Search
Close this search box.

Sepenggal Kisah Lama dari Taman Lawang

Taman Lawang. Mungkin beberapa dari kita apabila mendengar kata Taman lawang akan menunjukan berbagai ekspresi. Ada yang bergidik ngeri, tertawa, bingung, atau bahkan biasa saja. Sebagian orang mungkin akan mengarahkan pikirannya kepada tempat para waria yang bekerja sebagai pekerja seks komersil.

Sebenarnya Taman Lawang adalah perumahan real estate di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Pada siang hari, Taman Lawang adalah tempat para penjual hewan peliharaan yang lucu. Namun, pada malam hari fungsi Taman Lawang berubah menjadi tempat para waria “bekerja.”

Kalau saya mendengar kata Taman Lawang, ingatan saya langsung menuju ke memori saat saya kuliah semester 7 di tahun 2010. Sebenarnya saya sendiri tidak akan mau ke sana, terutama pada malam hari. Namun tuntutan itu pun datang. Saya dan teman-teman diharuskan ke Taman Lawang mewawancarai waria untuk menyelesaikan tugas tengah semester.

Dosen saya sempat berpesan kepada saya dan teman-teman, “Kalau mau ke sana, jangan cewe semua atau cowo semua yah.”

Saya sempat bingung dengan pernyataan dosen saya itu. Mungkin karena membaca raut wajah kami yang bingung, pak dosen melanjutkan kata-katanya. “Kalau cewe semua, kalian nanti dimusuhi ma warianya. Saingan. Kalo cowo semua, nanti bukannya ngerjain tugas, malah “dikerjain” ma warianya.”

Sontak saya tertawa garing. Ngeri ngebayanginnya.

Akhirnya, melaju lah saya ke Taman Lawang dengan pacar dan kedua teman saya, 2 cowo dan 2 cewe. Jam menunjukkan pukul 23.00 WIB. Kami berkendara menggunakan mobil agar lebih “aman.” Sesampai di sana, saya sendiri takjub dengan pemandangan yang ada. Ternyata waria Taman Lawang ini cantik-cantik banget! Bahkan ada beberapa yang mirip artis ibukota.

Sebelum memulai liputan, kami berkeliling untuk membaca situasi dan memikirkan waria mana yang akan kami wawancara? Sekitar satu jam setengah, kami berputar-putar di Taman Lawang, akhirnya kami memutuskan untuk mewawancarai waria yang berlokasi di dekat rel kereta api.

Kami pun turun dari kendaraan dan mulai mencari-cari waria mana yang mau kami wawancara. Tertujulah kami pada satu waria cantik yang terlihat ramah.

Sebut saja, Helena. Waria yang memiliki nama asli bernama Hendri berasal dari Bengkulu. Helena menginjakan kaki di Jakarta sejak akhir tahun 2006 dan saat itu pula ia diajak oleh temannya untuk “bekerja” di Taman Lawang. Sebenarnya profesi Helena sebagai waria pekerja seks komersil sudah lama ia lakukan sebelum bekerja di Taman Lawang.

Helena bekerja di Taman Lawang mulai pukul 00.00 WIB sampai pukul 05.00 WIB. Akan tetapi, waktu pulang ini tergantung dari situasi dan kondisi di lapangan. Apabila pelanggan sepi, ia bisa saja pulang pukul 03.00 WIB.

Pelanggan yang diterima Helena berasal dari semua usia, mulai dari yang tua sampai anak muda. Semua pelanggan ia terima dengan senang hati.

Tarif yang dipasang Helena tergantung dari tempat yang dipilih pelanggan. Apabila ia “dipakai” di jalan tarifnya sekitar Rp 50.000,-. Bila pelanggan mengajak ke hotel, tentu tarifnya berbeda, bisa mencapai Rp 800.000,-. Dalam sehari, minimal Helena mendapatkan uang sebanyak Rp 100.000,-.

Helena pernah ditawari temannya untuk bekerja sebagai waria panggilan di siang hari untuk melayani pelanggan. Pelanggan akan menghubungi Helena langsung melalui telepon genggam. Namun, hal itu ditolak Helena karena ia merasa lebih nyaman untuk bekerja di malam hari saja.

Selama empat tahun bekerja di dunia malam, Helena tidak pernah mendapatkan perlakuan kasar seperti yang pernah dialami oleh teman seprofesinya. Ia bersyukur pelanggannya selalu baik kepadanya. Kalaupun ada yang iseng, masih bisa dimaklumi.

Keadaan Helena yang menyukai sesama jenis ini, dimulai sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu, ia merasakan sesuatu yang berbeda kalau melihat pria. Ditambah teman-temannya yang menyukai sesama jenis.

Sebagian dari keluarga Helena, mengetahui keadaannya yang “berbeda.” Namun, keluarganya bersikap biasa saja, seolah tidak terjadi apa-apa. Helena yang melihat respons dari keluarganya, juga tidak mempermasalahkannya..

Walaupun ia berasal dari Bengkulu, banyak keluarganya yang tinggal di Jakarta. Akan tetapi, Helena lebih memilih nge-kost dibandingkan tinggal bersama keluarga. Waria yang berumur 28 tahun ini, tinggal di kos-kosan di daerah Tebet, Jakarta Selatan.

Helena tinggal di kos-kosan bersama seorang pria. Pria itu adalah kekasihnya. Mereka sudah menjalin hubungan selama empat tahun.

Bagi Helena, pria ini adalah penolongnya. Sejak ia menginjakkan kaki di Jakarta sampai saat ini, pria itu selalu membantu Helena. Pria itu mengetahui kondisi Helena sebagai waria.

Pada siang hari, Helena tidak bekerja seperti beberapa waria yang ada di Taman Lawang. Ia melewatkan waktu di siang hari dengan bermain voli bersama teman-teman warianya. Ia sering diundang untuk bermain voli di Pejaten, Tebet, dan sekitarnya.

Kecantikan Helena sebagai waria tidak main-main. Ia pernah mengikuti kontes kecantikan dan keluar sebagai pemenang di ajang Miss Waria 2010. Namun, ia tetap mengalami kegagalan sebanyak dua kali saat mencoba menjadi peserta Be A Man yang ditayangkan di Global TV.

Waria di Taman Lawang ini, tidak sembarang waria. Walaupun mereka pekerja seks komersil, mereka peduli akan kesehatannya. Saat berkumpul dengan sesama waria, mereka, membicarakan tentang HIV/AIDS.

Waria-waria di Taman Lawang, termasuk Helena, mengikuti kegiatan yang diadakan oleh organisasi yang melindungi waria dari HIV/AIDS di Srikandi sebanyak satu bulan sekali. Selain diberikan penyuluhan tentang HIV/AIDS, para waria juga diperiksa kesehatannya serta disuntik HIV/AIDS. Hal ini dilakukan agar mereka peduli akan kesehatan sendiri.

Saat ditanya tentang keinginan untuk kembali menjadi normal, Helena tersenyum dan mengatakan bahwa ia belum mau untuk kembali normal. Ia masih merasa nyaman dengan keadaannya yang sekarang. Namun, ia berharap ada pekerjaan yang lebih layak sebagai seorang waria.

Helena berharap agar pemerintah bisa menyediakan lapangan pekerjaan bagi para waria. Menurutnya, lapangan pekerjaan untuk waria itu sempit. Dengan adanya lapangan pekerjaan bagi para waria, waria yang bekerja di Taman Lawang bisa berkurang atau bahkan tidak ada.

Tulisan diatas dimuat di http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2012/03/04/waria-juga-manusia/ dengan judul asli “Waria Juga Manusia”

Foto taman lawang : kabarinews.com/?31889