Search
Close this search box.

Tuhan Berbangga Atas LGBTIQ

Oleh:

Ramzy*

Suarakita.org- Menjadi bagian dari kaum Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Interseks dan Queer atau lazim disebut LGBTIQ mungkin tidak semudah yang dibayangkan. Masing-masing individu yang menjadi bagian daripada kaum tersebut tentu pernah merasakan berbagai diskriminasi dalam bermasyarakat, terutama apabila berkaitan dengan institusi agama, di mana homoseksual akan berakhir dalam api neraka. Begitu “Maha Pengasih”-nya-kah Tuhan terhadap segenap makhluk-Nya?

Institusi agama, entah itu Islam, ataupun Kristen, tentu senantiasa memiliki berbagai doktrin tersendiri, sebagaimana lazimnya ditanamkan di dalam buku-buku ajar di sekolah dasar, bahwa baik di dalam Islam ataupun Kristen menyebutkan bahwasanya kaum Luth As (Sodom dan Gomorah) merupakan kaum yang terkutuk dan dilaknat, dan lantas patut untuk dihukum bahkan halal untuk dibinasakan melalui cara-cara tertentu, sesuai hukum masing-masing agama tersebut. Namun,mengapa eksistensi kami bahkan semakin gemilang, terlepas dari doktrin ‘kelaknatan’ mereka tersebut? Mengapa Tuhan seakan pro-keberadaan kami?

Being one of us is not a sin, it is a gift and it is guaranteed in every holy texts. Tuhan pun berbangga atas kaum LGBTIQ. Tentunya cara berfikir masyarakat yang masih terkonstruksi (konstruksi sosial) perlu untuk perlahan dikikis melalui berbagai macam edukasi guna mencapai suatu aufklarung penerimaan individu dengan orientasi seksual berbeda.  Apa yang sesungguhnya dibicarakan dalam teks-teks suci terkait apa yang sesungguhnya dilaknat Tuhan, memerlukan suatu pengkajian ulang yang mendalam.

Tuhan, dengan segala kekuatannya, tentu menghendaki segala sesuatunya secara mudah dan apapun yang terjadi merupakan sebuah keniscayaan. Maka dari itu Tuhan membuat individu-individu Gay, individu-individu Lesbian, dan seterusnya. Padahal, apabila memang Tuhan tidak menghendaki keberadaan mereka, tentu segenap waria taman Lawang, juru rias perfilman dan para desainer kondang  dapat dengan mudahnya disingkirkan menjadi butiran debu.

Tahukah kaum muslimin sekalian bahwasanya Gay pun senantiasa hadir dalam literatur Islam?  Tengok tokoh Al-Watsiq bin Al-Mu’tashim (w.847 M), Khalifah terakhir dinasti Abbasiah yang merupakan Gay, dan juga Abu Nawas, penyair yang terkenal dengan karya-karya jenakanya (tengok syair mengenai Muhaj, pemuda asal Mesir).

Al-Qur’an sebagai suatu pedoman umat Muslim tentu memberikan pembahasan khusus mengenai homoseksual. Mari kita simak salah satu ayat dalam Alquran berikut: “Sesungguhnya  aku sangat benci kepada perbuatanmu.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 160-168 ). Fokus Ayat ini menunjukkan pada kata “perbuatan”. Dan ulama-ulama Islam menafsirkan hal itu sebagai aktifitas seksual sejenis. Hal ini patut diluruskan, bahwa “perbuatan” disini, jika dikaji secara fenomenologis, tentu berkaitan dengan perbuatan pemerkosaan musafir, gangbang, wild sex party yang diadakan oleh penduduk Sodom. Adalah bukan karena mereka merupakan Homoseksual maka mereka terkena azab. Namun sekali lagi, karena perilaku seks tidak bertanggung-jawab dan melampaui batas (bahkan mengancam keamanan warga) tersebut yang perlu digaris-bawahi. Karena Tuhan Maha Memiliki Cinta, dan Gay Love merupakan hal yang mutlak dan hakiki bagi segenap Gay!

Bagaimana dengan Alkitab? Mari kita tengok pula salah satu bagian terfavorit saya dalam Alkitab: “Ada orang yang tidak dapat kawin karena memang ia lahir demikian dari rahim ibunya,dan ada yang dijadikan demikian oleh orang lain,dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga.Siapa yang dapat mengerti hendaknya ia mengerti.” (Matius 19:12). Tiga jenis eunukhos (eunuch) yang dibahas di atas merupakan pengakuan Tuhan atas cinta sesama jenis. Ayat di atas tersebut tentu merupakan sebuah kritik terhadap konsep hegemoni heteronormatif. Tuhan menghendaki dan menyayangi LGBTIQ!

Eunukhos itu sendiri diartikan sebagai “the Third gender” oleh Imperium Romawi (historia Augusta). Sebagai orang-orang yang terbuang atau outcast, dan Yesus melakukan sebuah performativitas menyangkut eunukhos ini sehingga terdapat sebuah norma baru yang tidak mewajibkan golongan eunukhos untuk menikah, dikarenakan ruang-ruang kehidupan manusia yang terus bergerak, dinamis. Karena berbagai faktor logis, ayat di atas sejalan dengan teori Pluralisme Gender yang menolak pengotakan gender  sebagai biner saja.

Bahwasanya menolak hak-hak LGBTIQ termasuk didalamnya hak untuk menikah dan mengekspresikan cinta, bukan hanya merupakan suatu pelanggaran terhadap hak asasi kemanusiaan namun juga merupakan suatu penolakan terhadap firman Tuhan dan keniscayaan serta sunnah terhadap perbedaan. Judith Butler dalam teori performativitas Gender mengungkap bahwa Gender akan terus berkembang secara dinamis dalam peradaban manusia dengan segala pemikiran, teknologi dan terobosan-terobosannya.

Jika dalam 50 tahun lalu kita tidak memprediksi seorang perempuan akan dapat menjadi juru mudi Transjakarta bahkan Presiden RI misalnya, maka bukan mustahil bahwa dalam 50 tahun ke depan kita akan melihat LGBTIQ dapat meraih posisi yang lebih baik dalam masyarakat, mengikat janji sehidup semati dalam nama Tuhan, serta tidak perlu lagi merasa takut dan khawatir terhadap bullying yang dilakukan oleh masyarakat yang fikirannya masih dalam konstruksi sosial. Gender itu Dinamis.

Dirasa sungguh tega sekali jika Tuhan menceburkan  Bunda Dorce yang baik hati kedalam neraka-Nya. Begitu tercelanyakah karya cipta Tuhan? Ingatlah akan konsep “rahmatan lil alamin”, rahmat, kasih, damai dan cinta terhadap segenap makhluk termasuk LGBTIQ. Sekali lagi, status Maha Pengasih adalah sebuah kesempurnaan tanpa syarat. Banggalah menjadi LGBTIQ, karena Tuhan pun berbangga atas LGBTIQ sebagai salah satu karya-Nya.

 

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum di salah satu Universitas di Jakarta. Tulisan ini merupakan refleksi dirinya saat mengikuti Pekan LGBTIQ di STT  Jakarta 22-23 November 2013.