Oleh : Wisesa Wirayuda
Suarakita.org- Allahuakbar…Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku di subuh hari. Ku angkat kedua telapak tanganku setara dengan kupingku. Kupingku yang terus berdenging sejak kemarin. Kemudian aku lipat kedua tanganku di antara dada dan perutku.
Allahuakbar…
Aku condongkan tubuhku ke depan, dengan kedua tanganku sebagai tumpuan yang kokoh seperti penyangga bangunan. Kuletakan kedua tanganku di lutut. Sedikit bergetar karena dingin.
Samiallahulimanhamidah…
Kutarik lagi tubuhku untuk berdiri tegak. Pandanganku fokus kepada gambar kabah yang berwarna merah. Entah kenapa berwarna merah.
Allahuakbar…
Turunlah seluruh tubuhku, turun menyembah, aku bersujud. Terngiang perkataan guru agamaku sewaktu SMA. Berdoalah kamu ketika bersujud. Maka pada saat itu juga aku berdoa. Ya Allah, sayangilah keluargaku melebihi rasa sayangku kepada mereka. Ya Allah, lancarkanlah urusan mereka dan janganlah kau persulit suatu apapun.
Allahuakbar…
Aku duduk bersimpuh, tak lebih.
Allahuakbar…
Kembali aku bersujud, dan lagi aku berdoa. Doa yang sangat singkat. Ya Allah, kuatkanlah keluargaku.
Allahuakbar…
Aku kembali duduk bersimpuh, kepalaku sedikit miring ke kanan.
Assalamualaikum… Assalamualaikum…
Satu
Aku terdiam sejenak, mendapati diriku sendirian di kesunyian. Ibuku dan ayahku mungkin sudah terlelap, aku tidak tahu. Adikku sudah tertidur.
Kemudian aku lipat sajadah dengan gambar kabah merah itu. Aku lipat dan kutaruh di atas kursi. Aku keluar dari kamar, hanya melihat betapa sunyinya rumah ini, aku jalan berlalu lalang tanpa tujuan apapun. Aku kebingungan.
Bagaimana jika ini, bagaimana jika itu. Kepalaku tidak pernah akur dengan sendirinya.
Aku berniat akan mengambil handphoneku, yang pemberian seseorang, namun aku urungkan niat. “itu bukan milikku” pikirku.
Jadi, aku memakai apapun yang “milikku”. Baju, celana jaket tebal pemberian Ibu, dan sandal bekas Ayah. Segalanya sudah kupersiapkan. Bahkan batinku pun sudah kupersiapkan.
Aku kembali ke kamarku, setidaknya bekas kamarku, dulu zaman SMA. Aku tidak tahu apakah ini masih kamarku atau bukan. Secara fisik ini kamarku, namun entah kenapa rasanya seperti penjara.
Sekarang aku sudah siap. Siap untuk pergi.
Kubuka jendela kamar lebar-lebar, aku melompat melewatinya.
Kemudian berbisik, “Bismillah, Assalamualaikum, mah, yah, dik”.
Dua
Pikiranku mulai berputar-putar, berfikir, haruskah aku kembali atau terus berjalan. Kupandangi langit yang masih gelap. Ternyata bulan sedang penuh. Memang tidak ada makna khusus untuk itu, hanya saja, pada akhirnya, aku tidak merasa sendirian.
Aku terus berjalan dan terus berjalan, sampai akhirnya sebuah kendaraan umum yang sedang berhenti dipinggir jalan kunaiki. Kuikuti kemanapun rute mobil ini pergi. Kusaksikan kehidupan pasar, keramaian kota yang belum ramai, dan angin dingin yang menembus jaket tebal dari Ibu ini.
Sebagian diriku merasa seharusnya aku turun dari mobil ini, namun sebagian diriku yang lain membuatku menempel membuatku tidak bisa bergerak. Aku sudah tidak memikirkan apa-apa lagi. Bahkan aku tidak menangis. Karena kata kakakku air mataku hanyalah air mata buaya. Aku tidak menyalahkannya, sama sekali.
Sebagian kepalaku memikirkan mengapa aku disini, alasan aku disini, sebagian lagi menolak untuk membahasnya. Jadi aku hanya diam. Mengikuti laju mobil yang membawaku.
Tiga
Sekitar empat kali aku berganti kendaraan, di mobil keempat inilah aku baru menetapkan tujuanku. Kuputuskan untuk pergi ke tempat temanku, mungkin disana aku bisa tidur, walau sebentar.
Kuketuk kamarnya, dan dia yang terbangun dari tidurnya langsung membukakan pintunya, dan terkejut. Akupun masuk ke kamarnya, duduk di atas karpet, dan membenamkan wajahku di kedua telapak tanganku.
Temanku itu memintaku menceritakan apa yang terjadi, namun aku menolak. Aku hanya melamun beberapa menit, sampai akhirnya aku siap. Akupun menceritakan semuanya kepadanya
Empat
Semua berawal dari bulan purnama yang pertama. Waktu itu aku berada di rumah bibiku, entah mengapa aku merasa aku perlu memberi tahukan keluargaku tentang diriku. Tentang diriku yang sudah kusembunyikan sejak lahir. Aku menelepon kedua orang tua kandungku, dan dengan cepat aku katakan pada mereka “Aku Gay”, dan otomatis mereka terkejut, sangat.
Papaku hanya berdiam diri, dan dia berpesan “jaga dirimu baik-baik, jaga pergaulan, jangan mabuk-mabukan, jangan menkonsumsi narkoba”, dan lain-lain. Pada saat itu aku berfikir, papa menerimaku, atau lebih tepatnya dia tidak peduli apa aku ini selama aku menjaga diriku.
Berbeda dengan Ibu, dia marah, kesal, dia menyuruhku pulang agar dia bisa memberiku pelajaran, entah pelajaran apa yang ia maksud itu.
Beberapa malam setelah malam itu, keadaan semakin memburuk. Ayah tiriku, kakakku, dan adik-adikku mengetahui keadaanku. Padahal aku tidak memberi tahukan mereka. Kakakku marah sekali waktu itu, dan kami berdebat panjang melalui pesan singkat. Sampai kemudian suatu hari aku ‘berdiskusi’ bersama Ibu dan kakakku. Aku diminta mereka untuk ‘sembuh’, dan aku menyetujuinya meskipun aku tahu aku tiak akan bisa melakukannya.
Hari-hari berikutnya aku menjalani kehidupanku dengan berpura-pura ‘normal’, entah sampai kapan akan begitu.
Sampai pada suatu hari aku memutuskan untuk kembali membuka klosetku, aku memutuskan untuk berbagi cerita ini ke sebuah website yang khusus menampung cerita seperti ini, dan mereka dengan senang hati menerbitkan kisahku. Awalnya aku merasa bangga, namun aku cemas jika ada yang membacanya. Namun aku tidak lagi peduli.
Sampailah pada suatu hari,seorang mahasiswa, menghubungiku untuk meminta kesediaanku untuk menjadi teman curhatnya. Dengan alasan menolong, aku mempersilahkan, dan kemudian dia menceritakan kisahnya, kisah yang bisa dibilang lebih kompleks dari kisahku yang terdengar cengeng.
Semakin hari, kami semakin sering berhubungan lewat chating, BBM, Twitter dan SMS, tak lebih. Dan aku merasakan ada sesuatu yang berbeda padanya, kami tidak pernah membahas tentang situs porno mana yang bagus, kami tidak pernah bercerita tentang hal-hal seperti itu. Kami lebih senang membicarakan hal-hal kolot seperti politik, Hak Asasi Manusia, Seni, dan hal-hal lainnya. Dia begitu positif, dia tidak pernah berpacaran sebelumnya (dengan laki-laki, red.).
Hari demi hari, minggu demi minggu, kami semakin dekat. singkat cerita, kami akhirnya memutuskan untuk berpacaran. Namun butuh waktu setidaknya dua minggu bagi kami untuk benar-benar percaya bahwa kami sedang berada dalam sebuah ikatan hubungan. Bahkan kami belum pernah bertemu sekalipun. Kami baru bertemu kira-kira setelah hubungan kami berjalan selama 2 bulan.
Semuanya berjalan lancar, aku berhasil berpacaran dalam kondisi seperti itu, kami tidak menemukan kendala yang berarti, sampai akhirnya kami harus berpisah kembali. Dan kami kembali melakukan hubungan secara LDR.
Lima
Kemudian sampailah aku pada bulan purnama kedua. Pada suatu malam kakakku membangunkanku pukul sebelas malam.
Aku dibangunkan dengan alasan Ibuku yang berada di Sumedang, memanggilku.
Aku hanya bisa menurut saja.
Begitu aku sampai di rumah Ibu, Ibu langsung menagih janjiku, janjiku untuk menjadi ‘Normal’, janji yang sejak awal aku sudah yakin tidak bisa kuwujudkan.
Kakakku tidak tahan emosi, kemudian dia menamparku, diikuti oleh Ibu. Ayah tiriku hanya menahan Ibuku agar tidak menampar lagi, namun dia kalah, dan Ibu kembali menamparku lagi. Kemudian kakakku meminta password iPad yang kuperoleh dari seseorang juga, dan aku katakan “2701”, dia bertanya apa maksud dari deretan angka itu, dan tanpa pikir panjang, aku katakan itu adalah tanggal kelahiran pacarku, kemudian kakakku menendang kepalaku dari bawah, tepat dirahang, dan membuat bibirku tergigit oleh gigiku sendiri.
Aku diberi pilihan terakhir, aku bisa tinggal di rumah dan harus ‘sembuh’, atau aku bisa tetap menjadi Gay dan pergi meninggalkan rumah dengan telanjang. Dan tentu aku memilih untuk tetap tinggal di rumah, bukan karena aku tidak mau telanjang, hanya saja, anak mana yang bisa dengan mudahnya meninggalkan rumah, meninggalkan keluarganya ?.
Kejadian mencekam ini terus berlangsung sampai pukul dua pagi, dua jam menjelang sahur.
Aku sangat lelah, aku ingin hari ini cepat berlalu.
Dan sampai akhirnya, aku diminta untuk tidur, dengan bibir yang berdarah, kuping yang berdenging, mata yang buram. Aku tidak memikirkan apa-apa lagi selain tidur, handphone ku dirampas, dan komunikasi dengan pacarku pun terhenti. Jadi, aku menurut pada kakak dan Ibuku untuk tidur. Sampai aku dibangunkan kembali untuk sahur.
Keesokan paginya, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku hanya mengahabiskan waktu di tempat tidur, aku tidak mau bertatap muka dengan orang-orang, bahkan aku sudah membayangkan bagaimana rasanya cairan pembersih lantai jika ada di mulutku, sakitkah jika aku menyayat tanganku, dan bagaimana jika aku menggantung diriku.
Kemudian, Ibu bilang bahwa aku akan dimasukan ke pesantren, dan itu berarti aku harus mengubur impianku untuk menjadi komposer sehebat Erwin Gutawa atau David Foster. Berarti, aku tidak akan bisa mengejar mimpiku itu, mimpi yang sudah kuimpikan sejak lama. Dan Ibu juga mengatakan bahwa aku akan dihipnotis untuk ‘sembuh’. Aku mulai merasakan ada yang salah, apa yang Ibu dan kakakku lakukan adalah salah. Jika Gay adalah genetik, itu berarti sama halnya dengan warna kulit, warna rambut, dan sebagainya. Dan hipnotis tidak akan bisa merubahnya.
Jadi, keesokan harinya aku berniat untuk pergi dari rumah.
Enam
Itulah yang kuceritakan kepada temanku itu. Dia hanya mencoba menenangkanku, menyuruhku untuk istirahat.
Yang kubutuhkan hanyalah istirahat.