Search
Close this search box.

Wakijo dihajar habis-habisan oleh kakak kandungnya seorang preman Jogja yang punya nama tenar untuk menakuti orang. Harga dirinya seakan terkoyak melihat sang adik yang sering berdandan dan berprilaku seperti perempuan.  Apalah jadinya seorang jagoan mempunyai adik waria, alasan itulah yang membenarkannya memberikan “pelajaran” kepada Wakijo.  Untung sang ibu melerai kekerasan terhadap Wakijo. “Bagamanapun ia adik kamu” tuturnya.

Perjalanan hidupnya mengalir terus dengan berbagai peristiwa hitam putih serta abu-abu seorang waria kota Jogjakarta hingga akhirnya menjadi seorang ketua di LSM Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta) . Di sebuah rumah sederhana Jl. Gowongan Lor JT III/148, Yogyakarta tempat LSM ini berkantor saya berbincang dengan Mami Vinolia  dan anak angkatnya Yuni Shara dengan ditemani goreng pisang dan wedang jahe hangat.

Malam2 yang dingin di kota Jogja adalah saat waria mulai keluar setelah berdandan menjadi perempuan cantik dan menjajakan dirinya di beberapa lokasi tempat mereka biasa mangkal. Di seputaran Jogja setidaknya para waria penjaja cinta mudah ditemukan di sekitar  Stasiun Tugu, kawasan ujung jalan Malioboro, pabrik gula Madukismo, terminal, hingga di daerah Bantul. Menurut data dari LSM Kebaya, saat ini tidak kurang dari 350 orang Waria yang beroperasi di daerah Jogja dan lebih dari 200 orangnya adalah penduduk asli kota gudeg ini.

“Dunia malam itu tidak bersahabat Mas” kata Vinolia kepada saya. “Selain uang, banyak pengalaman pahit yang kita dapatkan. Tidak dibayar, dibohongi, dilecehkan, dipukuli, hingga mau dibunuh. Saya pernah hampir dibuang di sebuah jurang daerah Kaliurang oleh serombongan pemuda yang mungkin tidak mau bayar”

Selain pengalaman yang tidak mengenakkan tadi, kami juga sering disuruh bertobat oleh para pemuka agama dan disuruh baca syahadat.

“Waktu disuruh membaca sebuah ayat, ternyata ada seorang waria lain yang bisa karena dia lulusan Pesantren Tebu Ireng, tapi tetep saja kami dipersalahkan.

Kalau kita renungkan, memang waria itu ada untuk mewarnai kehidupan di dunia ini. Bahwa keberadaan kita menjadi suatu ujian bagi manusia. Bahwa di samping ada laki2 dan perempuan, tapi di situ juga ada waria dan bagaimana kita seharusnya bersikap adil terhadap teman2 waria ini. Bukan lagi menuduh atau menyalahkan, tapi bagaimana bisa saling bekerja sama … harusnya seperti itu” kata Vinolia sambil menghela nafas panjang. “Jadi waria itu capek Mas”.

Pendapat yang sama diamini oleh Yuni Shara yang dulunya bernama Heru Baskoro, anak angkat Mami yang menemani obrolan kami. Keduanya akrab  dengan stigma negatif kepada kalangan transgender baik dari keluarga, masyarakat, hingga pemuka agama.Opo tenan, opo tenan, atau apa benar bahwa kaum waria akan ditempatkan di kerak neraka dan disiksa oleh Tuhan akibat dosa menjadi seorang Vinolia dan Yuni dalam tubuh laki-laki. Sebuah permenungan yang membuat mereka menghabiskan malam2 panjang dengan mencoba berdialog dengan Tuhan.

“Ya sudahlah, itu urusan saya dengan Tuhan. kalau Tuhan tidak mengizinkan saya hidup seperti ini mungkin saya sudah kecelakaan atau apes di jalan. Saya nyaman menjadi waria dan harus berbuat yang terbaik untuk diri sendiri dan teman2 waria lainnya. Saya tidak ingkar dengan janji ini dengan aktif di LSM Kebaya tanpa pamrih setelah berhenti total dari melacurkan diri. Kalau Gusti Allah tidak izin, rasanya gak mungkin saya bisa berbuat seperti ini” ujar Mami Vinolia.

Yuni yang juga mengalami berbagai tekanan dari kecil hingga masa remaja berpendapat sama. “Bahwa yang bisa mengukur dosa itu hanya Tuhan dan saya mantap dengan jalan hidup saya karena Dia punya rencana yang indah buat saya”

Bagusnya tidak semua kalangan agama mengambil sikap negatif terhadap mereka.  “Kyai Hamrolie justru lebih terbuka dan bisa menerima kami apa adanya”, kata Vinolia.  KH Hamrolie adalah pemimpin Pesantren Senin-Kemis dikawasan Notoyudan, Ngampilan di Jogja yang menerima santri waria, lesbian, maupun kalangan gay, sebuah inisiatif yang dipelopori oleh Ikatan Waria Yogyakarta (Iwayo).

“Boleh tidak saya yang tidak punya pengalaman membantu ?”  Kalimat itu mungkin menjadi titik balik hidupnya saat ia menawarkan dirinya menjadi relawan pada LSM Lentera, sebuah proyek di PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia) yang mendampingi para penderita AIDS di kalangan waria Jogja. Di tahun 1993 itu, Wakijo memutuskan untuk berhenti nyebong atau menjadi pekerja seks komersil yang sudah dilakoninya selama 12 tahun dan mulai aktif sebagai petugas lapangan.

Keputusan inilah yang kemudian membawanya kepada dunia advokasi dan perlindungan waria khususnya yang menderita HIV hingga sekarang. Komitmennya ditunjukan dengan bekerja serabutan dengan mencucikan pakaian dan memasak buat para anak2 kos karena penghasilannya dari dunia malam praktis terputus.

Selama enam tahun hingga 1999 ia bergerak sebagai petugas di lapangan yang memberikan penjelasan mengenai manfaat kondom dan menganjurkan para waria untuk melakukan tes HIV secara teratur. Dengan dibantu salah seorang anak angkatnya, Heru Baskoro yang biasa dipanggil Yuni Shara ia semakin giat dan membagi waktunya untuk anak2 jalanan. Sayangnya Vinolia merasa tidak fokus dan akhirnya memutuskan untuk secara total bergerak di kalangan waria.

Kesungguhannya di lapangan membuatnya ditawari oleh salah satu lembaga donor di luar negeri untuk membuat LSM sendiri. Maka di tahun 2006 setelah selama tahun masa persiapan berdirilah LSM Kebaya (Keluarga Besar Waria Yogyakarta) sebuah nama yang dipilih untuk membedakan dengan perkumpulan waria lain di Jogja seperti IWAYO (Ikatan Waria Yogyakarta), PAWAMA (Paguyuban Waria Mataram) serta HIWAMA (Himpunan Waria  Mataram).

Kini Mami Vinolia dan Wakijo disibukan dengan berbagai aktivitas advokasi kalangan waria termasuk program care, support and treatment. Sebuah program pendampingan bagi para penderita AIDS yang sedang menjalani pengobatan anti viral. Halusinasi, depresi, delusi, dan berbagai gangguan kejiwaan lainnya merupakan efek samping obat retroviral dalam masa2 awal pengobatan. Pada tahap genting inilah para relawan melakukan pendampingan kepada para penderita HIV  dan memberikan semangat untuk terus melakukan pengobatan. Selain program inti tersebut, mereka juga melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah Jogja kerap mereka lakukan terutama dalam merumuskan peraturan untuk melindungi kalangan trasgender di kota Jogja.

Perbincangan hangat kami harus diakhiri karena waktu sudah menunjukan jam 21.30 saat udara kota Jogja semakin dingin. Perjuangan untuk persamaan hak-hak sipil bagi kalangan waria mungkin masih panjang, tapi Vinolia Wakijo dan teman2nya sudah membuktikan dengan satu langkah konkrit dengan aktivitas di LSM Kebaya. Mereka sudah berdamai dengan identitas gendernya dan meyakini jalan hidup yang sudah dan akan terus dilakoni sebagai waria berbekal sebuah keyakinan akan rencana Tuhan yang indah.

sumber : http://mypotret.wordpress.com