Search
Close this search box.

[Foto] Kartini: KDRT Bukan Hanya Masalah Pribadi Tapi Masalah Bangsa

Diskusi Kartini: Relevansi Pada Gerakan Perempuan (Foto: Hartoyo/Ourvoice)

Ourvoice.or.id – Sulitnya hak perempuan memperjuangkan keadilan karena ada masalah kekuasaan, ungkap Budi Wahyuni (BW)-aktivis perempuan didalam diskusi “Pemikiran Kartini Dan Relevansinya Untuk Gerakan Perempuan Masa Kini” di Hotel Pop Yogyakarta, Kamis, 25/4/2013.

“Ini soal kekuasaan partriarki, ada pihak yang memang tidak mau berbagi kekuasaan dengan perempuan, itu persoalan utamanya, tegas BW begitu biasa dia dipanggil”.

Belum lagi jika saya mau masuk ke partai politik, syaratnya dua kalau tidak punya modal besar maka akan “dimodali” partai tetapi jika terpilih maka harus mau mengikuti apa yang partai mau, jelas ini masalah buat saya, tegas BW.

Diskusi ini dilaksanakan oleh Koran Tempo dan Aliansi Jurnalistik Indepeden (AJI) Yogyakarta dalam rangka peringatan hari kelahiran Kartini, 21 April.  Selain BW, juga menghadirkan narasumber Siti Rubaidah-istri wakil Walikota Magelang yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Pito Agustin Rudiana-mantan ketua AJI Yogyakarta dan Dido Ambardi-Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI).

Siti Rubaidah adalah korban KDRT yang menggugat suaminya, Joko Prasetyo (wakil Walikota Magelang) yang sekarang justru Rubaidah dilaporkan oleh pelaku atas tindakan pencemaran nama baik. Rubaidah banyak menceritakan tentang sulitnya mencari keadilan untuk kasus-kasus KDRT karena situasi politik dan kekuasaan yang dimiliki oleh suaminya.

“Korban KDRT malah sering dikriminalkan kembali oleh pelaku dengan pasal karet pencemaran nama baik, seperti yang saya alami sekarang, ungkap Rubaidah”.

Sampai sekarang Rubaidah terus mencari keadilan dari proses pengadilan suaminya yang menjadi pelaku KDRT terhadap dirinya yang hanya dituntut oleh jaksa 2 bulan. Itu baru tuntutan jaksa, tidak tahu bagaimana nanti hasil putusan pengadilan karena kita tahu bagaimana kualitas peradilan di Indonesia, ungkap Rubaidah dengan pasrah.

Apa yang dialami oleh Rubaidah, menjadi gambaran bagaimana kekerasan dan ketidakadilan bagi perempuan bukan hanya persoalan individu tetapi menjadi persoalan bangsa, ungkap Sunudyantoro kepala Biro Koran Tempo Yogyakarta yang menjadi moderator diskusi.

BW juga meyampaikan pengalaman dirinya menjadi korban KDRT, karena masih banyak perempuan memiliki kesadaran semu oleh sistem partriarki atas nama “cinta”. Perempuan sering disanjung-sanjung oleh laki-laki padahal sebenarnya sedang melanggengkan sub-ordinat terhadap perempuan, ungkap BW.

Sedangkan Dodi Ambardi memaparkan beberapa hasil survei tentang fakta yang ada soal perempuan dalam ruang politik. Menurut Dodi ada faktor nomor urut  dan level pemilu mengapa perempuan dapat atau sulit terpilih.

“Semakin pada level bawah (DPRD Kab/Kota) anggota legislatif perempuan semakin sulit terpilih, ungkap Dodi dari data yang disampaikannya”. Disamping itu nomor urut 1 lebih mempunyai peluang terpilih dibandingkan nomor urut dibawahnya walau putusan Mahkamah Konstitusi suara terbanyak.

Kemudian kendala lain menurut Dodi masih rendahnya kepercayaan publik pada caleg perempuan, menurut publik caleg perempuan tidak membawa keistimewaan yang bisa membawa perbaikan, jelas Dodi.

Tetapi hasil survei yang disampaikan oleh Dodi mendapatkan kritikan dari peserta dan juga narasumber lainnya seperti BW. Menurut BW, hasil survei juga punya kepentingan siapa yang membuat dan dengan tujuan apa. Apa yang disampaikan Dodi tentang hasil survei seperti sebuah pertanyaan yang mengarahkan kepada publik bahwa keterwakilan perempuan dipolitik tidak ada harapan perbaikan, jelas ini membahayakan ungkap BW.

Dalam konteks media, walau media sangat penting untuk meyebarkan informasi tentang keadilan gender tetapi sering media juga menjadi pihak yang justru melanggengkan kekerasan itu, ungkap Pitoi selaku jurnalis dari AJI.

Menurut Pitoi, Kartini adalah seorang jurnalis, dia menuliskan gagasannya dan mempublikasikanya, ungkap Pitoi. Walau Pitoi meyayangkan Kartini mempublikasikan tulisannya pada media berbahasa Belanda bukan bahasa Melayu, sehingga tidak banyak dibaca oleh masyarakat Indonesia saat itu.

Didalam media sendiri penggunaan dan pemilihan kata-kata yang berkaitan dengan isu-isu perempuan masih sering bermasalah, jelas Pitoi. Misalnya penggunakan kata bahenol, sexy untuk menjelaskan tubuh perempuan, ini sangat berkonotasi pada perendahan terhadap perempuan.

Akhirnya, BW meyampaikan bahwa masih butuh waktu panjang lagi untuk memperjuangkan hak-hak perempuan maupun hak asasi manusia lainnya.  Seseorang yang peduli pada isu HAM secara umum belum tentu berpihak pada perjuangan hak perempuan. Begitu juga bagi pejuang hak perempuan dan HAM umumnya belum tentu juga peduli pada isu-isu minoritas lainnya (seperti pluralisme maupun orientasi seksual), ini memang tantangan bagi kita bersama, tegas BW. (Hartoyo)