Search
Close this search box.

 

Sultan Hamengku Buwono X (Sumber: Tempo.co)
Sultan Hamengku Buwono X
(Sumber: Tempo.co)

Suarakita.org- Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono X, mengkritik pemusatan kepemilikan perusahaan media pada segelintir pengusaha saja. Dia khawatir fakta ini menjadi ancaman bagi masa depan pers nasional. Kritik itu disampaikan Sultan saat membuka Festival Media II yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia selama dua hari di Yogyakarta, Sabtu, 28 September 2013.

Menurut Sultan, kondisi pemusatan kepemilikan media membahayakan demokrasi di Indonesia. Sebab media massa merupakan alat yang mudah dipakai sebagai corong untuk pemolesan citra politikus dengan berita-berita berbau propaganda. “Seharusnya media tetap mematuhi kode etik dan tidak menganut ideologi oplah yang mengabaikan nurani rakyat dan hak publik memperoleh informasi yang benar,” ujar dia.

Untuk memperbaiki demokrasi, kata Sultan, media harus mampu memandu publik agar bisa memilih wakil dan pemimpin yang tepat dalam pemilu nanti. Karena itu, ketika banyak politikus senang memanipulasi citra dengan beragam fakta buatan, media semestinya bisa mengungkapkannya ke publik. “Wartawan jangan jadi distributor informasi saja, tapi harus berpihak pada kepentingan publik,” ujar dia.

Menurut Sultan fakta pemusatan kepemilikan media terlihat dari data tentang adanya selusin korporasi yang saat ini memiliki 481 media. Situasi ini akan semakin menyeragamkan isi media yang dikonsumsi publik. “Karena itu, AJI perlu mendorong makin banyak muncul berita-berita investigasi, terutama di kasus-kasus korupsi,” ujar dia.

Peran media dalam menggelar investigasi kasus-kasus korupsi di Indonesia masih sangat penting saat ini. Sultan mengutip salah satu hasil survei Bank Dunia yang menyebutkan Indonesia termasuk dalam negara di posisi terbawah terrkait dengan kebebasan penelitian dokumen. “Jurnalisme investigasi membawa risiko besar bagi jurnalis, AJI harus tetap mendorong semangat pers pejuang,” kata dia.

Sultan juga menyarankan organisasi seperti AJI memperbanyak pendidikan bagi para jurnalis agar mampu memilah secara tepat beragam informasi yang membeludak di tengah era Internet saat ini. Semua jurnalis juga perlu dibekali dengan banyak sumber pustaka. “Minimal kekhawatiran narasumber pada adanya salah kutip bisa dihilangkan,” ujar Sultan.

Ketua AJI Indonesia, Eko Maryadi mengatakan Festival Media II yang tahun ini mengusung tema “Mencari Kebenaran di Era Banjir Informasi”, membawa misi mendorong tumbuhnya media-media lokal yang independen dan berkualitas. Penyelenggaraan acara ini juga menjadi momentum untuk mengingatkan kembali kepada publik tentang kasus pembunuhan wartawan Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin. “Sudah 16 tahun kasus ini belum terungkap, publik harus diingatkan,” kata dia. (Gusti Bayu)

 

Sumber: Tempo