Search
Close this search box.

Pendekatan agama dalam penanggulangan HIV AIDS

Suarakita.org- Dalam kasus epidemi HIV, orang yang terinfeksi sering kali dikaitkan dengan tindakan berdosa oleh sekelompok orang yang mengatas namakan Agama. Dalam acara yang diadakan oleh Koalisi Perempuan Indonesia, menghadirkan beberapa pemuka agama yang akan memaparkan bagaimana pendekatan Agama dalam penanggulangan HIV AIDS. Para pemuka agama yang menjadi pembicara adalah Pendeta Stephen dan Kyai Maman.

 

Pendeta Stephen Suleeman mengatakan pada dasaranya agama Kristen sudah cukup banyak berbicara dengan hal yang semestinya bisa mengurangi dan mencegah orang untuk tidak terinfeksi HIV AIDS. Contohnya 10 hukum taurat, di hukum yang ke 7 ada anjuran untuk jangan berzinah. Selain itu setiap umat Kristen dianjurkan untuk memelihara tubuhnya dengan baik karena disitulah tinggal roh kudus. Walaupun kenyataannya tidak sesimple itu karena penularan HIV tidak hanya pada hubungan seksual saja.

Ada kesenjangan antara pengetahuan dengan praktek, antara iman dengan kehidupan sehari-hari. Karena itu kalau Abstinence dan Be faithful tidak bisa maka pakai Condom.  Realitasnya di Papua profinsi yang paling banyak orang kristennya namun prevalensinya juga paling banyak. Berarti ini menunjukkan pengetahuan iman tidak otomatis mengubah prilaku seksualitas manusia. Jadi ada sesuatu yang harus dilakukan lebih dari beragama.

Hal yang berbeda diungkapkan oleh Kyai Maman dalam pandangan islam. Ia memaparkan kalau Islam tidak tunggal dan dalam sangat beragam  Dalam islam ada berbagai pemikiran, mulai dari moderat, liberal dan radikal fundamentalis. Kalau berbicara penggunaan kondom dalam kelompok islam moderat itu tidak masalah.

Kita masih bisa berpeluang untuk merangkul kelompok islam yang moderat dan progressive dalam penanggulangan HIV. Selama ini informasi penanggulangan HIV baru menyentuh kalangan yang moderat.  Karena kalau mendekati kelompok radikal fundamentalis masih ada perbedaan pandangan yang tajam. Kalau dipaksakan energy kita akan habis untuk berdebat. Lebih baik kita melakukan pemberdayaan di tempat yang  lebih memungkinkan membuka ruang dialog dan pemikiran. (Rikky)