Search
Close this search box.

LGBT Muslim : Menyatukan Seksualitas dan Spiritualitas

Oleh : Jane Maryam*

Suarakita.org- Mohamad Guntur Romli dalam bukunya yang berjudul, “Islam Tanpa Diskriminasi” menjelaskan bahwa peradaban Islam itu lebih luas dari sekedar hukum halal-haram. Karena jika ditelusuri lebih dalam ada filsafat, seni, arsitektur, erotika, maupun sastra sebagai bagian dari khazanah Islam klasik yang semestinya tidak dikerucutkan menjadi masalah fiqh semata. Karena referensi keilmuwan Islam zaman dahulu masih banyak yang harus digali dan tidak berpatok pada agamawan saja untuk mengkaji dan mengembangkannya.

Mohamad Guntur Romli pun menulis, “an-nâsu ádâ u ma jahilû – manusia cenderung memusuhi yang tidak ia ketahui”, penilaian itu bagian dari prasangka yang kemudian berkembang menjadi mitos dengan menganggap LGBT penyebar HIV/AIDS, memberi peluang besar kepunahan manusia, dan tidak sedikit mengkategorikannya sebagai penyakit jiwa yang menyimpang. Guntur Romli memaparkan bahwa ketidaktahuan itu seharusnya dicari tahu bukan justru membiarkan. Ketika ada orang yang mengacuhkan keberadaan LGBT dan tidak hendak mencari tahu, Guntur Romli mengibaratkannya seperti orang yang sedang tidur lalu dibangunkan akan berbeda dengan orang yang pura-pura tidur kemudian dipaksa untuk bangun. Sehingga perlu pendekatan yang berbeda agar seseorang memahami eksistensi LGBT.

Senada dengan Guntur, Dr. Neng Dara Afifah pada acara Pelangi Ramadhan yang diselenggarakan oleh Suara Kita, Jum’at 11 Juli 2014, dengan tema, Bolehkah Cong Berpuasa?, mengatakan “Islam itu sebenarnya tidak rumit kok!” ujar Neng Dara ketika menengahi berbagai stigma dan diskriminasi yang kerap dialami oleh LGBT. “Kita bisa lihat dalam setiap ayat Al-Qur’an, pasti dimulai dengan bacaan bismilahirohmanirrohim – dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, artinya Tuhan itu menyayangi semua ciptaanNya baik itu yang berbeda orientasi seksual sekalipun” jelas Neng Dara.

Akan tetapi, sejarah pergerakan LGBT di tanah air seringkali dihadapkan pada penolakan yang cenderung bersumber dari agama itu sendiri, semisal di tahun 2010 pertemuan LGBT internasional di Surabaya dimana ada 560 organisasi dunia yang tersebar di 90 negara termasuk Indonesia sempat mendapat penolakan keras dari berbagai ormas yang mengatasnamakan agama dan beranggapan bahwa LGBT tidak sesuai dengan nilai-nilai adat ketimuran. Padahal jika menelusuri sejarah nusantara sebelum masuknya Islam ada banyak tradisi lokal yang mengakui keberadaan LGBT, semisal Gemblak dan Warok di Jawa Timur, fenomena Bissu di Sulawesi, dan bahkan pada abad 19 di Aceh ada seni Rateb Sadati dimana dikisahkan kebiasaan bermesra-mesraan sesama jenis.

Berdirinya pesantren waria di Yogyakarta yang diprakarsai oleh almarhumah Maryani boleh jadi salah contoh bentuk kebutuhan eksistensi LGBT terhadap spiritualitas yang selama ini dipertanyakan dalam agamawan. Di dalam pesantren tersebut para waria bebas sesuai hati nurani hendak beribadah. Mereka boleh mengenakan mukena atau peci. Neng Dara dalam ceramahnya di Suara Kita juga mengamini bahwa bagi transgender bila secara batin dan lahiriah lebih cenderung feminim, maka tentu saja bersembahyanglah mengenakan mukena. Dan dengan tegas Neng Dara menyampaikan bahwa menjadi LGBT sekaligus muslim bukan berarti meninggalkan yang wajib seperti menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Batasan-batasan yang diberlakukan selama puasa pun sama halnya dengan yang heteroseksual, semisal tidak bersenggama di siang hari atau menjaga pandangan dari hal-hal yang membangkitkan nafsu birahi. Menurut Neng Dara ketika dari LGBT itu mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari orang lain, justru hanya kepada Tuhanlah tempat untuk meminta pertolongan melalui doa dan berpuasa, bukan sebaliknya dengan menjauhi agama.

 

*Penulis adalah kontibutor Suara Kita, lahir di Sumatera Utara 27 tahun silam dan lulusan Psikologi Universitas Diponegoro.