Search
Close this search box.

Cerpen ::: Sang Pendosa & Sekotak Malu

Sang Pendosa & Sekotak Malu

Oleh : Imam Ocean

 

“Sebaiknya kamu segera kawin!”

Ibu membuka obrolan pagi hari yang selalu sama dengan 24 jam yang lalu-lalu. Semuanya tentang pernikahan. Mengawini anak orang, tinggal di kos-kosan atau bahkan tak perlu mengontrak hunian, hanya membawa badan, menumpang di rumah mertua yang biasanya memperlakukan menantunya layak majikan. Diusahakan dapat pasangan yang kaya raya. Anak tunggal yang tidak terlalu pintar. Asal rajin sembahyang dan mengaji. Aku ulangi, rajin sembahyang dan mengaji.

Ibu menuang sepoci teh panas ke dalam cangkir porselin bermotif bambu cina. Aku mengaduk segelas kopi susu dengan sendok makan yang ujung pegangannya terukir huruf Y. Sementara Ayah mendiamkan diri menyusuri lautan kata-kata yang berbaris pada setiap halaman kertas dengan kedua bola matanya yang berbalut kacamata baca. Dia hobi olahraga. Suka bola. Kaos grup kesebelasan lokal maupun mancanegara dia punya semua.

Ibu menyisir rambutnya yang masih hitam sebagian ubun-ubunnya. Diambilnya cawan kristal berisi adonan berbau aneh. Dicoleknya sedulit, diusapnya—sekuat dia menekan kulit kepalanya. Katanya bagus untuk akar rambut. Sambil memijit-mijit, dia kembali meneruskan diskusi dengan tema yang sayang sekali sama lagi. Perkawinan.

Ayah melipat koran. Aku kira semua berita sudah dia serap habis tak bersisa. Dia menatap wajah Ibu yang masih serius dengan ritual rambutnya. Kemudian menatapku. Ayah tersenyum kecil dan kemudian menelantarkan kami berdua di meja makan. Seakan-akan dia bilang, “Selamat bersenang-senang.” Ayah berangkat ke kantor.

Ibu membungkus rambutnya dengan handuk kesayangan. Dibalutkan membulat seperti saat dia selesai keramas. Aku hanya bisa menatap diam. Karena setengah menit lagi, dia pasti akan menjulurkan lidah berbisa. Dia tak mengenal kata bosan. Untuk sebuah racun suara yang bernama “perkawinan.”

“Bagaimana bisnis kamu—Lancar?”

“Lumayan,” jawabku ketus.

“Itu bukan jawaban!” Ibu meniup cangkir tehnya yang sudah tidak lagi panas.

“Setidaknya aku sudah menjawab,”

“Buat jawaban yang lebih bertanggung jawab,” Ibu tidak mau kalah. “Lumayan hanyalah perkataan milik orang-orang putus asa, ” tambahnya sambil kemudian meminum teh tawar kegemarannya.

“Apa aku terlihat seperti orang yang sedang berputus asa?” selaku.

“Sore kemarin kamu ada acara apa?” mendadak Ibu mengalihkan tema pembicaraan.

“Acara apa?” tanyaku pura-pura heran.

Sore itu aku memang sedang ada pertemuan kecil dengan pelanggan tetapku. Kami hanya jalan-jalan. Sekitar 60 menitan. Hasilnya juga lumayan. Aku dibelikan celana dalam berbagai model dan merek. Padahal sebelumnya aku hanya meminta jatah mentahan. Namun orang itu bersikeras ingin memberiku hadiah. Alhasil, setelah belanja aku digiring ke mesin ATM. Disuruhnya aku mengetik nominal seenaknya. “Berapa kau butuh, ketik saja!”, orang itu meremas pundakku dari belakang. “Jangan banyak-banyak ya! Nanti istriku curiga,” dan aku tersenyum iblis tanpa sepengetahuannya.

“Ada yang bilang kamu jalan dengan orang yang usianya seumuran ayahmu!”

“Hanya klien bisnis”

“Jadi—agar bisnisnya lumayan—kamu harus menggandeng tangan klien?” Ibu meremas handuk yang ada dikepalanya. Digosok-gosokkan handuk itu ke rambutnya dengan muatan kekesalan yang hampir tumpah. Dia bermain dengan emosinya. Aku tahu itu. Tapi mendadak benar-benar meledak setelah dia melempar handuknya ke sandaran kursi di tempat tadi Ayah menduduki. Saking kerasnya, handuk itu terpental dan jatuh ke lantai. Ibu menundukkan wajahnya. Rambutnya terurai menakutkan. Seperti hantu jepang yang lupa sisiran.

“Sebaiknya kamu cepat-cepat cari istri Jay!” terdengar suara serak yang muncul dari balik jeruji rambut hitam-putihnya. Ibu mulai terlihat malas. Kali ini. Aku memilih untuk membisu. Aku hengkang dari kursi duduk. Meraih segelas kopi susu yang tinggal separuh. Aku tenggak habis. Beruntung bukan kopi berampas, karena aku meminumnya bak pemuda galak yang berlagak mabuk oleh sebotol arak. Aku angkat gelas itu ke atas hingga tak menyisakan setetespun. Habis tanpa ampun. Lega. Aku meninggalkan Ibu sendirian di ruangan itu.

Dari dalam kamar, teriakan Ibu menggedor pintu hatiku. “Anaknya Mbak Sri itu cantik lho! Yang tercantik di kampung ini! Lulusan Gontor pula!” sebuah informasi yang mengancam. Tetapi begitulah dia. Tak lelah untuk mengintimidasi. Tidak ada kata menyerah. Karena dia takut aku akan seperti apa yang menjadi bayangannya.

“Ibu sayang kamu Jay!!! Jangan bikin malu Ibu!”

*ooOO0Ooo*

Bukankah kawin dan melacur itu masih dalam level yang sama. Yang membedakan hanya legalitas dari kaum normatif yang sok moralis. Buku nikah! KUA! Halah! Persetan semuanya!

Ibu memang guru agama yang keras dan disiplin. Merasa paling benar pula. Ayah saja memilih mengalah. Ibu tegas menjalankan syariat agamanya. Sampai-sampai dia terlupa, untuk tujuan apa dia berumah tangga. Ayah dianggap pelengkap saja. Kasihan dia. Tetapi Ayah tidak bermasalah. Dia bilang, bahwa alasan dia menikahi ibu, itupun hanya untuk menyenangkan hati orang tuanya. Kadang Ayah sering di tegur Ibu bila dia terlalu lunak memperlakukanku. Sering kali aku kepikiran. bahwa Ayah tak sesimetris Ibu. Bisa jadi itulah mengapa aku lebih menurut dengan perintah Ayah dari pada suruhan Ibu. Selama dia masih mengandalkan agamanya sebagai senjata untuk perjuangan atas segala pembenaran, selama itu pula aku akan tetap pada pendirian dan semakin menyangkal atas eksistensi keberadaan agama yang dianutnya. Sayang, Ibu menggunakan cara halus untuk melakukan invasi besar-besaran demi mendoktrin aku menjadi bagian dari hamba Tuhannya. Kalau ditanya apa agamaku. Di KTP tercetak sama dengan agama Ibu. Tetapi dalah hati kecilku, selalu berucap, Agnostic! Agnostic! Agnostic!

*ooOO0Ooo*

“Om dari mana dapat nomer telponku?” tanyaku manja.

“Dapat dari seorang teman”

“Siapa?” tanyaku penasaran.

Di dalam kamar, Aku bergulingan tak karuan. Perasaanku berkecambuk. Aku sedang malas malam ini. Tetapi suara orang yang berada di telpon itu tak pelak membuatku bekerja keras mengusir ragu. Sepertinya aku telah mengenalnya lama. Hanya siapa dia, Aku tidak tahu. Ketika kutanya nama, dia mengawali jawab dengan tawa.

“Panggil saja saya Bayu”

“Iya deh—Mas Bayu dapat nomerku dari mana?”

Jarum jam yang panjang sudah menunjuk angka 12. Jam tangan Rolex yang tergeletak di atas kasur itu sekali lagi membuatku tersenyum. Faktanya, aku sudah lupa siapa yang telah memberikannya, apakah Mas Bayu?

“Ada lah. Dari temanku”

“Siapa ya?” Tanyaku genit bercampur penasaran.

“Ketemuan yuk?”

“Sekarang?”

“Iya—sekarang”

“Terus?”

“Kamu jangan berlagak seperti pemain baru dong!”

“Bagaimana ya?” baru kali ini aku dibuat bingung dalam mengambil keputusan. Orang yang satu ini terdengar begitu pintar, discreet, dan mencurigakan.

“Aku ke tempatmu ya?”

“Kalau ke tempatku… ” aku berhenti bicara. Sambungan telpon sudah diputus olehnya.Orang iseng, pikirku. Tak sadar aku sudah ada di lantai. Terduduk lesu dengan muka penuh tanda tanya. Aku masih penasaran dengan Bayu, siapa dia.

Mendadak ada suara ketukan dari balik pintu. Aku terkejut dalam lamunan. Pasti Ibu, yang bermaksud ingin mengingatkanku agar lekas tidur, supaya besok tidak ketinggalan subuh. Aku membuka pintu. Wajah Ayah meringis mengejutkanku. Tumben dia berani mengganggu. Spontan, aku mencoba langsung menutup pintu. Namun kaki Ayah sudah masuk sebatas paha ke dalam batas teritori kamar. “Aku ngantuk!” cegahku malas-malasan. Bagaimanapun juga, kalau sudah begini, biasanya Ayah akan mengajakku nonton acara siaran langsung pertandingan sepak bola yang aku tidak mengerti sama sekali. Yang aku tahu paling-paling hanya Christian Ronaldo dan David Beckham. Itupun karena mereka pernah menjadi model celana dalam Armani. Selebihnya nol.

Perlahan-lahan Ayah menarik garis senyum di pipinya. Dan muncul wajah serius misterius di hadapanku. Nyaliku menciut untuk terus membiarkan pintu terbuka. Aku paksa kaki Ayah pindah. Dan setelahnya pintu kamar dengan sempurna bisa tertutup rapat. Aku langsung menerjunkan diri ke atas ranjang. Menghela nafas mematikan penat. Teringat siang tadi aku telah menjual syahwat pada salah satu pejabat. Terbayarkan dengan sebuah Ipad yang masih terbungkus kardus rapat-rapat.

Bunyi nada dering ponsel yang tadi kuletakkan di atas bantal mengagetkanku. Dengan cepat aku langsung meraih dan menjawab panggilan.

“Hallo?”

“Aku sudah ada dirumah kamu!”

“ Haah?”

Langsung saja aku bangkit dari tidur dan segera lari menuju ke arah jendela. Kubuka korden dan tak terlihat barang siapapun berhenti di depan rumah. Pikirku, orang ini berbohong. Hanya iseng menggodaku saja.

Terdengar bunyi pintu kamar diketuk berulang. Ponsel masih menempel di telinga, aku membuka kunci pintu. Ternyata Ayah masih saja berdiri membelakangi. Sadar kalau ini hanya lelucon murahan. Aku memasang wajah geram. Aku tutup pintu lagi. Namun kali ini tanpa ku kunci.

“Mas Beny, tolong jangan ganggu dong,” Aku melanjutkan pembicaraan lewat telpon tadi.

“Kenapa kamu tutup pintunya?”

Pertanyaan itu bagai halilintar yang menyambar. Aku terdiam mematung. Ditambah lagi bunyi ketukan pintu. Dan yang lebih dramatis, ketika dari balik pintu muncul sosok Ayah yang menempelkan ponsel di telinganya. Dengan tenang, Ayah masuk ke kamarku. Tak lupa dia menutup pintu. Ayah menghampiriku. Tanganku hampa tak bisa merasakan sentuhan apa-apa. Otakku lemas tak berdaya merangsang realita bahwa apa yang kuhadapi saat ini adalah nyata.

“Kamu kenapa Jay?”

“Ayah…,” bibirku serasa berat mengucapkannya. Masih terlibat emosi ketidakpercayaan. Ayah mendekatiku. Dia mengendalikan aku sepenuhnya. Diraihnya pundakku. “Kamu tenang saja. Santai saja!” Ayah menyarankan.

Santai dari Hongkong. Bisa-bisanya Ayah mengatakan kalimat seperti itu. Semoga kali ini Ayah kerasukan Jin penunggu pohon jeruk depan rumah.

Hangat. Ayah memelukku erat. Aku masih saja bingung. Antara percaya dan tidak percaya. Ayahku. Hampir 25 tahun aku bersamanya, dan selama itu pula aku tidak pernah becus menyadari apa yang ada di pikirannya. Apa makna pelukannya kali ini. Sebagai Ayah atau sebagai Mas Beny. Ragaku membara. Ayah memilih jeda untuk melepas peluk. Menatapku yang memiliki wajah sekilas mirip dia katanya.

“Terserah kamu menganggap Ayah siapa, yang pasti kamu anakku,” Ayah tersenyum bangga. “Beny baru saja bunuh diri—baru saja,” Ayah tersenyum sambil menyingkirkan ponsel yang kugenggam dengan lembut.

“Aku masih tidak percaya dengan semua ini!”

Aku terduduk lemas di bibir kasur yang sekarang entah kenapa mulai terasa tak empuk lagi. Aku menelan gundah. Ada banyak bayangan bermacam-macam melintas di benak. Pasrah aku kini. Ayah menyadari gelagatku. Dia sudah di sampingku. Sekali lagi. Dia memancarkan kehangatan yang sialnya tak pernah kudapatkan sebelumnya. Aku merasa nikmat. Ayah paham. Aku terpejam. Ayah menghujam. Ciuman dan dengusan layaknya perlombaan yang saling bersaing untuk satu tujuan. Kemenangan. Ternyata Ayahku tak terkalahkan. Padahal canggung sempat menjadi kata kunci persenggamaan. Namun harus kuakui. Ayahku hebat malam ini. Serasi.

Kami tak peduli dengan apa yang akan terjadi besok. Semoga hubungan incest kali pertama ini berjalan sukses.

*ooOO0Ooo*

“Sebaiknya kamu segera kawin!”

Ibu membuka obrolan pagi mirip dengan 24 jam yang lalu. Membahas tentang pernikahan. Mengawini anak orang dan beberapa celotehan yang nyaris mirip dengan 24 jam yang lalu juga.

Kali ini Ibu menuang sepoci kopi susu panas ke dalam cangkir porselin bermotif bambu cina. Aku mengaduk segelas kopi susu dengan sendok makan yang ujung pegangannya terukir huruf Y. Sementara Ayah mendiamkan diri menyusuri lautan kata-kata yang berbaris pada setiap halaman kertas dengan kedua bola matanya yang berbalut kacamata baca. Dia hobi olahraga. Dan bla bla bla. Sama.

Ibu menyisir rambutnya yang masih hitam sebagian ubun-ubunnya. Diambilnya cawan kristal berisi adonan berbau aneh yang ternyata adalah campuran minyak kemiri dengan bubuk merang. Dicoleknya serakah, diusapnya sekuat dia menekan kulit kepalanya hingga meluber. Katanya bagus untuk akar rambut. Ibu memijit-mijit kepalanya tanpa membuka diskusi dengan tema yang seharusnya sama. Perkawinan.

Sebelum Ayah melipat koran pagi. Dia meminum kopi susu suguhan Ibu sambil menatap wajah istrinya yang sudah tak  serius lagi dengan ritual rambutnya. Kemudian Ayah berpaling padaku. Ayah tersenyum kecil dan kemudian meninggalkan kami berdua di meja makan. Seakan-akan dia bilang, “Selamat bersenang-senang. Ayah ngantuk berat hari ini”Ayah tidak berangkat ke kantor di hari Sabtu.

Sama seperti hari-hari kemarin. Masih tetap tidak ada dialog. Perasaanku, kami berdua sedang sibuk bermonolog dalam hati. Tumben—kali ini Ibu tak berdesis menebar bisa. Mungkin Aku mulai dimakluminya. Tanpa bangkit dari kursi, aku memberanikan diri menenggak kopi susu buatan Ibu. Enak. Ibu tersenyum kepadaku, mirip senyuman misterius yang dimiliki Ayah. Baru kali ini dia bersikap begitu. Pantaslah aku curiga. Ada apakah yang terjadi sebenarnya? Entah karena kopinya yang hebat, atau memang semalam aku kurang istirahat, kini aku mengantuk tak berdaya. Pamit ku meninggalkan ruang kebisuan. “Aku ngantuk.”

Terhuyung-huyung aku menyusuri ruangan. Aku menuju pembaringan tempat dimana biasa aku menerima telpon dari pelanggan. Aku langsung merapat. Merebahkan diri kuat-kuat.Aku ngantuk berat.

*ooOO0Ooo*

Sekarang sudah hampir dua tahun, Ibu kini tinggal di dalam Lapas wanita. Dia dipenjara gara-gara melakukan pembunuhan atas suami dan anaknya. Tanpa ada motif. Sempat dia dianggap gila. Tetapi hasil analisa dokter kejiwaan yang memeriksanya, dia dinyatakan normal dan sehat. Namun dari cara dia membunuh para korban yang mempunyai nama Jumadi dan Gilang Jaelani, semua orang pasti menduga, kalau Ibu memang gila. Mayat Ayah ditemukan terpotong menjadi tujuh bagian. Sementara mayatku tergeletak tak jauh dari potongan mayat ayah. Dua pisau dapur buatan jepang menancap di punggung. Berjejeran. Sementara seonggok tongkat mirip gagang sapu mencolok lubang anusku. Ibu mematikan Ayah dan diriku dalam tidurnya kami. “Tak boleh ada pendosa di rumahku!” kalimat terakhir yang Ibu ucapkan setelah mencabut nyawa kami berdua. Ibu bertindak seperti Tuhan yang sedang mabuk. Menidurkan kami dengan ramuan kopi susunya. Sehingga pembantaian sadisnya bisa berjalan manis.

*ooOO0Ooo*

Syukurlah kini Ibu bisa berbahagia. Melebihi sesaat dia bersama Ayah. Sekarang Ibu menjalin kasih dengan Saudah, sesama napi wanita asal Jawa Tengah. Yang dipenjara karena gosipnya terlibat aksi teroris yang di pimpin oleh Imam Benoa. Ibuku—Yanti Cahyati—dan kekasihnya, untuk sementara bisa hidup bahagia. Mengingat hukuman keji yang pasti akan dia jalani suatu saat nanti.

Ibu—ini kami, sekotak malu dari sang pendosa untukmu.

*ooOO0Ooo*

Gresik, 22 November 2010

*ilustrasi gambar : erica-sweetonyou.blogspot.com

Bagikan

Cerpen Lainnya