Suarakita.org– Drg Ranti Aryani, yang berdarah Indonesia sempat mengalami diskriminasi saat berkiprah di US Air Force (USAF/Angkatan Udara AS). Diskriminasi ini dianggap momok yang gelap baginya. Hingga suatu saat sahabatnya menasihati untuk menuliskan pengalamannya. Ranti tak menyangka, dengan menulis dia bisa menerapi kekecewaan di masa lalu.
“Saya nggak ada niat bikin buku, saya menentukan bahwa ketika satu persatu masalah datang, saya berkomunikasi dengan teman-teman saya di sini untuk bisa memaknai kenapa. Dari tulisan-tulisan yang menyebar di email ini, di antara kita-kita, ada keinginan untuk mendokumentasikannya. Utamanya pengalaman di USAF itu sendiri, itu sebenarnya saya nggak mau menulisnya karena itu adalah momok yang harus dikubur, dilupakan,” ujar Ranti ketika ditemui detikcom di Jalan Puter I, Bintaro Sektor 5, Jakarta, yang ditulis Jumat (9/8/2013).
Saat itu Ranti bertemu dengan sahabatnya di Indonesia, Sisca, seorang editor dan mantan jurnalis. Ranti menunjukkan jurnal atau catatan harian selama mengalami diskriminasi di AU AS ada sekitar 360 halaman.
“Itu berat buat saya, saya nangis dulu baca ini. Oh My God, is this is bad. Saya nangis-nangis dan bilang, Sisca I don’t wanna do this anymore,” cerita Ranti.
Namun dorongan dari sahabatnya membuat Ranti akhirnya tergerak untuk menulis. Sahabatnya menyarankan Ranti fleksibel dalam menulis, tak perlu diforsir dan rehat bila ingin.
“Saya mulai menulis, dibantu sahabat-sahabat lain, keep moving forward, write it. At the end saya bisa melihat serangkaikan puzzle kehidupan. Maha Suci Allah, tidak ada yang sia-sia. Settingnya mungkin diskriminasi, the lowest point of my professional life. At the end its highest point me to Allah. Asma-asma Allah menjadi hidup bagi saya. Ketika saya sakit, Allah menyembuhkan,” tutur Ranti.
Ternyata, dengan menuliskan pengalamannya menjadi buku, Ranti bisa melakukan terapi atas kekecewaanya pada masa lalu. Membuatnya bersyukur karena dia bisa melihat kepingan hidupnya yang berantakan mulai tertata satu per satu dengan rapi. Ada hikmah dan tujuan mengapa dirinya mengalami diskriminasi di masa lalu.
“Pada akhirnya bersyukur alhamdulillah bahwa Allah itu benar-benar ada dan berperan dalam hidup kita, kalau kita memanggil dia,” tutur Ranti.
Ranti, melalui buku ini juga menjelaskan bahwa Islamofobia yang digambarkan di Tanah Air keduanya tidak seseram dengan gambaran media AS pada umumny. Mayoritas warga AS di sana, bisa menerima dan moderat dengan kehadiran umat Islam.
“Di media memang digembar-gemborkan seperti itu. Tapi masyarakat AS itu dasarnya cinta damai, karena mereka punya sejarah panjang masa lalu dengan diskriminasi, ketidaksamaan hak. Nah, mereka malu dengan itu dan belajar dari masa lalu,” jelas Ranti yang menjadi WN AS karena mengikuti suaminya sejak tahun 2002 itu.
Selain penggambaran media tentang Islamofobia yang dinilai Ranti berlebihan, dunia politik AS sendiri juga menggunakan isu Islamofobia itu. Padahal, mayoritas warga AS baik-baik saja.
“Seperti halnya di Indonesia, banyak berita tentang Islam garis keras, padahal mayoritas masyarakatnya moderat. Sama persis, antara masyarakat AS dan Indonesia ya seperti itu,” imbuh dia.
Kini Ranti menceritakan semua pengalamannya itu di buku otobiografi berjudul ‘In God We Trust, Ranti Aryani: Merentang Hijab dari Indonesia sampai Amerika’. Buku setebal 477 halaman yang diterbitkan penerbit Matahari tahun 2013 itu menceritakan perjalanan hidup dan spiritualnya, mulai dari remaja hingga memutuskan menjadi salik, pejalan spiritual di jalan sufi hingga pengalaman diskriminasi di AS.
Sumber : detikNews.com