnya (identifikasi oleh orang lain sebagai perempuan atau lelaki berdasarkan kenyataan fisiknya atau genetik seksnya). Satu hal yang haruslah Anda ketahui, bahwa transgender bukan merupakan salah satu bentuk kelainan orientasi seksual, karena mereka bisa teridentifikasi sebagai heteroseksual, homoseksual, biseksual bahkan aseksual.
Istilah transgender mulai muncul ditahun 1960 dan mulai populer pada 1970-an, yang diartikan sebagai seseorang yang menginginkan hidup dengan jenis kelamin yang berbeda tanpa tindakan operasi. Pada tahun 1980 pengertiannya meluas, dimana diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tampil dengan kondisi yang berbeda dengan jenis kelaminnya. Pengertian istilah ini terus berkembang, dan tahun 1990-an istilah ini mulai merambah dunia politik dimana terjadi aliansi oleh mereka yang merasa tidak nyaman dengan norma-norma jenis kelamin, dan memperjuangkan persamaan hak dan perundang-undangan anti-diskriminasi yang dilakukan terutama melalui media, dunia akademik dan hukum.
Identitas Transgender
Ketika seseorang teridentifikasi sebagai transgender, maka identitas transgendernya dapat digolongkan dalam beberapa kelompok seperti transsexual (TS), cross-dresser (CD), dll. Umumnya orang dengan transsexual (TS) memiliki keinginan kuat untuk merubah kondisi fisik badannya, melalui tindakan operasi dan terapi hormon. Mereka yang telah mengalami perubahan ingin diidentifikasi sebagai perempuan atau lelaki.
Cross-dresser (CD), umunya mereka menyadari bahwa mereka teridentifikasi dalam salah satu jenis kelamin sesuai saat dilahirkan, tetapi dalam berbusana mereka sering menggunakan pakaian dari jenis kelamin yang berlawanan. Tidak termasuk disini mereka yang memakai pakaian dari jenis kelamin berbeda untuk maksud tertentu, misalnya penyamaran, sebagai mata pencaharian, aktor,dll. Cross-dresser tidak ingin diidentifikasikan mengikuti tingkah laku jenis kelamin yang berlawanan. Umumnya mereka tidak menginginkan perubahan tubuhnya secara medis, dan mayoritas mereka adalah heteroseksual.
Kesehatan jiwa & fisik
Terapi awal dianjurkan kepada mereka yang frustasi berkaitan dengan jenis kelaminnya, terutama bagi yang menginginkan dilakukan perubahan. Rata-rata mereka merasakan adanya konflik dengan tubuhnya sehubungan dengan jenis kelamin. Untuk mendiagnosa “Gender Identity Disorder” (GID) – dimana seorang transgender mengalami penderitaan tentang kondisinya, bermanifestasi tidak mampu bekerja, serta gangguan hubungan kerja dengan pihak lain, merupakan hal yang tidak mudah. Isu transgender merupakan hal yang tidak mudah. Isu teransgender merupakan hal baru, sehingga pengetahuan dan studi tentang kondisi kesehatan jiwanya relatif masih terbatas. Disisi lain transgender yang merasa tidak menimbulkan frustasi ataupun gangguan fungsional, biasanya tidak mudah mengalami gangguan mental.
Tindakan medis dan prosedur pembedahan diperlukan untuk transeksual dan beberapa transgender. Sulih hormon untuk “transmen” diperlukan untuk merangsang pertumbuhan kumis, jenggot, maskulinisasi kulit, suara dll. Untuk “transwomen” prosesnya dikenal dengan sebutan feminisasi; seperti pertumbuhan payudara, dsb. Prosedur hukumpun diperlukan dalam hal merubah jenis kelamin, serta nama yang merefleksi kan identitasnya. Untuk itu diperlukan keterangan dari dokter tentang adanya proses transisi ini.
Sumber: reps-id.com