JAKARTA, KOMPAS.com — Ada tapi kerap terlupakan, mungkin itu menjadi ungkapan relevan bagi kaum waria (wanita-pria) di kota-kota besar, khususnya Jakarta. Hanya karena perbedaan penampilan serta tingkah laku, akhirnya mereka termarginalkan dalam kehidupan masyarakat yang dianggap “normal”.
Ketidakadilan pun muncul saat para waria tidak bisa mengakses pelayanan publik. Misalnya pelayanan kesehatan, akses pembuatan KTP, akses ke tempat-tempat umum, susah mengakses pekerjaan, dan kerap mendapat tindak kekerasan. Padahal, mereka juga bagian dari warga negara Indonesia yang tak boleh luput dari perhatian pemerintah.
“Ketika ada orang yang berbeda orientasinya, identitas jendernya berbeda, negara harus paham itu. Terlepas dari orientasi seksnya apa, jendernya apa, tiap warga negara harusnya memberikan hak dan kewajiban yang sama,” ungkap Yuli Rustinawati saat ditemui Kompas.com di kantornya di Jalan Tebet Timur Dalam IV, Jakarta Selatan, Selasa (4/4/2012).
Yuli adalah Ketua Organisasi Arus Pelangi, organisasi yang kerap mengadvokasi persoalan hukum kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transjender). Ia mengungkapkan, sebenarnya masyarakat umum secara kasat mata telah mengetahui eksistensi kaum transjender, atau yang paling terlihat dari penampilan, adalah kaum waria. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya tempat-tempat di Jakarta yang menjadi titik berkumpulnya kaum waria atau LGBT tersebut.
Meski demikian, mereka masih saja mendapatkan perilaku diskriminatif di masyarakat.
“Misalnya ada waria, secara identitas jender kan berbeda tuh, kemudian sulit mengakses layanan kesehatan, sulit mengakses pekerjaan karena tampilan tidak sesuai dengan yang terkonstruksikan di masyarakat. Akses-akses seperti itu sulit untuk kita dapatkan karena kita berbeda,” lanjutnya.
Yuli mengungkapkan bahwa sebenarnya permasalahan waria merupakan permasalahan ketimpangan kelas sosial-ekonomi. Meskipun bukan dianggap penyebab munculnya kaum ini, 80 persen kaum waria berada di kelas ekonomi menengah ke bawah. Oleh karena itu, permasalahan waria sama saja dengan permasalahan kesejahteraan ekonomi.
Apa kata mereka tentang Pemilukada Jakarta?
Beberapa waktu belakangan, perhatian warga Jakarta tertuju pada pesta demokrasi lima tahunan, Pemilukada DKI Jakarta.
Sesuai dengan proses yang bergulir, 6 pasang calon, baik dari partai politik maupun dari independen, menghiasi media masa dengan menawarkan berbagai program bagi Ibu Kota. Secercah harapan pun muncul, dari hiruk-pikuknya kemacetan, dari sumpeknya permukiman kumuh, dari paniknya warga akibat banjir, termasuk dari ketidakadilan kaum marginal warga Jakarta lainnya yang menanti untuk diselesaikan.
Widodo, Sekretaris Jenderal Arus Pelangi, menambahkan, melihat prospek keenam calon tersebut tidak bisa dilepaskan dari rekam jejak mereka sebelumnya, yang secara khusus memiliki keberpihakan terhadap orang-orang marginal di masyarakat karena kaum waria termasuk di dalamnya.
“Alex Noerdin, bagaimana dia memimpin Sumatera Selatan. Dia malah justru perda-nya terburuk tentang LGBT, khususnya waria. Di perda Sumsel, dia mendiskriminasikan dan kriminalisasi waria,” ujarnya.
“Foke juga, sebetulnya tidak ada juga yang dia lakukan kebijakan terhadap teman-teman LGBT, yang terihat pada waria. Hanya produk Foke tentang Perda Tibum, sangat buruk bagi rakyat miskin dan itu juga terkena kepada waria,” lanjutnya.
Pasangan yang diusung dari PKS, Hidayat Nurwahid-Didik Rahbini, juga dianggap sama dengan calon lainnya. Meskipun kerap menggembar-gemborkan pluralisme, tak ada kebijakan nyata yang tampak di masyarakat. Di antara para calon partai politik, Jokowi-lah yang dianggap paling berhasil melakukan pendekatan humanis dengan warga marginal.
“Bagaimana cerminan Jokowi menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di jalan, baik PKL, pengemis, waria di jalan, itu lebih humanis. Ada solusi, meskipun belum spesifik menyentuh persoalan sih,” lanjutnya.
Sementara itu di jalur independen, Faisal Basri pun dianggap tidak menawarkan solusi. Saat bertemu dalam peringatan hari HAM 9 Desember 2011 lalu, ia sempat menyampaikan permasalahan LGBT. “Tapi hanya bersifat normatif, bahkan cenderung tak memberikan solusi. Yang saya anggap bahwa Faisal dengan sosoknya demokratis, berangkat dari aktivis, justru tidak mencerminkan itu,” ujarnya.
Begitu pun yang terlihat dari sosok dengan latar belakang militer, Hendardji Soepandji, serta pasangannya, Ahmad Riza Patria. Secara umum, para calon dianggap hanya mengedepankan program persoalan mainstream yang ada di Jakarta, seperti banjir dan kemacetan, tetapi tidak memperhatikan hal-hal kecil, walaupun penting, tersebut.
Berharap di Pemilukada Jakarta
Yuli mengatakan, pada pemilukada sebelumnya, kantong-kantong waria di Jakarta sempat didatangi oleh salah satu tim sukses untuk mendukung salah satu calon gubernur. “Sebenarnya jangan cuma pas kampanye itu, tapi harus akui masalah ini ada,” mintanya.
Meskipun ragu-ragu melihat enam pasang calon yang diusung, sekitar 4.200 waria yang terdata dalam naungan Arus Pelangi tersebut tetap berharap untuk sekadar “dilirik” oleh mereka yang bertarung dalam Pemilukada Jakarta 2012. Undang-undang di Indonesia pun sebenarnya diakui telah mengakomodasi aksi anti-diskriminatif. Hanya, pelaksanaannya belum maksimal.
“Bahwa tidak ada lagi diskriminasi dan kekerasan lewat aparatur negara, kesamaan hak, semuanya bisa terpenuhi hak-hak dasarnya, seperti pekerjaan; tidak dipinggirkan hanya karena berbeda identitas seksual atau jender,” ujarnya.
Jakarta tentu saja bukan hanya milik orang Betawi, bukan hanya milik pedagang kaki lima, bukan juga milik warga perumahan, melainkan juga milik orang-orang yang termarginalkan secara sosial-ekonomi. Sanggupkah keenam calon tersebut menjadi tumpuan harapan bagi seluruh warga Jakarta, tanpa terkecuali?
Sumber: nasional.kompas.com
foto: http: rnw.nl