Search
Close this search box.

[CERPEN] : Pelacur Kelas Viagra

Oleh: Banyu Bening*

Saya buta hukum, buta peraturan, ndak kenal birokrat, dan cacat legalitas. Tapi kalau hukum agama? saya tahu sedikit-sedikit, namun seperti kata lagunya Titik Puspa, “Yang terjadi, terjadilah. Yang dia tahu Tuhan penyayang umatnya”

Andai saya cantik alami, elegan, dan ndak urakan, mungkin pelanggan-pelanggan saya itu para pejabat raja korup atau eksekutif-eksekutif muda yang bingung mau buang uangnya ke mana. Dan mungkin saya akan jadi pelacur berkelas dan dihargai orang. Namun berhubung wajah saya ini palsu, kalau dandan mesti menor dan ndak punya banyak modal buat perawatan tubuh. Alhasil yang selera sama saya ya cuma para kuli, tukang becak, tukang judi atau sales-sales yang hanya punya recehan.

Boro-boro dihargai, kalo saya lewat mau pulang ke kontrakan saya saja semua mata memandang jijik sama saya. Bukannya saya ndak tau dosa, bukannya saya ndak pernah mencoba bertobat. Namun katika itu, saya hanya bertahan tak sampai setengah tahun. Tak ada persediaan pekerjaan buat mantan pelacur seperti saya.

Saya yakin, kalau hanya untuk perut saya yang hanya satu jengkal ini saya masih bisa makan tanpa melacur. Tapi di kampung, keempat anak saya yang masih SD dan ibu saya yang pengindap kangker darah, harus saya kirimi uang yang lebih dari sekedar urusan perut. Saya kan juga mau anak-anak saya pinter seperti anak orang-orang pada umumnya itu. Dan saya juga ndak mau menambah dosa dengan menelantarkan orang tua. Bagaimanapun pintu surga saya ada di kakinya, yah walaupun besarnya cuma sebesar lubang anus saya.

Hari ini tak seperti biasa, padahal baru nanti malam saya dinas. Tapi membayangkan melayani empat lelaki sekaligus membuat saya bergidik juga. Selama saya melacur, saya hanya terima job one by one. Dan baru kali ini rame-rame. Tadinya saya ndak mau, takut. Namun pagi tadi datang sms dari kampung. Jadwal cuci darah ibu bulan ini berbarengan dengan jadwal ujian anak-anak. Apa mau dikata?

Berjalan kaki menuju rumah akan menghemat ongkos angkot empat ribu rupiah. Merskipun diawasi banyak mata dan betis sedikit naik. Ndak apa-apalah, wong tamu saya juga seleranya murahan, sesuai kantongnya. Sembari jalan, saya menyusun strategi pelayanan saya nanti malam. Biarpun orang kecil, tapi soal kerja saya mengutamakan profesionalitas. Saya mau semua pelanggan saya puas dengan jasa saya. Saya kurang nyaman jika menelan gaji buta, terlebih anak-anak dan ibu saya. Akan saya sarangkan ke mana saja benda-benda tumpul mereka nanti? Seberapa kuat saya nanti? Ah…untung ada viagra.

*Mahasiswa Fisipol Universitas Bengkulu

Bagikan