Search
Close this search box.

Penelitian Bertema Seksualitas Dengan Komitmen Pada Etika dan Kesetaraan

Oleh : Tanti Noor Said*

Suarakita.org- Ketertarikan saya untuk memperdalam dan aktif dalam bidang jender dan seksualitas dimulai dari tugas kuliah pada saat saya menjadi mahasiswa program pra-magister Antropologi di Universitas Amsterdam. Meskipun saya telah mempelajari metode penelitian kualitatif sejak masa perkuliahan program Sarjana di Universitas Indonesia dulu, saya belum pernah secara intensif mendalami peran saya sebagai peneliti dan memperhatikan secara refleksif hubungan saya pada teman-teman (interlocutor) saya di lapangan.

Mungkin saja usia dan pengalaman yang menempa saya sebagai seorang imigran dan perempuan, yang membuat saya menjadi lebih sensitif dengan hubungan-hubungan yang saya bangun atau saya jalani dengan para teman ataupun rekan. Saya banyak sekali bertanya pada supervisor pembimbing saya, mengenai langkah-langkah yang saya ambil, sehubungan dengan pertemanan saya, baik secara pribadi, maupun profesional, sebagai peneliti.

Banyak antropolog atau peneliti yang dengan sukses mendapatkan kepercayaan dari interlocutor atau narasumbernya. Tapi tidak mampu mempertahankan hubungan baik dengan para narasumber tersebut. Bagi saya, hal ini menjadi sulit. Karena hampir semua narasumber tersebut, adalah juga, atau kemudian menjadi kawan baik saya. Maka pertemanan yang ada, dapat dengan mudah membuat saya mewawancarai dan mendapatkan informasi dari para teman. Tapi ini bisa jadi melanggar etika sebagai peneliti.

Etika menggali informasi dan pertemanan

Pertemanan memang membuka akses kita kepada narasumber dan pengetahuan yang kita butuhkan dalam mempelajari sebuah kelompok masyarakat atau sub-culture. Dengan pertemanan, maka kita mendapatkan kepercayaan. Terutama jika kita ingin memperdalam atau mempelajari mengapa seseorang atau sekelompok orang melakukan sesuatu, memilih sebuah cara hidup yang tidak sesuai dengan mainstream. Ataupun yang sesuai dengan norma. Tidak semua orang ingin kehidupan pribadinya dipelajari oleh orang lain dan dijadikan bahan penelitian. Hal ini yang paling penting untuk disadari oleh para peneliti. Teruatama bagi antropolog yang menjunjung tinggi prinsip bahwa narasumber adalah subjek dalam sebuah konteks penelitian dan kita belajar darinya. Bukan yang sebaliknya.

Dalam penelitian yang saya lakukan, saya sangat beruntung karena banyak teman membantu saya untuk mendapatkan banyak kenalan yang membuat saya dapat melakukan tehnik snowball. Dari satu teman, saya dikenalkan dengan teman-teman yang lainnya. Tidak semuanya ingin saya wawancarai. Ada yang berbaik hati membuka rumahnya untuk saya. Sehingga saya dapat melakukan wawancara beberapa hari dan lebih mengenal teman-teman saya ini.

Dalam hubungan pertemanan yang santai, terkadang terjadi bentuk wawancara yang informal. Hanya bercakap-cakap, curhat ataupun diskusi. Sebagai peneliti, saya diingatkan oleh para pengajar metode penelitian untuk tidak lupa mengingatkan mereka, bahwa saya ada disana dalam rangka penelitian. Ataupun sesekali saya akan bertanya, bolehkah saya menggunakan percakapan tersebut dalam tulisan atau thesis yang akan saya tulis. Begitu juga dengan foto-foto yang diambil saat penelitian terjadi.

Meskipun dalam pergerakan di Indonesia sudah banyak sekali kasus “coming out”, sebagai bagian dari sikap perlawanan pribadi dan komunal, namun adalah tanggung jawab peneliti untuk melindungi privasi yang dimiliki oleh setiap narasumber penelitian. Tidak menggosip dan menceritakan dengan teman yang lain, adalah sebuah sikap dan kode etik yang harus dijaga. Terkadang, sebagai manusia kekhilafan-kekhilafan itu secara tidak sengaja terjadi. Peneliti hanyalah manusia, yang juga berbicara. Namun tetap saja harus bertanggung-jawab untuk melindungi narasumber yang sudah mempercayai kita. Bukan hanya hubungan profesional, hubungan pertemanan kita akan terganggu jika hal tersebut terjadi.

Menulis data secara etis dan ilmiah

Hasil wawancara yang beragam adalah sebuah keunggulan dari bentuk in-depth interview atau wawancara mendalam. Dengan metode tersebut akan ada keistimewaan ataupun kekhususan yang tidak dapat dicapai dengan metode questioner ataupun pertanyaan tertutup dengan jawaban (ya/tidak) dan pilihan (a,b,c). Selain in-dept interview, kita juga mengenal metode life history, yang memberikan ruang yang cukup besar bagi narasumber untuk mengekspresikan dan merekonstruksi kisah hidupnya dan bagian-bagian cerita yang ia anggap penting. Terutama penelitian yang berkaitan dengan seksualitas dan kelompok yang merasa dimarginalkan oleh publik, seperti gay dan transgender. Ini akan sangat membantu kita untuk menemukan hal yang lebih menarik yang mungkin bahkan tidak kita prediksi sebelum turun lapangan. Dengan begitu narasumber dapat saja menuntun kita kepada masalah yang lebih penting dan menarik untuk diperdalam.

Peneliti sosial dan wartawan bisa saja mendapatkan bahan atau data yang sama. Data-data tersebut dapat berupa curhatan ataupun bahan pergosipan yang menyangkut kehidupan pribadi, percintaan, pertemanan dan masalah pribadi lainnya. Saya pribadi menganggap bahan ini sebagai sumber yang amat kaya. Dibandingkan dengan jawaban-jawaban yang diberikan secara formal. Namun, bagaimana data dan hasil wawancara disajikan dalam bentuk tulisan, tentu akan berbeda. Para peneliti sosial diharuskan untuk dapat membaca hasil-hasil penelitian yang sudah ada, untuk kemudian dapat menambahkan ataupun mengkritisi hasil penelitian sebelumnya. Semakin banyak referensi yang dibaca akan menambah pengetahuan kita sebagai peneliti untuk mengerti tren dalam bidang yang kita dalami, siapa saja dan apa saja argumentasi yang telah ada sebelumnya. Bahan-bahan bacaan atau refrensi yang ada akan membantu kita dalam memfokuskan hal yang ingin dan tidak ingin kita lihat sebagai peneliti.

Prinsip kesetaraan dan tindakan refleksi

Bagaimana seorang peneliti memberikan respek dalam menuliskan pengetahuan yang ditemukannya dalam lapangan adalah sebuah penanda apakah kita mempraktekkan kesetaraan dalam hubungan peneliti dan narasumber. Sebagai peneliti, yang diberi kepercayaan untuk menuliskan pengalaman orang lain atau sebuah sub-culture, kita mendapatkan sebuah power dari narasumber. Power tersebut perlu dilihat secara moral, daripada secara hubungan yang timpang dan dapat disalahgunakan. Karena dengan seperti itu, kita juga memperlihatkan suara-suara yang ada tentang permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Gayatri Spivak adalah salah seorang feminis, akademisi dan aktivis yang gencar dalam menyuarakan bahwa sub-altern memiliki suara atau pendapat. Dalam mempelajari sub-culture yang dimarginalkan, peneliti harus sangat sadar dengan tanggung jawab untuk tidak turut melakukan penyalahgunaan informasi. Karena jika tidak hati-hati, tulisan yang kita buat justru akan menyudutkan teman-teman kita.

Tindakan refleksi, juga sangat perlu dilakukan. Dengan tindakan tersebut, sebagai peneliti kita dapat dengan transparan memberikan informasi kepada pembaca, di manakah posisi kita sebagai seorang individu dan peneliti terhadap penelitian tersebut dan kaitannya dengan hubungan peneliti dengan narasumber. Peneliti juga terkadang mengalami hal-hal yang emosional sebagai individu, yang tidak dapat dipisahkan dengan posisinya sebagai peneliti. Hal tersebut akan menjadi pelengkap yang menarik dalam tulisan yang dihasilkan. Karena hasil penelitian itu adalah bentuk interaksi dengan seorang peneliti dan para narasumbernya. Itu sebabnya hasil penelitian pada sebuah sub-culture yang sama, bisa saja berbeda. Karena peneliti, bukanlah petugas sensus. Ia mewarnai juga interaksi yang ada pada saat penelitian.

 

*Antropolog lulusan Program Master Universiteit van Amsterdam.