Search
Close this search box.

Suara Korban Anak Syiah

Ourvoice.or.id – Seorang bocah laki-laki terlihat sedang berdiri di halaman Rusunawa Puspa Argo, Sidoarjo-Jawa timur dengan terus memperhatikan teman-temannya memainkan karet. Israfil bocah berusia sembilan tahun tersebut adalah salah satu korban konfik Syiah Sampang. Dia tinggal bersama ibunya, sedangkan ayahnya, sedang berjuang mengayuh sepeda bersama dengan korban Syiah lainnya untuk menemui Presiden secara langsung. Ketika Israfil diajak menemui ibunya , “Gak mau, nanti dimarahin,” ucapannya tersenyum sambil memperlihatkan giginya.

Setelah dibujuk akhirnya ia mau mengantar kami menemui ibunya yang tinggal di lantai tiga Rusunawa tersebut. Terlihat ketakutan diwajah sekumpulan ibu-ibu yang kami datangi. Ibu Israfil sendiri menghindar ketika ingin diwawancarai lantaran tidak bisa berbahasa Indonesia.

Datanglah ibu Zakkiya, 24 tahun yang kemudian bercerita kehidupan mereka di Rusunawa. Beliau bercerita bahwa kehidupan anak-anak disana kesehariannya hanya bermain. Namun sejak kemarin sudah mulai ada kegiatan belajar baik untuk anak-anak maupun orang tua. Siti Rohmah adalah salah satu penghuni Rusunawa menjadi tenaga pengajar. Keadaan di Rusunawa tersebut berbeda dengan keadaan saat mereka masih di GOR Sampang. Saat di GOR anak-anak masih bisa bersekolah dan bahkan ada yang sempat mengikuti Ujian Nasional.

Jemaah Syiah sedang aksi didepan Istana. (Foto: Hartoyo/Our Voice)
Jemaah Syiah sedang aksi didepan Istana. (Foto: Hartoyo/Our Voice)

Ejekan dan celaan yang didapat dari lingkungan membuat anak-anak korban Syiah ini mengalami trauma. Inilah salah satu yang menyebabkan anak-anak ini enggan untuk disekolahkan di sekolah terdekat Rusunawa tersebut. Pemikiran lainnya adalah bahwa jika pemerintah memerintahkan mereka untuk anak-anak sekolah di daerah tersebut, maka berarti mereka akan tinggal lama di Rusunawa tersebut. Sedangkan mereka sendiri ingin pulang ke kampung halamannya. Belum lagi mengurus dokumen yang mendukung untuk pendaftaran anak-anak tersebut seperti akta kelahiran yang sudah menjadi abu akibat pembakaran masal yang terjadi di kampung mereka.

Dalam keadaan seperti ini, pihak Kepala Desa justru menaikan tarif pembuatan akta kelahiran yang justru memberatkan warga.
Sembilan anak yang ada dipenampungan tersebut akan dibawa ke Yayasan yang ada di Pasaruan untuk menerima pendidikan disana. Saat kami Tanya pada Israfil ingin jadi apa nantinya, dengan senyum yang mengembang iya menjawab, “jadi presiden”. (M.Reza)

 

*Tulisan ini dibuat oleh salah seorang aktivis gay dan HIV yang menjadi peserta pelatihan Jurnalisme Keberagaman Untuk Mahasiswa yang diadakan oleh Solidaritas Jurnalis Untuk Keberagaman (SeJuK) di Malang, 4-6 Juli 2013.