Suarakita.org-Penularan HIV dan AIDS masih menjadi persoalan besar di Indonesia. Menurut perkiraan Kementerian Kesehatan di Indonesia pada tahun 2009, jumlah orang yang terinfeksi HIV berkisar 314.500 orang dengan rata-rata usia 15-49 tahun. Jika tidak ditangani secara serius maka diperkirakan pada tahun 2014 jumlah ini dapat mencapai 813.720 orang. Dengan demikian, menurut laporan UNAIDS tahun 2008, Indonesia menjadi salah satu negara di Asia dengan penularan yang paling cepat.
Persoalan HIV dan AIDS ini menjadi salah satu target Millenium Development Goals (MDGs) 2015 yang sulit dicapai oleh Indonesia selain persoalan kematian ibu/anak dan lingkungan hidup. Hal ini disampaikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono dalam rapat koordinasi tingkat menteri di Tampaksiring, Bali pada bulan April 2010. Hal ini kemudian dipertegas kembali oleh Wakil Presiden Boediono pada pertemuan tingkat Menteri se-Asia Pasifik di Jakarta pada 3-4 Agustus 2010. Walau sebenarnya capaian target MDGs tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, persoalan HIV dan AIDS sangat berkaitan dengan tingkat kemiskinan, rendahnya pendidikan, keadilan gender, persoalan lingkungan dan juga kemitraan global yang tidak adil.
Saat ini sedang berlangsung Pertemuan Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membahas kemajuan pencapaian target MDGs di New York, 20-22 September 2010. HIV dan AIDS menjadi salah isu yang akan dibahas dalam pertemuan tersebut. Pertemuan ini dihadiri sekitar 150 kepala negara, dan Indonesia diwakili oleh Kepala Bappenas Armida Alisjahbana.
Untuk penanggulangan HIV dan AIDS, Pemerintah Indonesia telah membuat satu kebijakan Peraturan Presiden (PerPres) No.75 Tahun 2006 tentang Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN). Komisi ini salah satu tujuannya adalah untuk mendorong berbagai Kementerian untuk berkomitmen bersama dalam upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Namun sayangnya sistem koordinasi antar-Kementerian sebagai anggota KPAN masih sangat lemah. Dari 21 Kementerian dan Badan yang menjadi anggota KPAN, hanya sekitar 12 Kementerian/Badan yang mengalokasikan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk HIV dan AIDS. Dalam laporan pemerintah Indonesia untuk United Nation General Assembly Special Session (Ungass) On Aids, disebutkan bahwa total anggaran HIV dan AIDS tahun 2008 yang berasal APBN berkisar 39,03 % (Rp 178.572.978.000) dari total Rp 457.479.945.000. Dengan demikian, 60,97 % (Rp 278.907.147.000) dana HIV dan AIDS berasal dari sumber dana asing. Tak heran jika ada anggapan bahwa urusan HIV dan AIDS menjadi urusan asing bukan menjadi urusan pemerintah Indonesia.
Anggota KPAN selain dari pihak pemerintah juga diwakili dari beberapa organisasi masyarakat sipil seperti kelompok pekerja seks, Waria, Laki-Laki Seks Laki-laki (termasuk gay, biseksual di dalamnya), Orang Hidup Dengan AIDS (ODHA) dan pecandu/mantan pecandu. Dalam Strategi Nasional (Stranas) KPAN, kelompok-kelompok ini sangat strategis untuk menghentikan laju penularan HIV dan AIDS sehingga dalam mandat PerPres No 75 Tahun 2006, setiap anggota KPAN harus saling berkerja sama. Tetapi apakah proses kerja sama dan koordinasi antar anggota KPAN sudah terjadi selama ini?
Peraturan Presiden tentang HIV dan AIDS hanya sebatas peraturan belaka. Ini dapat dibuktikan dengan “resistensi” sebagian anggota KPAN khusus pihak pemerintah yang enggan bekerja sama dengan kelompok waria, gay dan pekerja sebagai mitra kerja dalam penanggulangan HIV dan AIDS. Bahkan lebih cenderung membenci/mengkriminalkan kelompok pekerja seks, waria dan gay dalam bentuk kebijakan. Menurut laporan pemantauan Komnas Perempuan tahun 2008 di 16 Kabupaten dan 7 Propinsi minimal terdapat 37 peraturan daerah (Perda) pemberantasan prostitusi. Enam di antaranya mengkriminalkan kelompok waria dan gay sebagai kategori Pelacur. Misalnya, Perda Kota Palembang No. 2 Tahun 2004 Tentang Pemberantasan Pelacuran pasal 8 ayat 1 dan 2, menyebutkan :
(1) Pelacuran adalah perbuatan yang dilakukan setiap orang dan atau sekelompok orang dengan sadar, bertujuan mencari kepuasan syahwat di luar ikatan pernikahan yang sah dengan atau tanpa menerima imbalan, baik berupa uang maupun bentuk lainnya. (2) Termasuk dalam perbuatan pelacuran adalah: a. homoseks; b. lesbian; c. sodomi; d. pelecehan seksual dan; e. perbuatan porno lainnya; Pelakunya diberikan sanksi kurungan masimal enam bulan dan membayar denda lima juta rupiah. Padahal homoseksual tidak selalu berkaitan dengan praktik pelacuran sama dengan heteroseksual.
Selain itu, masih ada lagi kebijakan lainnya seperti Perda Kota Bukitinggi No. 9 Tahun 2000 Tentang Penertiban Dan Penindakan Penyakit Masyarakat, Perda Kota Medan No. 6 Tahun 2003 Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemis serta Praktek Asusila di Kota Medan, Peraturan Daerah Kabupaten Sawalunto/Sijunjung No. 19 Tahun 2006 Tentang Pencegahan Dan Penanggulangan Maksiat, Peraturan Propinsi Sumatera Barat No. 11 Tahun 2001 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Maksiat serta Perda No.4 Propinsi Sumsel Tentang Pelacuran. Semua kebijakan itu meyamakan kelompok waria dan gay sebagai pelacur sehingga layak dikriminalkan.
Padahal menurut dr.H.R Agung Laksono selaku ketua KPAN menyatakan Rencana Aksi Nasional penanggulangan HIV dan AIDS sudah komprehensif dan sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Bagaimana mungkin ini sejalan kalau masih ada kebijakan yang mengkriminalkan kelompok Waria dan Gay? Di sisi lain, kelompok ini (pekerja seks, gay dan waria) selalu “dijual” pemerintah untuk mendapatkan triliunan rupiah dari bantuan asing untuk penanggulangan HIV dan AIDS. Sungguh Ironis!
Di samping itu, kelompok waria dan gay juga kehilangan hak untuk berkumpul dan berorganisasi. Misalnya pembubaran Konferensi Internasional kelompok waria dan gay di Surabaya Maret 2010, pembubaran pelatihan HAM untuk Waria April 2010 di Depok. Kemudian ditambah lagi pernyataan Menteri Agama RI Surya Darma Ali yang memberikan pernyataan “miring” bahwa kegiatan konferensi waria dan gay di Surabaya merupakan tindakan melawan hukum, karena dianggap penodaan agama. Padahal Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri merupakan bagian dari keanggotaan KPAN yang seharusnya melaksanakan PerPres tentang penanggulangan HIV dan AIDS. Apakah ini sebagai bentuk pembangkangan seorang menteri sebagai pembantu Presiden?
Jika pemerintah serius ingin menghentikan laju penularan HIV dan AIDS di Indonesia dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka yang harus dilakukan:
Pertama, membuat kebijakan khusus untuk melindungi kelompok pekerja seks, waria dan gay. Perlindungan dan pengakuan keberadaan kelompok ini sangat penting untuk menjamin hak setiap warga negara tanpa terkecuali. Suatu yang mustahil jika akan melibatkan pekerja seks, waria dan gay pada program penanggulangan HIV dan AIDS tetapi mereka tidak diakui identitasnya. Kekerasan dan stigma terhadap kelompok ini jelas menghambat upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Akibatnya, kelompok ini tidak akan terbuka karena ketakutan akan stigma dan diskriminasi.
Kedua, Pemerintah segera membatalkan semua Perda atau kebijakan yang mengkriminalkan kelompok pekerja seks, waria dan gay di Indonesia. Kebijakan inilah yang digunakan oleh pemerintah melalui Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk menangkap para pekerja seks, gay dan waria yang berada di jalanan. Kementerian Dalam Negeri melalui wewenangnya harus melakukan pembatalan semua Perda prostitusi sebagai upaya menempatkan kelompok pekerja seks dan waria sebagai korban dari sistem ekonomi dan politik yang tidak adil. Selain itu, dibuat aturan yang jelas tentang pengaturan lokalisasi bagi pekerja seks. Dengan demikian, akan memudahkan akses kesehatan, seperti akses kondom dan pelayanan kesehatan lainya bagi pekerja seks.
Ini bukan persoalan moral semata, ini merupakan persoalan hak kesehatan warga negara. Siapa pun bisa terinfeksi oleh virus HIV dan AIDS. Hasil survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan tahun 2007 ada 30% laki-laki dewasa mengaku melakukan hubungan seks dalam setahun minimal lebih dari 2 orang (baik dengan perempuan maupun laki-laki). Menurut data Surveilans Terpadu Biologis Perilaku(STBP) 2007 ada 60% dari 1.149.270 laki-laki dewasa pernah melakukan hubungan seks dengan laki-laki. Sedangkan saat bersamaan laki-laki tersebut sedang dalam pernikahan atau memiliki pasangan tetap perempuan. Ironisnya, dari jumlah itu hanya sekitar 32% yang konsisten menggunakan kondom dengan pasangan tetapnya (perempuan) sehingga ibu rumah tangga yang katanya perempuan “baik-baik” menjadi sangat rawan terinfeksi virus HIV.
Hasil penelitian UNAIDS tahun 2009 di Thailand, Srilanka, Filipina, Pakistan, Nepal, Malaysia, Indonesia, India, Kamboja dan Bangladesh menunjukan sekitar 43% infeksi HIV baru terjadi di kalangan perempuan yang menikah. Umumnya mereka tertular dari suami atau pasangannya yang melakukan hubungan seks berisiko (tanpa menggunakan kondom) dengan pihak lain, baik pekerja seks, waria maupun gay. Pada tahun 2008 sekitar 50 juta perempuan di Asia berisiko HIV dari pasangan intimnya (laki-laki).
Apabila persoalan ini tidak dilihat secara luas berdasarkan hak asasi manusia, prediksi medis bahwa akan ada 1.000.000 juta penduduk Indonesia terinfeksi HIV tahun 2015 sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu, apabila pemerintah tetap mengkriminalkan kelompok pekerja seks, waria dan gay maka akan semakin sulit menghentikan laju penularan virus HIV. Inilah “Dosa Besar Pemerintah Untuk Pencapaian MDGs”.
Penulis: Hartoyo, Sekretaris Umum Ourvoice dan Anggota Jaringan LSM Untuk Pencapaian MDGs
Tulisan ini telah diterbitkan versi bahasa Inggris di thejakartaglobe.com,7 Oktober 2010