Search
Close this search box.

Diskusi Film “Women Without Men” : Perempuan Iran Terkenal Berani dan Cerdas Sejak Zaman Dulu

 

Suarakita.org- Jika peradaban sudah tinggi mestinya sudah tidak ada lagi problem gender issue, ungkap Ema Soekarba narasumber nonton bareng dan diskusi film Women Without Men, 16 Maret 2014.

Iran selalu mengklaim memiliki peradaban tinggi namun kesetaraan gender masih menjadi masalah di peradaban mereka. Women Without Men adalah film karya sineas asal Iran, Shirin Neshat. Film yang diadaptasi dari novel ini menceritakan bagaimana posisi dan permasalahan perempuan Iran di era 50-an. Pada era tersebut pertarungan ideologi komunisme dan liberalisme sedang tajam-tajamnya.

“Perempuan-perempuan Iran terkenal berani dan cerdas sejak zaman dulu”, kata Ema. Kemudian Ema pun  menjelaskan sejarah singkat peradaban Iran. Menurut Ema, peradaban iran dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama adalah ketika pemerintahan kekasisaran Sasanid. Fase kedua adalah fase kerajaan Shah Reza. Dan yang terakhir adalah fase pasca Shah Reza.

Menurut Ema, diatara ketiga fase tersebut pada fase kekaisaran Sasanid adalah fase yang paling membahagiakan perempuan. “Perempuan lebih bebas, banyak perempuan yang pandai-pandai, lugas dan pada masa itu banyak perempuan yang menjadi cendikiawan” lanjut Ema.

Kini perempuan Iran terkekang. Hal ini bisa dilihat dari adanya regulasi yang dapat menghukum perempuan Iran satu tahun penjara hanya karena tidak berjilbab. “Pertanyaannya ini adalah kemajuan atau kemunduran?”.  Padahal, menurut Ema, tradisi menutupi rambut pada perempuan awalnya adalah tradisi Yahudi yang menganggap semua bagian tubuh perempuan terutama rambut adalah seks, pengundang syahwat bagi lelaki.

“Kita harus lihat teks dengan konteks” saran Ema ketika ditanya bagaimana memisahkan antara ajaran agama dengan tribalisme.  Teks tidak datang ke manusia tanpa ada konteks sejarah dan sosial masa itu. “Tujuan syariah adalah untuk kesejahteraan manusia, jika manusia merasa tidak sejahtera maka pasti ada yang salah, dan yang salah biasanya adalah budaya” lanjut Ema.

“Mungkinkah Indonesia bisa seperti Afganistan atau Iran” Tanya Jane, peserta nonton bareng.

“Mungkin saja” jawab Ema. “Jika kita sebagai warga tetap diam”. (Gusti Bayu)