Search
Close this search box.
Seluruh delegasi CISV beserta leader (ketua regu) memainkan angklung musik tradisional Jawa Barat (sumber: Beritasatu.com/ Kharina Triananda)
Seluruh delegasi CISV beserta leader (ketua regu) memainkan angklung musik tradisional Jawa Barat (sumber: Beritasatu.com/ Kharina Triananda)

Ourvoice.or.id- Anak-anak dari berbagai penjuru dunia diberikan kesempatan mempelajari toleransi dan keberagaman dalam ajang Children International Summer Camp (CISV) Indonesia, yang digelar di Sekolah Pelita Harapan (SPH) International Sentul City, Jawa Barat.

Ajang yang berlangsung sampai 20 Juli itu mengambil tema “Ojo Lali” dan melibatkan 48 anak berusia 11 tahun dari 12 negara, yakni dari Indonesia, Amerika Serikat, Brazil, Spanyol, Guatemala, Norwegia, Swedia, Denmark, China, Vietnam, Thailand, dan Filipina.

“Dinamakan Ojo Lali karena kami ingin mengajak setiap peserta mengingat kembali masa lalu mereka sebagai kenangan yang dapat dijadikan cermin dan bahwa pengalaman mereka di masa lalu adalah berharga, yang memperkayanya sebagai pribadi,” kata Maya D. Tanama, Presiden CISV Indonesia Chapter Cenderawasih, Minggu (14/7).

Dalam ajang perkemahan musim panas itu anak-anak diberikan banyak kegiatan yang bisa menumbuhkan rasa toleransi terhadap perbedaan budaya, agama, dan ras. Mereka juga diberi kesempatan untuk tinggal di rumah-rumah penduduk sekitar untuk mengetahui kebiasaan masyarakat Indonesia.

“Dalam camp ini anak-anak tidak diharuskan bisa berbahasa inggris. Mereka dipandu oleh pemimpin (kelompok) dari masing-masing negara. Namun, mereka tetap bisa berinteraksi satu sama lain dengan melalui aktifitas-aktifitas yang kita lakukan setiap harinya,” ujar Maya.

Belajar Berpuasa

Pada tahap awal anak-anak itu diberikan kesempatan untuk saling mengenal sehingga menciptakan kepercayaan satu sama lain.

Banyak pengalaman unik nan berharga yang ditimba dari pergaulan anak-anak belia itu. Salah satunya yang dituturkan oleh Lucas, salah seorang pemimpin kelompok yang berasal dari Brasil.

“Salah satu peserta saya ada yang tidak menyukai orang beretnis China tanpa alasan. Walaupun sudah saya coba berikan pengertian dia tetap tidak menyukai,” cerita Lucas.

“Namun, suatu hari salah satu delegasi dari China memberikannya makanan secara cuma-cuma. Hal itu kemudian merubah persepsi yang dia miliki selama ini,” imbuh dia kemudian.

Anak-anak dari berbagai agama dan budaya itu juga belajar mengenal ritual puasa jelang Ramadan masyarakat muslim Indonesia. Mereka juga dibangunkan juga untuk sahur.

Kebetulan selain peserta dari Indonesia, terdapat dua peserta dari Amerika Serikat dan Thailand yang berpuasa. Mereka tetap berpuasa satu hari penuh walaupun harus mengikuti semua kegiatan camp.

Selain toleransi terhadap etnis dan agama lain, mereka juga diajarkan toleransi terhadap penyandang cacat fisik. Melalui kegiatan inilah selain mereka diberikan kesadaran untuk lebih menghargai penyandang cacat, mereka juga bisa menumbuhkan rasa gotong royong karena harus saling membantu satu sama lain.

“Awalnya saya sangat gugup untuk mengikuti camp ini. Dan saya juga terkadang rindu keluarga saya. Tapi karena banyaknya aktifitas seru disini membuat saya bisa lupa dan sangat menikmati semuanya,” kata Emily, delegasi dari Amerika Serikat.

Kegiatan seru lainnya yang memberikan kesan terhadap para anggota adalah national night. Dalam acar itu semua delegasi diasah kepercayaan dirinya dengan berbagi kebudayaan mereka masing-masing melalui tarian, lagu, dan cerita rakyat yang dipentaskan. Mereka juga saling tukar cinderamata dan makanan khas dari negara mereka masing-masing.

“Saya ingin cepat pulang ke negara saya dan menceritakan bahwa saya bertemu orang-orang dari berbagai negara di sini. Ternyata dunia tidak begitu besar, walaupun kita dari berbeda negara tetapi kebudayaan dan banyak hal lain yang sama,” tukas Emily berapi-api.

Sumber : beritasatu.com