Search
Close this search box.
Ilustrasi HIV/AIDS. (Thinkstockphoto)
Ilustrasi HIV/AIDS. (Thinkstockphoto)

Ourvoice.or.id- Sepanjang daratan Afrika yang terletak di selatan Gurun Sahara (sub-Sahara), lebih dari 26 juta penduduk hidup dengan virus ini

Berjaga di malam hari, ketika Nomfumaneko, seorang gadis lima belas tahun dengan HIV AIDS, menenggak dosis pertama obat antiretroviral (ARV) yang berpotensi memperpanjang hidup, sanak keluarganya berkumpul memberi dukungan.

November 2008, Nomfumaneko meninggal. Impiannya kembali ke sekolah dan belajar menjadi perawat layaknya para perawat yang telah merawatnya itu tidak dapat terselesaikan.

Di Lusikisiki, kawasan pedesaan di Provinsi Eastern Cape, Afrika Selatan, HIV/AIDS sudah menjadi bagian kehidupan –dan kematian. Selama 12 tahun saya mendokumentasikan pengaruh penyakit ini terhadap orang-orang Afrika, sanak keluarga, dan masyarakat mereka. Individu demi individu memberitahu saya betapa HIV/AIDS telah mengubah hidup mereka.

Gubuk-gubuk tradisional mendiami lembah sempit di antara perbukitan nan hijau. Kemiskinan senantiasa melekat di kawasan ini, dan sekarang pandemik bahkan membuat derita hidup bertambah. Tercatat sekitar 2,3 juta kematian setiap tahun disebabkan penyakit yang berhubungan dengan AIDS.

Namun dengan cara-cara tertentu para Odha (orang dengan hiv aids) di daerah ini lebih beruntung ketimbang kebanyakan orang Afrika yang bergumul dengan penyakit ini. Dalam dua tahun terakhir hampir 800 orang di Lusikisiki telah diobati dengan ARV.

Obat-obatan ini diberikan oleh Siyaphila La, yang dalam bahasa setempat berarti “kita hidup di sini.” Ini merupakan proyek bersama antara Yayasan Nelson Mandela, Medicins Sans Frontieres (Dokter Tanpa Batas) Afrika Selatan, dan departemen kesehatan lokal.

Siyaphila La juga mengubah stereotip yang berkaitan dengan HIV/AIDS dengan cara mengubah pandangan masyarakat lokal terhadap penyakit ini. Sebagai pengganti dari ketakutan karena dapat mematikan – sesuatu yang disangkal ketimbang dihadapi – para penduduk Lusikisiki sekarang melihat HIV/AIDS sebagai penyakit kronis yang dapat dikendalikan.

Para pasien, begitu pula keluarga mereka, staf medis, dan orang-orang di masyarakat, memakai kaus berlogo positif-HIV. Keterbukaan dengan mengakui di depan publik akan kondisi mereka, telah menaruh ke dalam diri mereka kekuatan dan keberanian yang membuat saya segan.

Papan tulisan di salah satu sekolah di Zambia. (thinkstockphoto)
Papan tulisan di salah satu sekolah di Zambia. (thinkstockphoto)

Seorang anak bernama Zamokuhle Mdingwe berkata, “Saya berusia tujuh tahun. Ibu saya meninggal tahun lalu, dan saya sangat sedih. Ia menderita AIDS, saya pun terinfeksi HIV darinya karena ia tak tahu ia menderita AIDS dan menyusui saya.”

“Sekarang saya tinggal dengan kakek-nenek dan sepupu-sepupu saya. Mereka merawat saya. Setiap bangun pagi, saya minum obat. Saya telah meminum ARV selama berbulan-bulan, dan saya merasa lebih kuat,” lanjut gadis kecil itu.

Menurut neneknya, Mathembisile Mdingwe, setelah beberapa bulan mengonsumsi pil-pil ARV, Zamo menjadi lebih kuat. “Terkadang saat saya memandang Zamo, saya sedih, karena teringat akan ibunya dan semua penderitaan yang dialami karena penyakitnya,” tutur Mathembisile.

Jumlah orang di seluruh dunia dengan HIV: 40 juta; di sub-Sahara Afrika: 26 juta. Persentase orang berusia 15 hingga 49 tahun positif-HIV di seluruh dunia 1,1 persen; di sub-Sahara Afrika delapan persen.

Jumlah orang di sub-Sahara Afrika terinfeksi HIV setiap hari adalah 8.500 jiwa. Sementara jumlah yang meninggal karena AIDS setiap hari mencapai 6.300 jiwa.(Gideon Mandel)

Sumber : nationalgeographic.co.id