Search
Close this search box.

Diskusi Film Dallas Buyers Club: Kesulitan Akses Obat Karena Ada Monopoli

Suarakita.org- Perjuangan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) untuk sehat tergambar jelas dalam film Dallas Buyers Club. Alur cerita yang kuat serta totalitas  para aktor dalam berperan, membuat film ini layak ditonton   dan didiskusikan bersama. Minggu, 19 Januari 2014, Film ini diputar di Sekretariat Our Voice, dan mendaulat Aditya Wardhana selaku Direktur Indonesia AIDS Coalition (IAC)  sebagai narasumber diskusi.

Dengan latar belakang tahun 80-an, film Dallas Buyers Club menceritakan perjuangan Ron Woodroof (Matthew McConaughey)  yang didiagnosis mengidap HIV untuk mendapatkan akses obat. Di tahun 80-an obat untuk  menangani pengidap HIV belum ditemukan, obat yang ada masih dalam tahap uji coba.

Azidothymidine (AZT) adalah obat pertama yang direkomendasikan untuk pengidap HIV di era itu.  AZT berfungsi untuk memusnahkan  virus HIV. Namun obat ini juga akan memusnahkan sel-sel darah yang bersentuhan dengannya. Sehingga AZT bersifat toksik (racun) bahkan sangat toksik untuk bisa ditolelir oleh tubuh.

“AZT masih digunakan sampai sekarang, bedanya AZT saat ini tidak digunakan tunggal” ungkap Aditya Wardhana sambil menunjukkan obat ARV ke peserta diskusi.

Aditya pun mengomentari kebijakan distribusi obat di film tersebut yang tidak berbeda dengan Indonesia, di mana institusi tertentu punya otoritas untuk menyeleksi obat mana yang boleh dijual mana yang tidak. “Namun kebijakan ini dilematis” ungkap Aditya.

Disebut dilematis, menurut Aditya, karena di satu sisi  dapat melindungi warga dari obat berbahaya. Namun di sisi lain akses untuk mendapatkan obat tersebut menjadi sulit, karena terhalang  hak paten yang membuat harga obat menjadi sangat mahal. “Harga obat sejenis di Indonesia [dibandingkan dengan di luar –red] harganya lebih mahal” kata Aditya.

Padahal Indonesia punya warisan fitofarmaka (obat tradisional) yang kaya namun tidak bisa menjadi obat karena terbentur perizinan. “Jamu yang biasa kita minum [buatan mbok jamu –red] tidak mampu bersaing”  lanjutnya. “Kesulitan akses karena ada monopoli” simpul aditya.

Ada pertanyaan menarik yang datang dari peserta  yakni bagaimana bila ARV tidak lagi disubsidi pemerintah?

“Sampai saat ini tidak ada wacana ARV dicabut subsidinya” jawab Aditya. Aditya pun heran gosip ini datang dari mana. Kemudian Aditya pun merinci bahwa Indonesia mendapat dana hibah 600 juta US Dollar dan  obat ARV 95% sudah didanai melalui APBN. Bahkan, tahun 2013, ada  anggaran 216 milyar untuk pembelian TDF, yakni obat terbaru sejenis ARV.

“Kenapa Asuransi di Indonesia tidak meng-cover HIV?” tanya seorang  peserta diskusi.

Terkait asuransi, Aditya menjelaskan bahwa  Jamsostek sebelum  melebur menjadi BPJS meng-cover HIV. Dan berdasarkan pengalaman Aditya berdialog dengan pimpinan  perusahaan asuransi, alasan asuransi tidak meng-cover HIV karena tidak ada data cost analysis untuk ODHA sehingga mayoritas produk asuransi di Indonesia tidak meng-cover HIV, “Sekalipun ada, harga preminya berbeda” ungkap Aditya. (Gusti Bayu)

 

Berikut adalah link untuk mengakses video dengan meng-klik link di bawah ini :

Diskusi film Dallas Buyers Club – Aditya Wardhana 1

Diskusi film Dallas Buyers Club – Aditya Wardhana 2

Diskusi film Dallas Buyers Club – Aditya Wardhana 3