Search
Close this search box.

“Silenced” : Narasi Korban Perkosaan Yang Terbaikan

photo (1)Suarakita.org– Pola relasi yang tak setara seringkali membuat korban perkosaan meredam suaranya hingga membuat pelaku perkosaan melenggang kangkung, lepas dari jerat hukum.

Sabtu, 12 April 2013, Perkumpulan Suara Kita mengadakan pemutaran film dan diskusi yang dihadiri oleh dua puluh lima orang, terdiri dari aktifis perempuan, aktifis HIV/AIDS, mahasiswa , akademisi, konselor, komunitas lesbian, gay , waria dan juga masyarat umum. Pada kesempatan ini Suara Kita memutar sebuah film yang berasal dari Korea bertajuk“Silenced”.

Silenced diangkat dari kisah nyata yang diadaptasi dari novel best seller di Korea Selatan karya Gong Jee-young berjudl “Togani”, yang mengangkat pelecehan seksual yang terjadi di sebuah sekolah tuna rungu di Gwangju – Korea Selatan pada tahun direntang tahun 2000-2005.

Seorang guru seni bernama In Ho mengabdikan dirinya untuk mengajar anak-anak yang memiliki keterbatasan disebuah sekolah tuna rungu Gwangju-Korea selatan. Pada hari pertama mengajar disekolah In Ho mencoba untuk sebisa mungkin berinteraksi dengan para murid-murid. Namun sayang In Ho tidak disambut hangat oleh para murid.

Hingga pada suatu ketika saat selesai mengajar In Ho melihat seorang muridnya Yoo Ri sedang duduk ditepi jendela gedung bertingkat asrama sekolah. In Ho panik dan langsung mengambil langkah seribu mencoba menyelamatkan muridnya tersebut. Dan disinilah cerita bergulir. Yoo Ri mengajak In Ho kesebuah ruangan bawah tanah yang sering kali digunakan sebagai ruang penyiksaan.

Di ruang bawah tanah itu, In Ho terkejut melihat Yeon Doo yang sedang dianiaya seorang pengawas asrama. In Ho segera menyelamatkan Yeon Doo dan membawanya ke rumah sakit. Ketika dirumah sakit Yeon Doo bercerita tentang kekerasan yang dialaminya dengan menggunakan bahasa isyarat. Yeon Doo mengatakan bahwa kepala sekolah dan kepala admin seringkali melakukan tindakan kekerasan seksual / pemerkosaan. Selain itu seorang guru yang bernama Park Bo Hyeon bahkan melakukan sodomi kepada para murid laki – laki.

Dengan ditemani seorang aktifis perempuan (Yoo Jin) In Ho membuat sebuah video testimoni yang isinya pengakuan para murid tentang kekerasan dan pelecehan seksual yang mereka alami. dan kemudian video tersebut dijadikan dokumen untuk melakukan pengaduan yang diserahkan ke kepolisian dan departemen pendidikan setempat. Namun usaha tersebut gagal karena kepala sekolah merupakan orang terpandang yang sering menyumbangkan uangnya untuk pembangunan gereja dan memberi suap kepada polisi setempat.

Yoo Jin dan In Hoo tak mati langkah, mereka kemudian menghubungi sebuah televisi swasta memberanikan diri untuk mengungkap semuanya. dan televisi swasta tersebut menayangkan video testimoni tersebut secara ekslusif keseluruh jaringan televisi Korea. Setelah itu dukungan dan simpati berdatangan. Hingga pelaku diseret kemeja hijau dan sempat dilakukan penahanan terhadap pelaku.

Dalam proses advokasi akhirnya kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang dialami oleh anak-anak tersebut ditutup dengan ketidak-adilan. Pelaku pelecehan dan kekerasan seksual  hanya mendapatkan hukuman beberapa bulan saja. Hingga akhirnya, disebuah rel kereta api Min Soo bunuh diri saat ia hendak membalas dendam pada guru yang menganiaya-nya.

Seperti biasa setelah menyaksikan film Suara Kita selalu mengadakan diskusi usai penayangan film, dan pada kesempatan ini mengundang Ibu Helga Worotijan sebagai pembicara dan juga Lini Zurlia sebagai pemandu diskusi sore hari yang hangat dan penuh dengan keprihatinan.

IMG_1063

Dalam diskusi yang hangat ini Suara Kita juga kehadiran korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayahnya dan juga seorang Ibu yang sedang berjuang untuk mencari keadilan atas kasus perkosaan yang dialami anak gadisnya yang kini berusia tujuh belas tahun.

Sebuah testimoni yang haru dengan mengucurkan air mata membuat semua peserta diskusi tertegun tanpa kata. Bayangkan seorang ayah yang harusnya menjadi pelindung anaknya tapi ia justru memperkosa anaknya diusia empat tahun. Kejadian itu berkali-kali hingga menyebabkan trauma berkepanjangan. Dan selama hampir tiga puluh tahun barulah berani mengungkap pengalaman pahit yang salami ini dikubur dalam lubang kepedihan.

Sama halnya yang terjadi dalam film Silenced, seorang aktifis perempuan menjadi jembatan untuk mengakhiri kepedihan. Keputusan untuk menyimpan pengalaman pahit yang dialami oleh salah satu peserta diskusi karena pelakunya adalah orang terdekat dan apabila dikemukakan dimuka umum khawatir akan menjadi aib yang tidak hanya berdampak pada korban tapi juga pada keluarga besar.

Diskusi kemudian dilanjutkan dengan paparan oleh Ibu Helga, sebagai seorang pendamping korban kekerasan seksual yang sekaligus juga pernah mengalami kekerasan seksual bercerita bahwa ia sempat “membisu” selama hampir kurang lebih tiga dasawarsa memendam luka batinya. Luka batin yang ia rasakan diibaratkan sebuah paku yang menancap dikayu walau telah tercabut pakunya namun meninggalkan liang yang hingga kini menjadi kisah yang kelam.

Sebagai pendamping korban kekerasan seksual Ibu Helga juga seringkali mendapatkan intimidasi yang datang dari orang-orang yang tak ia kenal. Tidak cukup sampai disitu ketika mendampingi korban dikantor polisi masih saja terjadi birokrasi yang melelahkan karena kebanyakan kasus perkosaan selalu menginginkan bukti-bukti yang akhirnya korban kembali lagi mejadi korban dan malahan korban bisa tersangkut hukum karena memberi kesaksian yang mencemarkan nama baik pelaku.

Lini Zurlia sebagai moderator dalam diskusi ini juga turut mengungkapkan pengalamanya saat ia masih duduk diperguruan tinggi. Ia sempat mengorganisir kawan-kawannya untuk berbicara tentang kekerasan dan pelecehan seksual dikampus. Namun tetap saja korban membungkam suaranya, karena pelaku kebanyakan orang terdekat dan juga orang-orang yang punya kuasa.
Ditengah diskusi peserta kembali dikejutkan dengan testimoni seorang Ibu yang pernah bekerja memperjuangkan hak-hak perempuan yang kini sedang berjuang mencari keadilan karena anaknya yang kini duduk dibangku sekolah menengah umum SMU, diperkosa oleh geng motor.

Dengan tetes air mata sang Ibu menjelaskan, bahwa selama ini iya tak pernah membayangkan akan dihampiri oleh kejadian yang menguras batin-nya ini. Sebelumnya ia menjadi pendamping korban namun kali ini anak perempuan yang lahir dari rahimnya menjadi korban perkosaan.

Diakhir diskusi seorang akademisi juga ikut memaparkan pengalamanya bahwa dilingkungan kampus mahasiswi dan mahasiswa juga jarang sekali mengangkat penelitian-penelitian yang mengangkat tentang kekerasan seksual hingga sulit sekali lahir naskah akademis yang bisa dijadikan rujukan bersama untuk mendorong kebijakan terkait kekerasan, kalaupun ada itu dilakukan oleh mahasiswi/wa yang sudah bersentuhan dengan aktifisme.

Namun ia juga mengatakan bahwa ada yang tidak kalah pentingya yaitu adanya kurikulum pendidikan yang membahas tentang pentingnya pendidikan seksualitas sejak dini. Bila perlu kurikulum ini sudah mulai sejak sekolah dasar agar penerus bangsa ini paham bahwa kekerasan tidak boleh dialami oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Karena kekerasan dalam bentuk apapun merupakan kejahanatan kemanusian.

Suara Kita kembali mengundang kawan-kawan untuk bertandang dalam kegiatan pemutaran film dan diskusi yang diadakan pada bulan Mei 2014. Tepatnya pada hari minggu 11 mei 2014. yang masih akan membicarakan seputar kekerasan yang dialami kawan-kawan lesbian. dan akan hadir Agustine (Direktur Ardhanary Isntitute) sebuah organisasi yang berjuang untuk hak-hak lesbian di Indonesia. (Yatna Pelangi).