Search
Close this search box.

Liputan Diskusi: Dewi Chandraningrum dan Kritik terhadap Jurgen Habermas

Suarakita.org- Kali ini Suara Kita menggelar sebuah diskusi yang tidak kalah menarik dari diskusi-diskusi sebelumnya. Di tanggal 23 Agustus 2014. Diskusi menarik ini mengangkat sebuah topik mengenai kritik terhadap seorang tokoh filosofis dan sosiologis ternama, Jurgen Habermas.

Diskusi yang dimulai pukul 15.00 WIB ini diisi oleh Dr. Phil. Dewi Chandraningrum yang sebelumnya pernah menjadi pengisi diskusi dengan tema jilbab dan tubuh sosial. Diskusi ini di moderator oleh Jane Maryam yang semangat membuka diskusi dengan pernyataan-pernyataan yang ia kutip dari buku yang mengkritik modernitas Habermas.

Diskusi yang dihadiri oleh lebih dari 20 orang ini membawa pendapat Habermas tentang moderenitas ke dalam buah pikir seorang Dewi Chandraningrum. Kritik Dewi terhadap pendapat Habermas berfokus pada keberadaan suara-suara liyan yang terabaikan dalam teori Habermas.

Dewi Chandraningrum memberikan gambaran mengenai inti pemikiran Habermas mengenai idealisme di ruang publik. Namun, inti pemikiran ini tidak banyak berbicara mengenai gender, mengenyampingkan keberadaan orang yang dianggap liar (kelompok LGBT) dan perempuan. Keberadaan kelompok liyan (LGBT dan perempuan) yang diabaikan dalam pandangan Habermas membuat Dewi Chandraningrum menyandingkan kata mannequin untuk menggambarkan kelompok tersebut. Penjelasan Dewi Chandraningrum tentang Habermas menjadi kontradiktif dengan pernyataannya tentang Arendt (seorang tokoh yang mengkritik modernitas Habermas). Dewi Chandraningrum sangat mengagumi pernyataan-pernyataan Arendt yang ia rasa penuh dengan keindahan.

Selama diskusi berjalan Dewi Chandraningrum banyak memberikan poin-poin yang sangat membuka pikiran semua peserta diskusi. Sesi tanya jawab yang dihidupkan oleh Hartoyo, Jane Maryam dan Ricky dari Suara Kita membawa diskusi ke dalam masa perenungan akan terpengaruhnya kita dengan modernitas dan nilai-nilai universal. Padahal di dalam modernitas dan nilai universal tersebut keadilan dipertanyakan. Dewi juga menyatakan bahwa modernitas membawa kelompok LGBT menjadi kelompok yang seringakali dianggap humor saat ikut serta dalam dinamika demokrasi. Begitu juga kelompok perempuan, setiap kelompok ini masuk ke dalam ruang publik dan memvokalkan pendapat, maka pernyataan perempuan dianggap suatu bentuk kemanjaan.

Di akhir-akhir sesi diskusi, Dewi Chandraningrum sering menekankan mengenai istilah “kewaspadaan abadi” yang lahir dari buah pikirnya mengenai kritik terhadap moderenitas dan terhadap Habermas itu sendiri. Diskusi yang juga mengetuk sensitivitas hati peserta diskusi ini membuat para penanya menyatakan rasa harunya atas ketidakadilan dan absennya nalar manusia dalam peradaban ini. (Fira*)

*Fira, mahasiswi Universitas Indonesia yang sedang magang di Suara Kita