“Siapa yang paling bertanggung jawab merawat-lindungi kemerdekaan warga berekpresi melalui internet, bila negara lumpuh?”
Oleh : Dewi Nova Wahyuni*
Ourvoice.or.id- Saat berjalan-jalan di Quiapo, kota tua di Manila, saya bertemu seorang penjual jilbab asal Mindanau. Dia bercerita, “Aku berjualan di sini sambil mengumpulkan uang untuk beli beberapa HP, sebelum kerja lagi di Saudi. Mau kujual sama buruh migran asal Indonesia. Kasihan mereka, banyak majikan tidak mengizinkan mereka menggunakan telepon.”
Setiap hari jejaring sosial dihidupi puisi atau cerita pendek karya buruh. Sesekali mereka memberi penjelasan “maaf tulisannya belum rapi, aku kirim melalui HP”. Berapa banyak buruh migran yang dapat keluar dari kondisi kerja yang buruk, melalui “jalur bebas” web dan bantuan kesegeraan menggunakan jaringan internet?
Perempuan pekerja dapat tetap memantau anaknya di rumah melalui video call. Temanku yang sering ke luar negeri memasang CCTV di kantornya untuk beberapa kebutuhan. Hak-hak Prita yang dilanggara rumah sakit terdukung oleh publik melalui jejaring sosial. Para penulis saling berbagi karya dan apresiasi melalui jejaring sosial. Juga para pemusik, pelukis, dan penari.
Para pedagang, apalagi. Hari-hari ini berjualan dimudahkan oleh layanan web dan jejaring sosial. Orang-orang yang hidup dengan kanker, bergabung pada grup penyintas kanker dan telaten membuka web terkait soal kanker, selain berkonsultasi langsung dengan tim medis.
Internet menghubungkan buruh migran dan keluarganya di tanah air, orang tua dan anak, sesama mitra kerja, dan lain-lain. Jaringan internet membantu pertolongan datang lebih cepat dan tepat. Juga mempertemukan kasih sayang dan pengetahuan.
Penggunaan internet telah menyatu erat dengan setiap keberhakan warga negara dan terkait pada seluruh aspek hidup. Karena manfaatnya dan kaitannya yang meluas itu, seperti bumi dan air, mestinya internet dikelola untuk seberagam-uniknya hajat hidup orang banyak. Bukan dikendalikan oleh dan untuk kepentingan pemilik modal, keyakinan/pemikiran, atau kekuatan politik yang dominan.
Lalu siapa yang berhak mengendalikan akses internet? Dan dengan tata kelola yang bagaimana?
Kuasa XL dan Kominfo
“Pelanggan terhormat, sesuai dengan peraturan perundangan, situs tujuan Anda tidak dapat diakses. Mohon maaf untuk ketidaknyamanan. Silakan mencoba kembali.“ Di bawahnya terdapat kalimat “AKSES DITUTUP” dengan ukuran huruf lebih besar. Tertanda logo DEPKOMINFO.
Keterangan itu muncul bila kita membuka web Our Voice, http://suarakita.org/, menggunakan jaringan XL. Tidak ada penjelasan sebelumnya dari provider PT XL Axiata kepada Our Voice. Praktik pemblokiran itu semudah menyematkan pin di baju kita. Bagaimana rasanya bila ‘pin’ itu tiba-tiba Anda temukan di blog atau web Anda atau di portal media online tempat Anda bekerja? Ini peristiwa penting untuk dikritis-sikapi, karena dapat terjadi pada web mana pun dalam otoritas Republik Indonesia.
Our Voice adalah organisasi komunitas yang mengembangkan media alternatif melalui internet untuk penegakan hak asasi manusia, utamanya warga lesbian, gay, biseksual, dan transgender.
Web Our Voice menyuguhkan berita seputar toleransi, keberagaman, dan demokrasi di Republik Indonesia. Antara lain liputan anak keluarga Syiah yang menjadi korban diskriminasi, liputan premier film Cinta dari Wamena, serta Goldman, Microsoft, dan Starbuck yang memberikan dukungan pada pernikahan sejenis.
Sejak web Our Voice diblokir provider XL dengan logo Dpkominfo, banyak pengakses kehilangan dan menunjukkan keberatan melalui jejaring sosial. Hal itu dapat dipahami, apalagi media mainstream belum sepenuhnya memberikan ruang dan infomasi terkait hak-hak warga yang didiskriminasikan. Hingga 11 Juli 2013, jumlah pengunjung web Our Voice mencapai 308.335, dengan kunjungan per hari mencapai 300 hingga 400 pengunjung.
Sekretaris Umum Our Voice Hartoyo berkali-kali menemui provider XL untuk meminta penjelasan dan dua kali melalui surat elektronik. Akhirnya melalui surat resmi, customer service XL, PT XL Axiata memberikan penjelasan bahwa pemblokiran situs www.ourvoice.or.id atas permintaan Depkominfo (kini Kementerian Telekomunikasi dan Informatika). Karena situs tersebut termasuk dalam list Trust + positif dan XL sebagai penyelenggara jasa komunikasi, maka diwajibkan untuk mengikuti peraturan tersebut.
Our Voice mengirimkan surat dan SMS kepada Humas Kemenkominfo. Humas Kemenkominfo melalui sms memberikan penjelasan bahwa Kominfo tidak memerintahkan pemblokiran. Logo “Depkominfo” dipakai untuk tanda-tanda sudah diblokir.
Rebut Kendali Internet
Bila benar penjelasan Humas Kemenikominfo kepada Our Voice, hal itu menunjukkan betapa lemah posisi negara berhadapan dengan pihak swasta. Provider XL dapat secara sewenang-wenang memblokir dengan mengatasnamakan dan menggunakan logo “Depkominfo”. Lebih lemah lagi jika Kemenkominfo tidak mengetahui praktik tersebut. Namun, jika Kemenkominfo mengetahui dan membiarkan praktik itu, alangkah tak berdayanya badan negara.
Lalu, siapa lagi pihak yang paling bertanggung jawab merawat-lindungi kemerdekaan warga berekpresi melalui internet, bila negara lumpuh?
Our Voice bukan satu-satunya web yang diblokir. Sebelumnya terdapat beberapa web yang menyuarakan hak asasi manusia juga diblokir. XL, bukan satu-satunya provider yang memblokir. Pada kasus Our Voice, provider Indosat, Axis, Smartfren, dan 3 juga melakukan pemblokiran.
Soal memblokir web ini lebih dari soal mengancam keberhakan warga berekpresi dan mengakses informasi. Karena hidup masyarakat saat ini hampir seluruh aspeknya terkait dengan jaringan internet. Warga butuh membuka web untuk urusan kesehatan, pendidikan, usaha atau mencari nafkah, hingga urusan berkesenian, beragama, dan berpikir. Warga menggunakan web untuk konsultasi, untuk menemukan support group, dan lain-lain. Bagaimana negara abai dan swasta secara sewenang-wenang terhadap hajat hidup orang banyak?
Karena sifatnya yang bermanfaat dan dibutuhkan oleh orang banyak, kendali internet yang hanya dikelola-kuasai swasta dan atau negara itu membahayakan warga negara. Akses internet akan dikendalikan untuk pengumpulan keuntungan pihak swasta dan atau arus utama politik-pemikiran yang mendominasi negara. Warga negara mesti hadir dan turut menentukan kendali tata kelola internet, dan tidak boleh tidak warga negara yang masih didiskriminasikan atas dasar keyakinan, agama, cara berpikir, dan orientasi seksnya.
Saatnya setiap warga yang berkepentingan dengan akses internet bergandengan tangan untuk mendialogkan pemblokiran web dan bentuk lain pengendalian internet dengan badan negara dan swasta terkait. Warga dan organisasi warga yang masih didiskriminasikan, para pemantau penegakan HAM, dan warga yang memiliki keahlian-bidang perhatian pada tata kelola internet, mari merapat bersama Our Voice dan web lain yang diblokir untuk berunding dengan negara dan pihak swasta.
*Dewi Nova Wahyuni, penulis buku Perempuan Kopi
Sumber : vhrmedia.com