Search
Close this search box.
Terdakwa kasus dugaan suap kepengurusan hak guna usaha perkebunan kelapa sawit Kab. Buol Hartati Murdaya menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (20/12/2012). Pemilik PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP) dan PT Cipta Cakra Murdaya (PT CCM) tersebut didakwa 5 tahun penjara karena diduga menyuap Bupati Buol, Amran Batalipu. (sumber: Jakarta Globe)
Terdakwa kasus dugaan suap kepengurusan hak guna usaha perkebunan kelapa sawit Kab. Buol Hartati Murdaya menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (20/12/2012). Pemilik PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP) dan PT Cipta Cakra Murdaya (PT CCM) tersebut didakwa 5 tahun penjara karena diduga menyuap Bupati Buol, Amran Batalipu. (sumber: Jakarta Globe)

Suarakita.org- Lembaga swadaya masyarakat Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan kasus tindak pidana korupsi di daerah sudah memasuki status darurat, setelah diketahui 98,12 persen kasus korupsi yang ditangani di semester kedua 2013 bersumber di daerah.

Menurut temuan ICW selama paruh kedua 2013 terdapat 267 kasus korupsi yang sudah ditangani oleh penegak hukum. Dari total jumlah itu, 262 kasus terjadi di daerah. Provinsi Sumatera Utara (Sumut) dan Jawa Timur (Jatim) tercatat sebagai penyumbang terbesar kasus korupsi.

Dari data tersebut juga terungkap bahwa selama tahun 2013 tercatat ada 35 kepala daerah yang terjerat korupsi. Sehingga, sulit mempercayakan pemberantasan korupsi ke kepala daerah.

“Terjadi peningkatan jumlah kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Catatan Kementerian Dalam Negeri ada sekitar 390 kepala daerah yang terjerat kasus hukum sejak diberlakukan otonomi daerah,” ungkap Wakil Koordinator ICW, Agus Sunaryanto, Minggu (2/2).

Agus memaparkan, banyaknya kasus korupsi di daerah menunjukkan bahwa belum efektifnya efek jera yang ingin dimunculkan dari kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ditambah lagi, vonis atau hukuman terhadap pelaku korupsi masih minim. Sehingga, tidak menimbulkan efek jera.

Selain itu, Agus menduga pemerintah daerah (pemda) belum melaksanakan Instruksi Presiden (Inpres) No.1 tahun 2013 yang mengatur pengadaan barang dan jasa menggunakan sistem elektronik.

Dengan kata lain, pengadaan barang dan jasa menggunakan cara lama atau konvesional. Sehingga, menumbuhkan potensi korupsi.

“Catatan LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaa Barang/Jasa Pemerintah) masih ada sekitar 100 pemda yang belum mempunya unit layanan LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik),” ungkap Agus.

Kepala Divisi Investigasi ICW, Tama S Langkun menambahkan semakin maraknya kasus korupsi di daerah dikarenakan adanya desentralisasi pemerintahan. Sehingga, pemimpin di daerah berada dalam posisi penting dalam mengambil kebijakan yang rawan akan korupsi.

“Yang menjadi persoalan adalah biaya politik yang tinggi. Ini yang membuat dia (kepala daerah) sangat tergatung pada. Jika, daerah kaya akan sumber daya alam akan banyak jual izin,” kata Tama.

Sebagai contoh, kasus korupsi pemberian Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit di Buol, HGU dijual untuk biaya Amran Batalipu (petahana) maju lagi sebagai calon kepala daaerah.

Ditambah lagi, situasi politik menuju pemilu 2014 menyebabkan partai politik enggan membela kepala daerah yang terjerat korupsi. Sebab, akan menjatuhkan elektabilitasnya di tahun 2014.

Oleh karena itu, Tama mengatakan solusinya adalah keseriusan reformasi birokrasi di tingkat daerah.

Sumber : beritasatu.com